JIKA pada hari-hari mendatang deterjen laris, itu bukan karena Krisbiantoro makin getol menawarkan Rinso. Tapi karena para pencinta sabun batangan dan sabun colek bakal susah memperoleh bahan pencuci kecintaannya. Soalnya, bahan baku sabun, minyak kelapa sawit mentah, yang populer dengan sebutan CPO (crude palm oil), sejak awal tahun ini susah didapat. "Sebenarnya, sudah lama perusahaan sabun kesulitan bahan baku, tapi sekarang keadaan kami makin senen-kemis," kata M. Taha, ketua Asosiasi Industri Sabun Indonesia (AISI) kepada TEMPO, Senin pekan ini. Padahal, meski disaingi deterjen, 75 perusahaan sabun yang tergabung dalam AISI selama ini tetap bisa mengembangkan produksinya. Misalnya, pada 1983 dihasilkan 257 ton sabun. Tahun berikutnya meningkat menjadi 270 ton. Dan tahun ini, bila kesulitan bahan baku teratasi, diperkirakan produksi sabun Indonesia mencapai 300 ton. "Tapi, saya kira, sulit mencapai angka itu melihat keadaan sekarang," ujar M. Taha pula. Yang aneh, produksi CPO Indonesia sendiri sebenarnya meningkat. Menurut M. Taha, pada 1982 produksi CPO Indonesia mencapai 848.000 ton. Pada 1983 menjadi 866.000 ton. Dan tahun lalu CPO menembus batas sejuta, menjadi 1.089.000 ton. "Padahal, kebutuhan total semua perusahaan sabun hanya 100.000 ton rata-rata per tahun," kata M. Taha. Jadi, ke mana minyak itu pergi? Pihak Kantor Pemasaran Bersama (KPB) Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) I - IX di Medan, pihak yang mestinya mengetahui jumlah barang dagangannya, ternyata tak bisa memastikan jumlah alokasi CPO untuk perusahaan sabun. "Yang kami tahu cuma CPO untuk ekspor dan kebutuhan dalam negeri keseluruhan ," kata orang di KPB PTP I-IX, yang enggan disebut namanya. Disebutkannya, CPO yang diekspor tahun lalu hanya 81.946 ton. Sedangkan suplai untuk kebutuhan dalam negeri tahun itu seluruhnya 479.245 ton. Angka itu jelas menurun. Sebab, ekspor CPO pada 1980 mencapai 502.900 ton, sementara suplai dalam negeri 346.000 ton. Tahun berikutnya suplai dalam negeri naik mencapai 552.000 ton, tapi ekspor menurun menj adi hanya 196.400 ton. Maka, menjadi tidak jelas - bila produksi terus meningkat, tapi angka ekspor dan suplal dalam negeri menurun - ke mana sisanya. Adalah Aja Mansyur, karyawan Bagian Humas Kantor Inspektorat Wilayah I, Medan, yang menyatakan bahwa pemerintah memang berusaha meningkatkan ekspor CPO. Musababnya, harga CPO di luar negeri sedang baik, Rp 553,38 per kg FOB (free on board). Harga dalam negeri hanya Rp 425,21. Tapi, menurut Mansyur, kebutuhan dalam negeri tetap harus dipenuhi terlebih dahulu. Seperti diketahui, minyak ini tak cuma untuk membuat sabun, tapi juga sebagai minyak goreng. Dugaan sementara, pabrik-pabrik besar yang mendapat jatah minyak sawit dalam jumlah besar ada main. Yakni, mereka menjual sebagian jatah CPO-nya ke pihak luar dengan tarif, tentu saja, harga patokan ekspor yang Rp 553,38 per kg itu. Ulah tak terpuji ini mungkin didorong mencari keuntungan besar dengan cepat. Sebab, bila pabrik kini mengolah CPO menjadi sabun atau minyak, bukankah akan terkena PPN (Pajak Pertambahan Nilai)? Pihak minyak goreng Bimoli, misalnya, sudah memberi ancarancar bakal naik 4%-5% Kecurangan itu dimungkinkan karena sistem suplai CPO dalam negeri memang diserahkan kepada perusahaan besar. Perusahaan besar itulah yang kemudian memberi jatah kepada pabrik-pabrik kecil. Memang, tak semua perusahaan sabun diancam gulung tikar. Yang berada di Medan, ada beberapa, bisa beruntung karena mendapat jatah langsung dari PTP. Sebab, lokasi mereka berdekatan. Tapi si kecil-kecil yang jauh dari Medan kini nasibnya memang bak telur di ujung tanduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini