KE-8 pengusaha bis kota yang diambil-alih menejemennya oleh
Pemerintah bulat sudah tak lagi akan menjamah urusan angkutan
manusia di Jakarta. Ateng Soebandi, Dir-Ut PT Medal Sekarwangi
yang berhutang Rp 900 juta, akan meneruskan usaha taxi Sri
Medali dan bis antar kota trayek Jakarta-Sumedang.
M. H. Hutagalung, pemilik bis kota Arion, akhirnya merasa senang
juga setelah ada kepastian pemerintah mau menyelesaikan
pembayaran seluruh kekayaannya. Tapi orang yang sudah makan
garam di bidang angkutan kota itu, sudah tidak sangsi lagi akan
beralih ke bidang pertokoan (supermarket), di bekas pool bisnya
di Jalan Pemuda.
Tapi apakah pembelian pemerintah nantinya akan termasuk pool bis
juga? "Seluruh kekayaan dihitung dulu, juga hutangnya, kemudian
baru dipertemukan untung ruginya," kata Sudaryono, Dir-Ut PT
Ajiwirya yang kena diambilalih itu.
Bagaimana kalau seandainya pemerintah mengembalikannya? Dilihat
dari segi biaya, menurut Sudaryono bis kota itu sudah tak
ekonomis lagi. Artinya, taripnya harus sesuai dengan kemampuan
orang banyak alis hidup dari subsidi.
Barangkali itu pula yang bisa menerangkan mengapa hutang PPD
sampai mencapai di atas Rp 10 milyar (TEMPO, 12 Mei). Dirjen
Perhubungan Darat Nazar Nurdin dalam dengar pendapat dengan
Komisi V DPR pekan lalu, memberi uraian mengapa hutang PPD
sampai sekian gedenya. Katanya membacakan keterangan pemerintah:
Investasi bis PN PPD per 31 Desember 1978 berjumlah Rp 11 milyar
lebih sedikit. Dan baru diangsur Rp 929 juta. Sedang untuk pool
telah ditanam Rp 3 milyar lebih.
Jadi Masalah
Menurut Dirjen, dari jumlah 880 bis PPD, yang sudah diangsur
hutangnya dan lunas ada 110 bis. Sisanya yang 770 bis belum
lunas. Tapi, katanya, sisa itu masih dipertanyakan: hutang atau
kekayaan?
Optimiskah PN PPD bisa melunasi hutang-hutangnya? Nazar, yang
merasa kurang menguasai materi PPD, lantas menunjuk wakilnya,
Sukotjo. Keterangan Sekretaris Tim Pengendali Angkutan Jabotabek
itu cukup menarik. Menurut Sukotjo, pendapatan PPD per bulan
rata-rata berkisar antara Rp 450 - Rp 500 juta. Jadi seharinya
mencapai Rp 15 - Rp 16 juta. Pengamatan yang dilakukan sejak
1977 itu, menunjukkan bahwa PPD bisa mengangsur hutangnya Rp 100
juta per bulan.
Tapi selama Maret lalu PPD ternyata cuma mampu mengangsur Rp 26
juta. "Menurut perhitungan, kalau dipertahankan angsuran yang Rp
100 juta sebulan, PPD baru akan bisa melunasi hutangnya selama
17 tahun lagi," kata Sukotjo. Bisa dibayangkan berapa lama
hutang itu baru akan kembali -- tanpa perhitungan bunga -- kalau
saja PPD mengangsur Rp 26 juta sebulan.
Omong-omong, apa kabarnya bis kota setelah diambil-alih itu?
Dirjen Nazar membanggakan perbaikan intern, seperti gaji awak
bis dan jam kerjanya. Tak lupa diungkapkannya posisi keuangan
selama 1 bulan dipegang oleh tim antara 23 April sampai 23 Mei
lalu: pendapatan Rp SGG juta dan pengeluaran Rp 548 juta. Patut
dicatat pengeluaran itu sudah termasuk gaji baru, juga
penambahan biaya untuk perbaikan bis.
Tapi diakuinya memang sulit untuk menentukan tarip bis kota yang
tak merugi, dengan meningkatnya biaya suku cadang setelah
Kenop-15 dan naiknya BBM. "Tarip ini memang jadi masalah,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini