INILAH hari-hari penting bagi Djukardi Odang. Selalu tampil necis, dengan cerutu di tangan, ia kelihatan lincah di antara delegasi ekonomi Vietnam, dalam diskusi terbuka yang diselenggarakan CSIS pekan lalu. Seusai diskusi, dalam sebuah pertemuan lain dengan pimpinan delegasi, Djukardi, yang beberapa kali ke Hanoi dan Kota Ho Chi Minh, menjabat erat tangan Vo Van Kiet, ketua delegasi, orang nomor empat dalam Politbiro Partai Sosialis Vietnam. Keduanya lalu berpelukan. "Kami bukan cuma ingin berdagang, tapi juga bermaksud menanam modal di Vietnam," kata Djukardi. Djukardi, juru bicara pengusaha Indonesia yang berminat masuk ke Vietnam, lalu menunjuk pada William Soeryadjaya, Komisaris Utama PT Astra International Inc. Seraya menepuk pundak Wakil PM Vo Van Kiet, bos Astra itu berkata, "Ya, nanti kami akan membuka bank di Vietnam." Selain William, kabarnya Liem Sioe Liong juga diajak serta. "Ya, saya ini ikut saja," kata bos Indocement Group itu. Liem, dalam pertemuan dengan delegasi Vietnam, tak mau bicara banyak. Tapi dialah, bersama William, kabarnya sudah bersedia menjadi pemodal terbanyak. Beberapa pengusaha lain diajak pula, seperti Usman Atmadjaja, dari Bank Danamon. Juga pengusaha Sofjan Wanandi, yang ikut dalam perundingan. "Saya turut sedikit, supaya ikut rame-rame," kata Sofian kepada TEMPO. Berapa besar rencana investasi untuk bank itu, menurut Sofian, baru jelas setelah disahkannya RUU PMA Vietnam. Tapi sebuah sumber yang mengetahui menyebut jumlah US$ 5 juta. Pendirian bank itu dianggap penting, agar bisa membiayai perdagangan antara kedua negara. Sebab, dari bank Vietnam belum bisa diharap banyak. RUU PMA Vietnam, yang 17 halaman folio, kabarnya akan disahkan akhir Desember tahun ini. Isinya, seperti diakui Prof. Dr. Mohammad Sadli, merupakan suatu "surprise besar". Pintu modal asing dibuka begitu lebar, tanpa banyak restriksi, terutama bagi in estasi yang berorientasi ekspor. Pajaknya pun rendah, cuma 20%, separuh pajak PMA di Indonesia, yang baru belakangan ini diturunkan sedikit menjadi 35%. Itulah yang membuat Prof. Sadli, mantan Ketua Badan Koordinasi PMA di Indonesia, memberi agungan jempol. Ia menyarankan agar RUU tadi dipertahankan seperti sekarang. "Sudah baik," katanya. (Lihat Kolom: Vietnam Lebih Liberal daripada RI). Sektor perdagangan, yang di Indonesia amat dibatasi bagi orang asing, tampaknya mereka biarkan longgar. "Kami lebih menyukai investasi yang 100 persen asing daripada yang patungan," kata wakil ketua delegasi, Vo Dong Giang. "Kami tidak memiliki swasta kuat, dan keterampilan manajemen pun masih terbatas." Dialah konon tangan kanan Menlu Nguyen Co Tach, yang tadinya beraliran "keras". Kini, dalam kedudukannya sebagai ketua Komisi Hubungan Ekonomi LN, berpangkat menten, semua investor asing yang berminat masuk ke Vietnam, menurut Dong Giang, harus melalui kantornya. Mendengar itu, seorang pengamat khawatir juga, jangan-jangan masalah formalitas dan birokrasi akan bisa menghambat kelancaran calon investor masuk ke Vietnam. Kalau Vietnam memang ingin mencontoh pengalaman Indonesia, pengamat itu melihat Vietnam perlu mempunyai semacam BKPM. Mereka juga, seperti pengalaman Indonesia, perlu memikirkan mengundang beberapa bank asing dari negara kapitalis untuk membuka kantornya, bisa di Hanoi, bisa juga di Kota Ho Chi Minh, pusat perdagangan dan industri negeri itu. Tapi siapa yang saat ini bersedia masuk, selain Indonesia, yang sejak dulu memelihara hubungan baik dengan Vietnam? Batu pengganjalnya apa lagi kalau bukan masalah Kamboja, yang sampai sekarang masih di bawah payung Vietnam. Satu-satunya negara Barat yang mungkin bisa dilobi pihak Hanoi, seperti kata Sadli, adalah Prancis, yang punya hubungan historis, seperti halnya Negeri Belanda dengan Indonesia. Bisa dimengerti, satu-satunya harapan Vietnam saat ini agaknya tertuju pada Indonesia. Van Kiet, yang juga ketua Bappenasnya Vietnam, merasa berbesar hati setelah bertemu Presiden Soeharto selama sejam, yang, menurut dia, "telah memberikan suatu harapan yang mempunyai prospek besar dan baru." Van Kiet tak menjelaskan lebih jauh. Namun, seperti kata Djukardi Odang, selain rencana pendirian bank, pihak swasta Indonesia juga tertarik pada industri pertanian. Jumlah penanaman di bidang industri agro itu kabarnya tidak besar. Cuma sekitar satu juta dolar. Dan Vietnam sudah bersedia menyewakan lahan pertaniannya, untuk ditanami komoditi ekspor. Adapun barang pertanian yang sebagian sudah mereka ekspor ke Indonesia, antara lain: bawang putih kering, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, dan gaplek. Bisa jadi, pihak Astra, yang sudah berpengalaman dalam industri pertanian, akan tergerak lebih dulu masuk ke Vietnam. Tapi yang menarik adalah ini: Vietnam telah menawarkan kepada Indonesia untuk mencari minyak di lepas pantai laut mereka. Kalau benar begitu, ini sudah bicara investasi raksasa. Pertamina? Tampaknya bukan. Sekalipun perusahaan minyak negara ini bisa berbagi pengalaman. Delegasi Van Kiet kabarnya sudah menyediakan lapangan eksplorasi yang bagus bagi swasta Indonesia. Sebagai pembuka jalan, Prancis juga telah ditawari daerah lepas pantai yang baik, dan kabarnya sudah bersedia. Bersedia pulakah swasta Indonesia? "Itu termasuk paket perundingan kita dengan mereka," kata Djukardi. Indonesia tampaknya ingin berada di garis paling depan, sebelum yang lain masuk ke Vietnam. Kalau saja pada tahun 1990 pasukan Vietnam ditarik pulang dari Kamboja, itu pertanda Jepang akan menancapkan modalnya ke Vietnam. "Sudah waktunya orang bicara tentang era pasca-Kamboja," kata seorang diplomat. Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini