Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Priyatno Bambang Hernowo ketiban tugas berat. Belum genap satu tahun menjabat, Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) itu harus membereskan kontrak pengelolaan air Jakarta. Tugas itu juga harus segera diselesaikan setelah Senin pekan lalu Gubernur DKI Jakarta -Anies Baswedan mengumumkan rencana pemerintah provinsi mengambil alih pengelolaan air bersih Ibu Kota dari swasta.
Perusahaan swasta itu adalah PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta—dua perusahaan yang mengantongi konsesi kontrak pengelolaan air dari PAM Jaya sejak 1997. Palyja kebagian sisi barat Jakarta, sementara Aetra sisi timur. Konsesi Palyja dan Aetra berlaku selama 25 tahun dan akan berakhir pada 2023.
Agar bisa mengambil alih operasi yang dipegang Palyja dan Aetra, Anies menugasi- Hernowo bernegosiasi menyusun pokok perjanjian dengan keduanya sekaligus melakukan uji tuntas. “Paling lama satu bulan sejak Senin pekan lalu,” ujar Hernowo.
Anies mengatakan keputusan itu sudah final. Perjanjian kerja sama Palyja dan Aetra- dianggap bermasalah. Seluruh pengelolaan air bersih, dari hulu sampai hilir, dikuasai mereka. Keduanya juga dianggap tidak akan dapat memenuhi target cakupan layanan pelanggan menjadi 82 persen pada 2023. Padahal sisa waktu tinggal empat tahun. “Target tidak tercapai, tapi keuntungannya wajib dibayarkan pemerintah,” ucap Anies.
Dalam kerja sama, terutama dengan -Palyja, pemerintah memang menjamin internal rate of return (IRR) untuk investor pada akhir konsesi sebesar 22 persen. Bila pendapatan operasi kurang dari itu, pemerintah wajib menomboki. Inilah yang membuat PAM Jaya berpotensi menanggung utang Rp 6,7 triliun pada akhir konsesi kepada Palyja.
Anies Baswedan saat konferensi pers terkait dengan pengambilalihan pengelolaan air dari swasta, di Balai Kota DKI Jakarta, Senin pekan lalu.
Kebutuhan mendesak menambah jangkauan kepada pelanggan mendorong pemerintah daerah segera mengakhiri kerja sama atau merevisi perjanjian. Sampai 2017, rasio jangkauan pelayanan -Palyja baru 57,38 persen. Adapun cakupan layanan Aetra hingga 2018 mencapai 62,34 persen. Pemerintah DKI Jakarta membandingkan cakupan layanan air pipa Jakarta dengan Surabaya yang dikelola perusahaan daerah air minum setempat. Di Surabaya, cakupan layanan sudah menyentuh 96 persen.
Pemerintah provinsi, kata Hernowo, ingin mempercepat penetrasi air pipa, tapi terhalang kontrak kerja sama. Kontrak itu mengatur investasi hanya bisa dilakukan Palyja dan Aetra. Hernowo menghitung, untuk menjangkau banyak konsumen, diperlukan investasi hingga Rp 30 triliun. “Seiring dengan kontrak yang akan habis, tidak mungkin mereka mau chip-in segitu besar,” tutur Hernowo.
PRIYATNO Hernowo langsung mengontak bekas koleganya di Aetra pada hari yang sama ketika Anies Baswedan mengumumkan rencana pengambilalihan. Setelah menelepon petinggi Aetra, Hernowo juga menghubungi Direktur Utama Palyja Robert Rerimassie. “Janjian ketemu membicarakan hal ini,” kata Hernowo, yang pernah menjabat Corporate Secretary Aetra Jakarta dan Direktur Operasional Aetra Tangerang.
Pengumuman Anies pada Senin pekan lalu itu menandai babak baru perkara air pipa Jakarta. Pada 2013, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebetulnya sudah mengumumkan rencana pengambilalihan tersebut. Gubernur Jakarta saat itu, Joko Widodo, menugasi PT Jakarta Propertindo (Jakpro) mengambil 49 persen saham Palyja yang masih dipegang anak usaha Astra, PT Astratel Nusantara. Parlemen daerah sepakat. Jakpro dimodali Rp 650 miliar.
Akuisisi yang tampaknya mulus itu bertemu dengan gelombang. Pada 22 November 2012, koalisi masyarakat menggugat privatisasi air ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perkara berlanjut sampai 2014.
Jokowi terpilih sebagai presiden pada tahun itu. Basuki Tjahaja Purnama naik menjadi gubernur. Basuki tak mau melanjutkan transaksi di tengah gugatan. “Bila nekat, kami bisa dijerat pasal korupsi. Orang akan bilang ada peluang ambil Palyja dan Aetra lewat hukum dan tanpa biaya, kenapa dibeli?” ucap Basuki saat itu.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat baru mengabulkan gugatan pada 24 Maret 2015. Pada 12 Januari 2016, Pengadilan Tinggi Jakarta menganulir putusan itu. Koalisi mengajukan permohonan kasasi dan menang pada 10 April 2017.
Pada Agustus 2017, pemilik Palyja dan Aetra berganti. Sandiaga Salahuddin Uno dan kawannya, Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Roeslani, menjual kepemilikan saham PT Recapital Advisor di Acuatico Group—pemilik Aetra—kepada Moya Indonesia Holdings Pte Ltd— anak usaha Grup Salim—senilai US$ 93 juta. Tiga bulan kemudian, Astratel dan Suez Environnement melepas saham masing-masing di Palyja kepada PT Mulia Semesta Abadi dan Water Future Pte Ltd. Belakangan, ditengarai kuat dua perusahaan ini juga berafiliasi dengan Grup Salim. Pendek kata, air Jakarta dikuasai produsen mi instan dan tepung terigu.
Di tengah pergantian kepemilikan Aetra dan Palyja inilah PAM Jaya menandatangani nota kesepahaman restrukturisasi perjanjian konsesi dengan keduanya pada September 2017. Namun Anies Baswedan membatalkannya pada hari penandatangan revisi kontrak, 21 Maret 2018. Anies beralasan tak tahu soal revisi kontrak tersebut.
Lima bulan berselang, Anies membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum. Tim terdiri atas pejabat pemerintah provinsi, orang-orang kepercayaan Anies di Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), dan kalangan profesional. Anies meminta tim itu merancang kebijakan pengelolaan air sebagai tindak lanjut putusan kasasi yang menentukan pengelolaan air bersih dikembalikan kepada negara.
Rekomendasi tim terbit pada Oktober 2018. Namun, sebulan kemudian, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan Kementerian Keuangan pada 22 Maret 2018. Situasi kembali ke status quo. Perjanjian kerja sama PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra tetap berlaku sampai kontrak berakhir pada 2023. “Posisinya pemerintah DKI Jakarta tidak punya landasan hukum untuk menasionalisasi pengelolaan air bersih,” kata Tatak Ujiyati, anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum dari TGUPP, Senin pekan lalu.
Anies menyatakan Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum sudah menyodorkan opsi pengambilalihan Palyja dan Aetra kepadanya. “Opsi yang disarankan tim adalah pengambilalihan melalui tindakan perdata. Opsi itulah yang kami ikuti,” ucap -Anies.
Dalam dokumen kajian tim ada tiga opsi pengambilalihan Palyja dan Aetra. Pertama, pemerintah provinsi menghentikan perjanjian kerja sama saat ini dan kemudian mengelola layanan sendiri. Opsi ini dikenal dengan istilah “remunisipalisasi”. Pelibatan swasta hanya di bagian pengolahan air baku menjadi air bersih, sementara jaringan distribusi dan layanan tetap dipegang pemerintah.
Opsi kedua adalah membuat kontrak baru kerja sama dengan Palyja dan Aetra. Ruang lingkup kerja sama disesuaikan dengan peraturan alias renegosiasi. Opsi terakhir adalah status quo, melanjutkan kerja sama sampai 2023. Dari tiga opsi itu, tim menyimpulkan pilihan paling aman dari sisi biaya dan manfaat adalah remunisipalisasi.
Caranya: perjanjian kerja sama dihentikan. PAM Jaya kembali mengelola air Ibu Kota. PAM Jaya kemudian membuka tender pelibatan swasta, yang terbatas pada pengolahan air baku menjadi air minum. Palyja dan Aetra sebagai mitra lama diberi right to match. Menurut kajian tim, pilihan ini memiliki risiko keuangan paling kecil dan memberi manfaat paling besar bagi penduduk dalam bentuk potensi peningkatan serta pemerataan layanan. Untuk melaksanakan pilihan ini, diperlukan negosiasi dengan Palyja dan Aetra.
Salah satu anggota Tim Evaluasi, Nila Ardhianie, mengatakan opsi pengambilalihan Palyja dan Aetra berbeda. Perbedaan itu mengacu pada kondisi perusahaan dan kontrak kerja sama saat ini. “Untuk Aetra, yang punya utang besar, kami tidak menyarankan dibeli sahamnya,” tutur Nila, Jumat pekan lalu. “Nanti pilihannya didasarkan pada hasil uji tuntas PAM Jaya supaya lebih akurat.”
Nila dan anggota tim lain mengakui kontrak kerja sama PAM Jaya dengan Aetra lebih adil ketimbang PAM Jaya dengan Palyja.- Musasabnya, pada 2012, PAM Jaya dan Aetra telah merevisi perjanjian. Poin krusial revisi itu adalah menurunkan IRR dari 22 persen menjadi 15,83 persen serta mengubah jaminan pemerintah menjadi tanpa jaminan.
Sebelum ada revisi itu, PAM Jaya diproyeksikan harus menanggung shortfall atau kekurangan pendapatan Aetra pada akhir konsesi sebesar Rp 1,8 triliun. Sebab, dalam perjanjian awal, investor dijanjikan IRR sebesar 22 persen. Angka tersebut muncul karena rencananya ada kenaikan tarif air secara rutin. Namun rencana itu dibekukan sejak 2007. “Itu yang membedakan kami dengan Palyja,” kata Direktur Operasional Aetra Lintong Hutasoit.
Master of agreement serupa tidak ada dengan Palyja. Dengan klausul saat ini, PAM Jaya pada akhir konsesi berpotensi menanggung shortfall sebesar Rp 6,7 triliun. Menurut Priyatno Hernowo, angka itu terasa ganjil bila melihat pendapatan perusahaan yang saban tahun hanya Rp 1,2-1,3 triliun. “Seharusnya IRR tidak usah dijamin 22 persen. Tergantung excellent operation mereka saja,” ujarnya.
DUA anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum mengungkapkan, jauh sebelum Anies Baswedan memutuskan pengambilalihan dan Priyatno Hernowo memulai negosiasi, sejumlah awak tim telah bertemu dengan petinggi Grup Salim. Pertemuan itu bertujuan menyampaikan niat pemerintah provinsi mengubah struktur pengelolaan air bersih Jakarta. “Ketemunya delegasi dengan delegasi,” kata anggota tim ini. Pertemuan itu sekaligus digelar untuk mengkonfirmasi keberadaan Grup Salim di belakang Palyja.
Anggota tim tersebut mengatakan bisnis air Grup Salim dikendalikan Mohammad Syahrial, mantan Presiden Direktur PT Perusahaan Pengelola Aset. Kini Syahrial menjabat Chief Executive Officer Moya Holdings Asia Ltd, pemegang saham Aetra.
Tempo berusaha meminta konfirmasi keberadaan Grup Salim di belakang Palyja kepada Syahrial, juga terkait dengan respons perusahaan terhadap rencana pengambilalihan Aetra dan Palyja oleh DKI Jakarta. Pada Jumat pekan lalu, Syahrial mengatakan sedang di luar negeri. Ia mengaku sudah meneruskan permintaan Tempo kepada investor relations Moya. “Pihak Moya/Aetra yang akan mengontak,” kata Syahrial lewat pesan WhatsApp. Namun, hingga tenggat tulisan ini lewat, tidak ada kontak lanjutan dari Moya ataupun Aetra.
Adapun Palyja enggan menanggapi soal keberadaan Grup Salim di perusahaan mereka. Perusahaan juga tidak banyak menanggapi soal rencana pemerintah provinsi mengambil alih Palyja. “Kami menyambut baik inisiatif pemda dan akan bekerja sama dan berdiskusi dengan PAM Jaya, yang diberi mandat oleh pemda,” kata Lydia Astriningworo, Kepala Divisi Komunikasi Korporat Palyja, Jumat pekan lalu.
Riwayat Perjanjian
6 Juni 1997 – Perjanjian kerja sama antara Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya) dengan Aetra (dulu PT Thames PAM Jaya) dan Palyja diteken.
22 Oktober 2001 – Perjanjian diperbarui dan berlaku hingga saat ini.
2012 – Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta mengajukan gugatan menolak pengelolaan air oleh swasta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2015 – Putusan Pengadilan Negeri meminta penghentian penswastaan air bersih Jakarta karena perusahaan swasta merugikan pemerintah daerah dan warga DKI Jakarta. Aetra dan Palyja mengajukan permohonan banding.
2016 – Koalisi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
April 2017 – Mahkamah Agung mengabulkan kasasi. Namun putusan tidak membatalkan perjanjian kerja sama tersebut.
September 2017 - PAM Jaya, Palyja, dan Aetra menandatangani kesepakatan restrukturisasi kontrak, yang belum sempat dijalankan.
Maret 2018 – Kementerian Keuangan mengajukan memori peninjauan kembali atas putusan kasasi.
2018 - Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan Kementerian Keuangan untuk menganulir putusan kasasi.
Kembali Tirta ke Pangkuan ibu kota
KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTIYOWATI, PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo