KEWAJIBAN perusahaan mengeluarkan biaya untuk pemakaian tenaga kerja asing (TKA) kini dihapuskan. Kebijaksanaan baru yang dicanangkan ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Ginandjar Kartasasmita, bulan lalu itu, Senin lalu disetujui Menteri Tenaga Kerja Sudomo. Di mata Ginandjar hal itu untuk merangsang penanaman modal, sedangkan di mata Sudomo, yang pernah menjadi pangkopkamtib itu, masalahnya yakni birokrasi dan pungli. Sejak membanjirnya perusahaan asing ke Indonesia, 1974, Presiden menginstruksikan agar lowongan bagi TKA dibatasi untuk pekerjaan tertentu dan dalam tempo tertentu pula. Perusahaan wajib meminta izin pemakaian TKA, melakukan pendidikan dan latihan agar lowongan bisa segera dioperkan. Sedangkan perusahaan yang melanggar batas waktu penggunaan TKA dikenai iuran wajib pendidikan dan latihan (IWPL) tanpa membebaskan program pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja Indonesia (TKI). Menteri Tenaga Kerja kemudian menetapkan, biaya permohonan Izm ltU Rp 1.000 dan izin kerja TKA Rp 4.000. Sedangkan IWPL, yang semula ditentukan US$ 100 per bulan, sejak Maret 1983 ditentukan menjadi US$ 400. Biaya izin yang cuma Rp 1.000 dan Rp 4.000 itu bukan tidak mungkin membuka peluang pungli di kalangan pejabat yang menanganinya. Sedangkan IWPL, yang sebenarnya dimaksudkan sebagai "hukuman" terhadap perusahaan, agaknya dipandang pengusaha sebagai "peluang" memperpanjang pemakaian TKA. Berapalah artinya uang sekitar Rp 400.000 itu bila gaji TKA yang diperlukan, terutama di perusahaan modal asing (PMA), sampai sekitar Rp 10 juta? IWPL dulu dipungut departemen yang menaungi bidang perusahaan pemakai TKA yang bersangkutan. Pertanggungjawaban pemakaian IWPL itu tak jelas bagaimana. Menurut Sunarya, kepala Subbagian Penempatan Tenaga Kerja Asing Departemen Tenaga Kerja, yang tercatat rajin memberi laporan penggunaan dana IWPL, antara lain, sektor pertambangan umum: Rp 300 juta sudah dipakai untuk pendidikan dan latihan sekitar 70 orang di bidang penyelia manajerial. Sektor kehutanan telah memakai dana IWPL untuk melatih 1.300 tenaga kerja Indonesia, dan masih sisa sekitar Rp 1 milyar. Menurut perkiraan Sudomo, dana IWPL yang terkumpul Rp 6 milyar - Rp 7 milyar. Tapi, tenaga-tenaga kerja Indonesia yang dididik dengan dana IWPL itu belum tentu akan tertampung, selama perusahaan masih cenderung menggunakan TKA. Mungkin karena itu Sudomo, sejak menjadi menteri tenaga kerja, Maret 1983, kurang menegaskan permintaan laporan dana IWPL dari departemen-departemen. Yang ditekannya, dengan Keputusan Menaker 64/1984, perusahaan harus menegaskan siapa TKA yang hendak dipakai, untuk jenis pekerjaan apa, dan berapa lama ia sudah bisa digantikan TKI. Pendeknya, semua perusahaan dan instansi harus mempunyai program yang mantap tentang pemakaian tenaga asing (termasuk guru dan pendeta). "Pada dasarnya, semua lowongan harus diganti orang Indonesia," kata Menteri, yang kini sibuk memikirkan pertambahan tenaga kerja 1,8 juta per tahun serta buruhburuh yang banyak di-PHK-kan akhir-akhir ini. Tapi diakuinya, ada bidang pekerjaan yang masih tetap terbuka untuk TKA, mlsalnya manajer, penyelia, dan operator teknik. Kini, apakah berarti bahwa lembaga yang memakai TKA lewat batas waktu tak ada sanksinya? Hal itu belum diputuskan. Yang jelas, "Tenaga kerja yang hendak dipakai harus ditegaskan dalam permohonan izin sampai berapa lama, selanjutnya tidak boleh diperpanjang," kata Sudomo. Max Wangkar Laporan Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini