KRITIK sudah banyak dikemukakan kepada Bank Dunia karena laju pemakaian pinjaman dari kelompok lembaga keuangan itu di sini dianggap terlalu rendah. Kelambanan penarikan, kata beberapa ahli, antara lain berhubungan erat dengan soal rendahnya keterampilan para pengelola dana di tingkat bawah. Yang lain lagi menyebutkan alasan lama: sulit mencari tanah untuk lokasi proyek. Staf perwakilan Bank Dunia di Indonesia (RSI), kabarnya, sudah lama menyadari kekurangan itu. Secara terbuka, pekan lalu, perwakilan itu mengungkapkan bahwa dari komitmen kredit US$ 8.889 juta, baru US$ 4.298 (kurang dari separuhnya) yang dipakai sampai Juni lalu. Bagian terbesar persetujuan pinjaman itu, sekitar US$ 3.058, diberikan untuk sektor pertanian. Tapi, yang mengherankan, pemakaian pinjaman di sektor pendidikan, yang relatif tidak menemui banyak kesulitan mencari tanah dan pengelola dana, rendah sekali. Dari persetujuan US$ 804 juta, baru US$ 181 juta (sekitar 22%) yang diambil. Karena alasan itu, seorang pengamat ekonomi menyarankan agar bantuan Bank Dunia, yang sejak pertengahan tahun 1970-an dialokasikan ke proyek kebutuhan dasar manusia, dipindahkan untuk pembangunan infrastruktur. Kata D.C. Rao, direktur RSI, debat mengenai hal itu sesungguhnya sudah muncul sejak tiga dekade lalu. Pembangunan infrastruktur, pada mulanya, dianggap kurang memberikan efek untuk menggairahkan sektor lain. Karena alasan itu, strategi pemberian kredit kemudian diubah. Proyek sosial, seperti perbaikan kampung, jadi pusat perhatian. "Soalnya bukan hanya sekadar memperbaiki kualitas lingkungan hidup, tapi menaikkan produktivi-tas mereka," ujarnya. Bukan dari badan-badan di bawah Bank Dunia saja Indonesia mendapat pembiayaan. Dari kredit ekspor, pelbagai lembaga keuangan (pinjaman komersial), penerbitan obligasi, dan pinjaman bilateral, pemerintah juga mendapat banyak dana. Sampai Desember 1984, seluruh persetujuan pinjaman itu tercatat US$ 40 milyar lebih. Tapi baru US$ 21 milyar yang dipakai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini