DI sebuah perkampungan kumuh di Bandung, seorang kakek berusla 72 tahun mengeluh pada tetangganya. Ia mengatakan sangat menderita karena tak bisa tidur, setelah dua minggu lewat istrinya meninggal dunia. Iba, sang tetangga berbaik hati itu, menyilakan si kakek tinggal bersama mereka. Batas lingkup hidup yang samar di perkampungan padat itu memungkinkan kepindahan si kakek ke rumah tetangga berlangsung dengan lancar. Gubuk-gubuk yang letaknya berimpitan itu tak berbeda jauh dari sebuah ruang besar yang dihuni bersama. Di sanalah satu keluarga hidup berdesakan, terpisah hanya oleh sekat tipis dari keluarga lainnya. Di ruang semacam itu, si kakek 72 tahun ditempatkan tidur bersama anak gadis tetangganya. Usia si anak gadis 8 tahun. Seks? Siapa curiga pada seorang kakek yang sudah uzur. Tapi yang tak dikira justru terjadi. Rasa sayang si gaek, yang diungkapkannya dengan memberi uang jajan Rp 25 seharinya, berbuntut ke hubungan seks tak wajar antara kedua teman sekamar itu. Si gadis mulanya tak menyadari apa yang terjadi. Sampai suatu ketika alat vitalnya luka-luka. Anak itu sulit pipis. Akhirnya, si kakek terpaksa mengaku ketika ia akhirnya dihadapkan ke meja hijau. Penyimpangan seksual pada si gaek 72 tahun itu dikenal sebagai pedophilia heteroseksual, atau kecenderungan berhubungan seks dengan anak lain jenis di bawah umur, akibat rasa takut untuk menyalurkan hasrat seks secara wajar. Psikolog Sawitri Supardi memperkirakan inilah latar belakang paling umum kejahatan seks terhadap anak di masyarakat Indonesia. Dari penelitian yang dilakukannya beberapa waktu lalu terhadap 114 kasus di Pengadilan Negeri Bandung, Sawitrj menemukan: pedophilia merupakan kasus tersering, melebihi jenis kejahatan seksual lain terhadap anak-anak. Kejahatan seks terhadap anak-anak akibat hiperseksualitas (berlebihan syahwat), kecenderungan melakukan incest (hubungan seks dengan anak kandung), dan petualangan seks, pada penelitian Sawitri tak menunjukkan angka berarti bila dibandingkan dengan pedophilia. Bahkan angka kejahatan seks "menjual" anak-anak di bawah umur, dengan tujuan mencari uang, termasuk rendah Pada masyarakat Barat, justru hiperseksualitas, incest, petualangan, dan keinginan menunjukkan kekuasaan merupakan faktor penyebab yang terbanyak. "Latar belakang pedophilia adalah perkembangan psikoseksual yang mengalami gangguan pada kontak relasi," ujar Sawitri, psikolog berusia 44 tahun, Pembantu Dekan Urusan Akademis Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dan ibu seorang anak itu. Penyimpangan seksual ini, menurut dia, merupakan perkembangan kompleks sifat introvert. "Biasanya sifat introvert ini dibarengi sifat pemalu, sifat menutup diri, dan kecenderungan menjaga jarak dengan lingkungan sosial," ujar Sawitri pula. Dorongan seks disalurkan pada anak-anak, "karena anak-anak mudah dibohongi dan dimanipulir," kata Sawitri. Namun, pada penelitiannya, Sawitri menemukan juga faktor lain. Ruang hidup yang berdesakan, keterbatasan kesempatan, dan kemampuan sosial ekonomis ikut mendorong pedophilia melampiaskan niatnya. Juga sifat pendiam pada masyarakat Indonesia sering dianggap sebagai sikap sopan. Pandangan ini membuat pedophilia bisa bergerak leluasa, karena justru tidak dicurigai. Seperti pada kasus si kakek 72 tahun itu. Suatu ketika ia terangsang melihat gaun si gadis tersingkap. Si gaek kemudian nekat, karena ia tak mungkin mencari mitra seks yang sebaya. Juga ia tak punya cukup uang untuk melacur. Bila tak muncul di pengadilan, kejahatan seksual terhadap anak-anak adalah kasus terpendam. Bahkan di negara maju, kejahatan ini sulit dilacak. Ada dugaan kejadian yang tak diketahui jauh lebih besar dari yang muncul di permukaan. April lalu, peneliti di Rush Medical College, Chicago, Amerika Serikat, menemukan infeksi kronis akibat mikroba Chlamydia trachomatis bisa menjadi indikasi untuk melacak kejahatan seks terhadap anak-anak. Dari penelitian yang cermat, melalui wawancara dan pemeriksaan medis, terhadap 60 remaja berusia 18 tahun yang diperkirakan punya pengalaman seks di bawah umur, ditemukan 50% adalah korban kejahatan seksual terhadap anak-anak, dan 43% mengidap infeksi Chlamydia trachomatis. Anak-anak korban kejahatan seks biasanya menyimpan penderitaannya. Kecenderungan tak mau bicara ini menyulitkan para psikolog menolong mereka memecahkan masalah, misalnya membangkitkan keyakinan bahwa kejadian itu bukan merupakan kesalahan mereka. Sawitri mengemukakan sebuah kasus yang menimpa seorang anak laki-laki, korban pedophilia homoseksual berusia 13 tahun. Anak ini terlibat homoseks dengan gurunya, mula-mula karena diancam akan dijatuhkan dalam pelajaran matematika. "Pada akhirnya, anak ini mengalami anxiety neurosis," ujar Sawitri. Gangguan saraf terjadi karena konflik batin berkepanjangan. Sang anak merasa bersalah, berdosa, dan akhirnya putus asa. Agustus lalu sebuah film semidokumenter berjudul Breaking Silence ditayangkan di televisi Amerika Serikat. Inilah gambaran keputusasaan para psikolog mengatasi kejahatan seksual terhadap anak-anak. Sangat sulit mencari celah untuk melihat dunia yang sangat kelam di balik kebungkaman anak-anak yang malang itu. Ekspresi puisi dan gambar anak-anak korban keganasan seks orang dewasa yang ditampilkan Breaking Silence adalah isyarat-isyarat tipis yang toh mengerikan. Pada sebuah sketsa, kepasrahan terlukis dalam gambar diri yang rebah putus asa di sebuah ranjang hitam yang besar. Sederetan kata-kata pada gambar itu menandakan jeritan yang tak berbunyi, "Ya, Tuhan, jauhkan orang itu dari saya." Jim Supangkat (Jakarta), Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini