Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kami Beda dengan Palyja

Direktur Operasional PT Aetra Air Jakarta Lintong Hutasoit:

16 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski digoyang kiri-kanan, Direktur Operasional Aetra Air Jakarta Lintong Hutasoit menilai tarif air pipa Jakarta untuk masyarakat miskin kota masih di bawah biaya produksi. “Itu harga subsidi,” kata Lintong di kantornya di Jakarta, Kamis pekan lalu. Aetra memproduksi air bersih dengan membeli air baku dari Waduk Jatiluhur yang dikelola Perusahaan Umum Jasa Tirta II. Harganya Rp 275 per meter kubik. Tiap bulan Aetra membayar Rp 7,5-8 miliar kepada Jasa Tirta II dengan volume 10.300 liter per detik sebelum mengolahnya menjadi air bersih 10.100 liter per detik.

Banyak pihak menilai air pipa di Jakarta mahal, rata-rata Rp 7.000 per meter kubik. Bagaimana hitungannya? 

Air itu ada unsur sosial dan komersial. Itulah yang tecermin dalam kelompok tarif. Untuk penduduk termiskin, tarifnya hanya Rp 1.050 per meter kubik. Tarif Rp 7.000 per meter kubik itu tarif rata-rata. Sebanyak 56 persen konsumsi air itu untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Berapa biaya pokok produksi per meter kubik saat ini?

Sampai ke pelanggan Rp 3.500-4.000 per meter kubik. Itu sebabnya harga yang dibayar masyarakat miskin itu tarif subsidi. Kami belum menaikkan tarif sejak 2007. Kami juga bukan swastanisasi karena swastanisasi itu peralihan kepemilikan. Kami hanya diberi aset PAM Jaya untuk dikelola dari hulu sampai hilir. Sejak konsesi dimulai, lima perak pun uang pemerintah daerah tidak ada yang masuk. 

Bagaimana skema kerja samanya?

Kami dikasih aset untuk dioperasikan. Lalu kami mendapat pendapatan dari tarif yang dibayar masyarakat. Pendapatan itu langsung masuk ke escrow account. Pihak pertama yang mendapat bagian itu PAM Jaya, lalu badan regulator, pemerintah provinsi, dan Kementerian Keuangan. Baru sisanya ke kami. Bila yang masuk ke kami kurang, terjadi shortfall dan menjadi utang PAM Jaya. Itulah yang selama ini terjadi. Dalam perjanjian lama ada skema kenaikan tarif reguler, tapi tidak terjadi. Pada 2012 kami melakukan rebalancing (renegosiasi perjanjian kerja sama). Internal rate of return (IRR) yang pada awal perjanjian 22 persen turun menjadi 15,83 persen. Sebelum konsesi berakhir, shortfall PAM Jaya akan lunas sehingga tidak membebani perusahaan. Itulah perbedaan kami dengan Palyja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 


“Sampai ke pelanggan Rp 3.500-4.000 per meter kubik. Itu sebabnya harga yang dibayar masyarakat miskin itu tarif subsidi. Kami belum menaikkan tarif sejak 2007. Kami juga bukan swastanisasi karena swastanisasi itu peralihan kepemilikan. Kami hanya diberi aset PAM Jaya untuk dikelola dari hulu sampai hilir. Sejak konsesi dimulai, lima perak pun uang pemerintah daerah tidak ada yang masuk.“


 

Kenapa Aetra mau menurunkan IRR pada 2012?

IRR itu cerminan investasi yang akan kembali. Setiap investor pasti ingin investasinya cepat balik. Pada 1998 gonjang-ganjing. Ketika sekarang sudah stabil, tidak ada lagi asumsi yang aneh-aneh. Semua sudah pakai asumsi teknikal. Saat itu keadaan ekonomi sudah makin baik sehingga kami berani menurunkan IRR.

Kenapa rasio pelayanan masih jauh dari target?

Target itu belum tercapai. Meski service- ratio baru 62,3 persen, coverage ratio kami sudah bagus. Kami membangun jaringan yang lebih luas. Cuma, masyarakat tidak mau menggunakan air pipa yang sudah ada di depan rumah. Contohnya di Pulomas, 40 persen warga masih menggunakan air tanah, padahal coverage ratio kami sudah 75 persen. Di sinilah peran pemerintah memaksa masyarakat menggunakan air pipa.

Dalam klausul kerja sama ada hak eksklusif investasi. Kenapa pemerintah daerah harus meminta izin pengelola untuk berinvestasi?

Bila pemerintah mau, ekspansi bukanlah sesuatu yang tidak bisa dibicarakan. Yang tidak boleh itu ada swasta baru yang ingin masuk mengelola air pipa, misalnya di Kalibaru, lalu dikasih hak oleh PAM Jaya. Artinya, lahan saya diambil orang. Itulah filosofinya karena akan mengganggu pasar kami. Buktinya dulu Jaya Ancol boleh mengelola airnya sendiri, membangun reservoir karena memang kami tidak mampu. Makanya kami lepas. 

PAM Jaya ditugasi melakukan uji tuntas untuk pengambilalihan Palyja dan Aetra. Sudah ada pertemuan?

Belum ada. Yang jelas kami terus bekerja. Itu pesan kepada karyawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus