PROGRAM pengalihan saham ternyata tidak berjalan mulus. Masih 30 PMA yang belum mengalihkan 51% sahamnya kepada partner lokalnya, dari 844 PMA yang masuk tahun 1975. Padahal, pada akhir tahun 1974, Presiden menetapkan bahwa dalam waktu 10 tahun, program pengalihan saham setiap PMA harus sudah selesai. "Ini karena masih ada partner lokal yang belum punya cukup dana untuk mengambil alih mayoritas saham," ujar Sanyoto Sastrowardoyo, wakil ketua BKPM, pekan lalu. Untuk mengatasi kelangkaan dana itu, pemerintah hanya mengimbau mereka agar segera go public. Dengan harapan, tidak akan ada saham yang dibawa kabur ke luar negeri. "Secara ekonomis dan ketenagakerjaan, kita yang rugi kalau ada perusahaan yang tutup," kata Sanyoto. Katanya, sikap lunak itu diambil karena pemerintah sangat mengandalkan modal asing untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dalam Pelita IV, sesuai dengan rencana Bappenas. Bagi PT Socfindo, perusahaan perkebunan kelapa sawit patungan pemerintah dengan perusahaan Belgia Plantatida Nord Sumatera, yang didirikan tahun 1968, bukan masalah dana yang menghambat pengalihan sahamnya. "Pemerintah selalu mengambil bagian keuntungannya untuk ditanam di bidang lain. Jadi, sampai sekarang 60% saham masih di tangan Belgia," ujar T.A. Ritonga, kepala bidang hukum perusahaan itu. Sedangkan bagi PT Bibit Baru, yang bergerak di bidang perkebunan bunga serta sayur-sayuran dan buah-buahan ekspor, persoalannya lain lagi. Bukan hanya modal yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya, tetapi juga jaminan pemasaran. "Nama mereka sudah sangat terkenal dibanding kami," ujar Hendro Basuki, salah satu direktur perusahaan, yang tampaknya sengaja memberi jatah 30% saham kepada partner Belandanya, Efroot BV Holland. Di Jawa Timur yang tampaknya paling parah: hanya dua dari sembilan PMA yang menyelesaikan pengalihan sahamnya. Persoalan yang dihadapi lebih rumit. "Di sini pemilik modal asing juga ikut menghambat dengan memanfaatkan lubang-lubang yang belum ada ketentuannya" ujar Mohamad Zuhdi, kepala BKPMD jawa Timur, yang mengaku pernah mengirim surat teguran kepada sembilan PMA tersebut. Meskipun demikian, pemerintah ternyata tidak begitu risau menghadapi soal pengalihan saham itu. Terbukti, pada semester pertama tahun ini, nilai SPT yang dikeluarkan untuk PMA 327% lebih besar daripada semester yang sama tahun lalu. Hingga akhir Juni lalu, pemerintah telah mengeluarkan SPT yang bernilai Rp 395 milyar, dari aplikasi Rp 1.063 milyar. Sedangkan tahun lalu SPT yang dikeluarkan hanya Rp 120 milyar, dari aplikasi Rp 447 milyar. Bahkan, pemerintah memberi peran lebih luas kepada koperasi untuk menjalin kerja sama dengan PMA. Dalam buku Daftar Skala Prioritas yang diserahkan pada Presiden, Kamis pekan lalu, ditetapkan bahwa bidang-bidang usaha yang telah tertutup bagi PMA bisa dibuka kembah asal menyertakan koperasi sebagai pemegang saham 20%. "Sebab, pemerintah mengandalkan sistem koperasi sebagai tulang punggung ekonomi di masa depan," ujar Sanyoto. Dan wakil ketua BKPM itu merasa yakin bahwa proyek-proyek PMA tidak akan menyurut, meskipun pemerintah tidak lagi memberikan masa bebas pajak. Di samping banyaknya penduduk dan melimpahnya sumber daya alam, Indonesia masih memillki satu daya tarik lagi: pemerintah masih memberi kebebasan bagi lalu lintas uang ke dalam dan ke luar negeri - yang sekarang ini hanya dilakukan oleh beberapa negara saja. "Nah, inilah andalan kita sekarang," ujar Sanyoto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini