Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Rupiah menguat tajam hingga 198 poin menjadi di level Rp 15.459 per dolar Amerika Serikat pada penutupan perdagangan akhir pekan, Jumat, 11 November. Dalam perdagangan hari sebelumnya, mata uang garuda ditutup di posisi Rp 15.693 di pasar spot.
“Pekan depan, rupiah dibuka berfluktuatif, tetapi kembali menguat di level Rp 15.460 hingga Rp 15.540 per dolar AS,” ujar Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi melalui keterangan tertulis, Jumat, 11 November 2022.
Ibrahim mengatakan penguatan rupiah hari ini terjadi seiring dengan capaian inflasi Amerika Serikat yang lebih rendah dari diperkiraan. Data Kamis menunjukan inflasi AS tumbuh 7,7 persen alias masih di bawah 8 persen.
“Hal tersebut menunjukkan, serangkaian kenaikan suku bunga yang tajam oleh The Fed mulai memiliki efek menekan inflasi. Ini juga mendorong ekspektasi bahwa The Fed sekarang akan memperlambat laju kenaikan suku bunga dalam beberapa bulan mendatang,” ujar Ibrahim.
Baca: Usai Rupiah Jeblok Terdalam di Asia hingga 15.738 per USD, Bagaimana Prediksi Pekan Depan?
Dari faktor internal, rupiah terdorong oleh pernyataan Menteri Keuangan yang memprediksi pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan keempat akan sedikit mengalami moderasi. Terutama, bila mempertimbangkan siklus perekonomian yang biasanya melambat di akhir tahun serta high base-effect di periode yang sama tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Selain itu, rupiah terpengaruh oleh intervensi kebijakan pemerintah untuk menjaga permintaan dengan insentif fiskal dan dukungan pembiayaan. Pemerintah, kata dia, bersinergi dengan otoritas moneter dan sektor keuangan untuk mengendalikan inflasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Di tengah optimisme pemulihan yang terus berjalan, meningkatnya risiko ketidakpastian, serta melemahnya prospek pertumbuhan global akibat konflik geopolitik, (kondisi ekonomi) perlu terus diantisipasi. PMI manufaktur global sudah mulai berada pada zona kontraksi dalam dua bulan terakhir," kata Ibrahim.
Selain itu, tekanan inflasi global yang berkepanjangan, khususnya di kawasan Eropa dan Amerika Serikat, akan memicu pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif, yang berpotensi menimbulkan guncangan di pasar keuangan terutama di negara berkembang. Aliran modal ke luar pun meningkat dan menimbulkan tekanan besar pada nilai tukar lokal.