Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Vietnam lebih liberal daripada ri

Wakil pm vietnam van kiet dalam kunjungan ke indonesia, menjelaskan ekonomi vietnam yang tidak baik karena hasil panen menurun. vietnam kini butuh modal & teknologi. ruu pma sangat liberal tidak menarik pma.

28 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU delegasi ekonomi tingkat tinggi Vietnam berkunjung ke Jakarta, pekan lalu. Dipimpin wakil perdana menteri merangkap kepala perencanaan. Seorang menteri yang mengurus hubungan ekonomi luar negeri sebagai wakilnya. Direktur jenderal yang membawahkan bank sentral juga ikut. Indonesia dari dulu mengakui Vietnam Utara, dan senantiasa memelihara hubungan diplomatik dan politik. Sikap Indonesia mengenai masalah Kamboja sebetulnya agak berlainan daripada Muangthai dan Singapura. Tapi solidaritas ASEAN menuntut semua anggota mendukung Muangthai sebagai "negara garis depan". Negara-negara Barat dan Jepang pun mendukung kebijaksanaan ASEAN. Walaupun banyak dukungan, diplomasi Kamboja sampai sekarang masih kurang berhasil. Masyarakat diberi kesempatan untuk mendengarkan dan berdialog dengan delegasi Vietnam pada suatu pertemuan yang diselenggarakan CSIS. Ketua delegasi Wakil PM Van Kiet menguraikan keadaan ekonomi Vietnam yang tidak baik, karena hasil panennya menurun. Indonesia dipujinya karena berhasil mencapai swasembada beras. Ia menghargai bantuan beras dari Indonesia ketika Vietnam mengalami kesulitan seperti sekarang. Saya melihat suatu daftar keperluan Vietnam berupa bahan keperluan sehari-hari, seperti beras, pupuk, insektisida, semen, besi beton, obat-obatan, dan kendaraan, yang ingin mereka beli, tapi memerlukan kredit setengah sampai satu tahun, karena kekurangan devisa tunai. Apakah Indonesia dapat menolong mereka lagi? Delegasi Vietnam lebih suka bertukar pikiran dengan Indonesia bagaimana menarik PMA. Bahwa negara-negara sosialis kini sudah membuka dirinya kepada Barat, karena memerlukan modal, teknologi, serta keahlian manajemennya, sudah tampak pada RRC dan Eropa Timur. Yang menjadi teka-teki bagi kita adalah bagaimana negara sosialis-marxis bisa memadukan perusahaan PMA Barat dengan sistem dalam negeri yang berdasarkan milik negara, milik kolektif atau koperasi dan sistem perencanaan yang sentralistik. Yang aneh, RUU PMA Vietnam. Berkesan sangat "liberal". Saya, yang 20 tahun lalu ditugasi pemerintah RI melaksanakan UU Modal Asing, menyatakan "surprise" kepada delegasi Vietnam, "Rencana undang-undang Tuan baik sekali, lebih baik daripada undang-undang PMA Indonesia, terutama dibandingkan amendemennya pada 1974" (Catatan: sesudah Peristiwa Malari, UU PMA Indonesia lebih restriktif). Menurut RUU Vietnam, PMA boleh masuk dengan saham 100% artinya tanpa mitra usaha Vietnam. Tidak ada sektor yang ditutup tidak ada larangan mengecer di dalam negeri, tidak ada batas minimum modal seperti di Indonesia. Tidak tampak perbedaan pengaturan sektor industri, perbankan, dan minyak bumi. Pajak perseroan PMA rendah: 20% secara umum dan 10% untuk yang berorientasi ekspor. Tax holiday pun ditawarkan. Transfer keuntungan dan repatriasi modal pokok dijamin. Investor harus membawa segala keperluan pembiayaannya. Apakah ini berarti hanya PMA ekspor yang bisa memenuhi syarat? Wakil ketua delegasi Vietnam menjawab, bukan perusahaan ekspor saja yang boleh masuk. Ditegaskannya, yang penting adalah Vietnam memerlukan injeksi modal, teknologi, dan kemampuan manajemen dan pemasaran dari luar. Apakah mitra usaha Vietnam dalam usaha patungan terbatas pada perusahaan negara? Dijawab bahwa perusahaan kolektif, koperasi, dan (surprise) swasta pun semuanya dapat menjadi mitra usaha patungan. Sayang, tidak ada kesempatan menanyakan apa yang dimaksud dengan "swasta". Menjawab komentar saya bahwa "RUU PMA Vietnam lebih baik daripada UU PMA Indonesia", wakil ketua delegasi Vietnam menjawab, "Di Hanoi sekarang ada dua pendapat: ada yang memandang RUU ini terlalu fleksibel, tapi ada juga yang memandang masih kurang menarik." Vietnam sadar, ekonominya tak terlalu menarik. Banyak infrastruktur rusak, citra sebagai negara yang dikucilkan, dan sebagainya, sehingga, "Vietnam harus menawarkan insentif yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya. Kalau tidak, siapa yang mau masuk?" Kesadaran realitas demikian, sungguh mengesankan. Saya menegaskan, suksesnya promosi pemerintah Orde Baru karena didukung suatu paket kebijaksanaan baru yang menyeluruh. Unsur pertama paket itu adalah usaha membujuk negara-negara kreditor menjadwalkan pembayaran utang luar negeri RI. Kedua, mengusahakan keterlibatan IMF, yang diharapkan dapat mensponsori pemberian kredit dalam bentuk devisa, agar Indonesia dapat mengimpor barang keperluan sehari-hari, untuk mendukung usaha stabilitas ekonomi dan menurunkan laju inflasi. Ketiga, lewat pertemuan Tokyo Club dan IGGI di Belanda, mengusahakan kredit-kredit lunak untuk membiayai pembangunan. Keempat, last but not least: pernyataan pimpinan Orde Baru bahwa Indonesia menghendaki perdamaian dengan tetangganya dan dunia. Saya berusaha mengesankan kepada tamu dari Vietnam bahwa mempunyai UU PMA dengan insentif besar belum cukup. Unsur-unsur kebijaksanaan lain sama perlunya. Ketika Vietnam keluar dari perang, sebetulnya sudah mau "membuka diri", dan waktu itu juga sudah membuat RUU PMA. Tapi Amerika Serikat memasang palang pintu, karena belum puas dalam penyelesaian syarat perdamaian. Didesak masyarakatnya, pemerintah AS menuntut penyelesaian masalah MIA (orang-orang AS yang hilang dalam pertempuran). Sesudah itu, Vietnam menyerbu Kamboja, sehingga Jepang dan Eropa menarik kembali tangan yang sudah mau diulurkan. Mungkin, kunci bagi "keluarnya Vietnam dari isolasi" adalah penyelesaian masalah Kamboja. Apakah hal demikian dapat diharapkan? Saya tidak tahu. Kesan saya, Indonesia dapat memainkan peranan penting. Indonesia rupanya dipercayai Vietnam. Maka, Indonesia dapat menjadi honest broker (penengah yang jujur). Tapi Indonesia memerlukan juga pengertian anggota ASEAN lain, terutama Muangthai dan Singapura. Jepang dapat memainkan peranan penting pula, karena paling mampu membantu Vietnam secara ekonomis. Sikap Soviet mungkin masih menentukan, walau Vietnam bisa bertindak cukup independen. Vietnam bukanlah negara besar yang memerlukan bantuan bermilyar-milyar dolar seperti Indonesia. Negaranya kaya akan sumber daya alam, dan, ini yang amat penting, ada potensi minyak dan gas bumi. Maka, Vietnam mirip Indonesia 20 tahun silam. Jepang dan Eropa tak akan mengabaikannya. Prancis masih punya kewajiban moril membantu Vietnam, seperti Belanda membantu Indonesia menyelenggarakan IGGI. Apakah kunjungan mereka ke Jakarta dan dari isi RUU PMA-nya dapat disimpulkan sikap Vietnam akan bersifat "realistis, pragmatis dan fleksibel?" Belum pasti, sekalipun bukan tanpa harapan. * Ketua pertama dari Badan Koordinasi PMA, 1967-1973

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus