Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Semua Ingin Hidup, Tapi Hutan ... Mengapa Hutanku Hilang

Pembabatan hutan tanpa regenerasi akan merusak habitat lingkungan. 5 ekor harimau Jawa punah bila penduduk tak ditransmigrasikan. Wawancara Tempo dengan Emil Salim mengenai lingkungan hidup. (ling)

9 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ATA, 59 tahun, kakek dari 8 cucu hari itu masih kuat menggali batu. Beberapa ratus meter dari kawasan 25 ha hutan lindung sumber air minum, Ciburial, 7 km arah barat daya Bogor, kegiatan penggalian batu dan pasir masih berjalan tenang. Ata dan kawan-kawannya dengan otot tangan telah mengupas dataran beberapa kilometer persegi, turun ke bawah permukaan tanah semula. "Mengerikan pemandangannya," lapor wartawan TEMPO Klarawijaya. Akibatnya, debit air yang mengalir dari 11 mata air Ciburial anjlok dari 500 liter ke 300 liter/detik. Kebutuhdn air minum Jakarta tentu terancam. Pengrusakan manusia terhadap lingkungan hidupnya ternyata tidak terbatas. Beberapa pemegan Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan pun bertindak semaunya. Wakil Presiden Adam Malik mengingatkan kembali bahaya ini dalam raker Lingkungan Hidup di Jakarta awal pekan ini. Hutan, katanya, supaya "tidak dikuras habis" karena terdorong motif komersial seperti yang terjadi di Kalimantan. Di Way Kambas, Lampung Selatan, misalnya, pohon yang belum cukup berdiameter 50 cm juga dibabat. Sesudah menebang, kewajiban untuk menanami areal itu tidak dipenuhinya. "Dari 10 batang yang ditebang cuma ditanami satu pohon," kata seorang penduduk Way Kambas kepada Hilman Eidy dari TEMPO yang meninjau ke sana. Rakyat kemudian menyerobot areal konsesi itu, dan mengubahnya menjadi perkebunan kopi dan cengkeh. Juga merisaukan Gubernur Lampung Mayjen Jasir Hadibroto adalah penyerobotan terhadap hutan lindung dan suaka. Di Kampung Umbul Botol, Lampung Tengah, misalnya, 300 rakyat menolak pergi dari kawasan suaka margasatwa itu. Siapa yang salah? "Kesalahan terbesar ada di pihak kehutanan," jawab Zumrowi Muchamad SH, Kepala Bagian Penyuluhan dan Pengamanan Hutan -- Lampung. Alasannya, untuk mengawasi lebih 600 ribu ha hutan lindung dan suaka margasatwa hanya tersedia 200 tenaga teknis lapangan. "Padahal untuk mengawasi 1 Kesatuan Pemangku Hutan di Perum Perhutani Jawa Tengah yang hanya 30 ribu ha itu dikerahkan 300 orang," lanjutnya. Akibat pengrusakan hutan yang tak terawasi itu sudah terasa. Beberapa daerah Lampung dilanda banjir. Malahan Gubernur Jasir menyebut kepada TEMPO bahwa "dalam 15 tahun lagi banjir tak bakal berhenti menyerang Lampung." Dari 1,2 juta luas hutan di Lampung, hampir 300 ribu ha -- separuh di antaranya hutan lindung dan suaka -- rusak oleh penyerobotan rakyat, proyek transmigrasi dan kerja HPH serta HPHH. Kawasan tanah kritis meningkat dengan hebat. Kantor Gubernur sudah mencatat 250 ribu ha tanah kritis di sekitar Kota Agung Utara, Rindingan, Gunung Rajabasa, Betung dan Tanggamus. Sangat beralasan kalau Menteri PU mengemukakan kecemasannya pula. Banjir selain menghancurkan tata ekonomi rakyat, juga infrastruktur. Bila dibiarkan, "keadaan Lampung tahun 2000 nanti seperti pulau Jawa sekarang," kata Menteri Purnomosidi. Sebagai usaha mencegah pengrusakan lebih banyak, Gubernur telah menutup kabupaten Lampung Tengah dan Selatan untuk pemukim baru. Ia juga mengusulkan agar HPH untuk Lampung ditiadakan. "HPHH yang dikeluarkan kantor Gubernur tidak akan diperpanjang lagi," kata Gubernur Jasir. Di perbatasan Sumbar-Jambi terjadi pula pembabatan terhadap hutan lindung Lisun I dan II serta Tempeh III di pinggiran Batang Hari. Letak jalan lintas Sumatera yang merentang di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung yang memudahkan pengangkutan, mendorong pembabatan leluasa. Ternyata pula dari 12 pemegang HPH di Sumatera Barat, banyak yang tidak beres. Pemegang HPH di Mentawai, misalnya, dalam melakukan logging dengan alat-alat beratnya merusak banyak tumbuhan lain. Sulit memang bagi Gubernur Sumbar Azwar Anas untuk mengawasi hutan produksi 700 ribu ha. Banyak pengrusakan dan pelanggaran Rencana Karya Tahunan pemegang HPH tak bisa dicegah, "karena tenaga kita untuk mengawasi terbatas," ungkapnya Gubernur Anas berjanji akan meneliti para pemegang HPH yang tidak beres. Tindakan akan diambilnya selaras dengan perjanjian. "Kalau perlu penguasaan HPHnya dicabut," kata stafnya. Tapi sementara itu disebut di luaran bahwa kawasan hutan lindung Lisun I dan II serta Tempeh III akan di-HPH-kan. Benarkah itu? "Sebagai isyu itu biasa saja," kata Gubernur Sumbar kepada Muchlis Sulin dari TEMPO. Januari lalu, tidak kurang dari separuh hutan di Mardinding, Kabupaten Tanah Tinggi Karo, Sumut, telah ditebas dan dirambah penduduk. Akibatnya, ribuan hektar hutan lindung di sana gundul. Terpaksa dengan kekerasan petugas keamanan dan kehutanan yang bergabung dalam tim Polsus berusaha menghambat perambahan itu. Tim itu mengusir mereka dari areal hutan yang telah diubah sebagai perladangan dengan membakar gubuk dan tanaman mereka. Di desa Rimokayu malah ada 10 ha hutan tusam yang baru berusia 3 tahun dibakar. Seorang penduduk terpaksa diamankan polisi karena perbuatannya itu. Kalau perambahan hutan seperti di daerah pegunungan Tanah Karo itu tidak dicegah, suplai air minum untuk Medan dan Belawan bakal terancam. Di punggung gunung sana mata air tadi berasal dan disalurkan lewat Sibolangit. Contoh sudah ada, seperti 10 mata air yang berasal dari punggung pegunungan yang mengitari Bandung, kini susut. Karena hutannya gundul, debit air anjlok dari 1000 liter ke 800 liter/detik. Penggalian sumur artesis yang dilakukan penduduk justru akan merugikan. "Terlalu banyak sumur artesis malah akan merusak urat air di dalam tanah," kata Oekasah Suhandi, jurubicara Pemda Kotamadya Bandung kepada wartawan TEMPO Hasan Syukur. Peristiwa aneh terjadi di Sulawesi Tengah. Dari 4,6 juta ha hutan yang ada di Sulteng, 3,5 juta ha telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Tapi kepada 28 pemegang HPH di sana dibagikan 2,8 juta ha hutan, termasuk tentunya kawasan hutan lindung. Jelas hutan lindung termakan HPH. Bahkan PT Sakura Abadi Timber mendapat areal yang dipisahkan laut selebar 50 km dan dihuni manusia --tampaknya masuk hutan lindung. Kenapa daerah itu diberikan pada PT SAT? "Itu permintaan dari Dirjen Kehutanan," kata seseorang di kantor Gubernur Sulteng kepada Ali Bachmid dari TEMPO. Ia menunjukkan sepucuk surat 16 Des '72 dari Dirjen Sudjarwo. Surat itu memuat permohonan clearing areal kepada Gubernur atas areal PT Hatikah Karya yang dibatalkan pencadangannya dan dialihkan ke PT SAT d/h CV Koekoeh. Kekacauan dalam soal tapal batas dengan para pemegang HPH dan HPHH juga sering menimbulkan salah paham. Maklum jenis kayu eboni (kayu hitam) yang langka itu sedang baik, harganya. Pembabatan hutan umumnya tak terawasi di Sulteng itu. Akibatnya sudah terasa pada lapangan terbang perintis Kasiguntyu, Poso, yang pernah 4 hari lamanya tak bisa dipakai. Landasannya rusak terendam banjir. Sebuah jembatan di pantai barat Donggala pernah pula runtuh digempur banjir. "Banjir itu erat hubungannya dengan pembabatan hutan," kata ir. P.H. Panjaitan dari Bagian Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Sulteng. Pemerintah sendiri, demikian Menteri PPLH Emil Salim dalam Raker Ditjen Kehutanan Mei lalu, kewalahan mengawasi Persetujuan Kehutanan (Forestry Agreement). Sampai April '78 sudah tercatat 693 pengusaha kehutanan yang mengolah atau sedang mensurvai kawasan hutan 73,1 juta ha dengan nilai investasi US$ 1,3 milyar ditmbah Rp 500 juta. Kekurangan tenaga yang terampil di lapangan menyebabkan banyak FA tidak dilaksanakan pemegang HPH. Apalagi ketika Menteri Dalam Negeri mendelegir Pemda setempat, mengeluarkan HPHH di atas kawasan hutan sampai 100 ha, FA itu diabaikan saja. Pengawasan dalam pelaksanaan tebang pilih, tata tertib logging, dan enrichment replanting semakin tambah sulit -- maklum yang harus diawasi bukan cuma sejengkal alas Mentaok pada jaman kerajaan Mataram dulu. Meskipun sudah kritis, di Jawa pengrusakan hutan lindung masih terjadi. Di Jawa Tengah, bahkan pemerintah sendiri memelopori pengrusakan 4000 ha hutan lindung untuk pembangunan infrastruktur jalan raya dan waduk. Kebakaran yang disengaja atau tak disengaja, juga semakin menipiskan hutan lindung di Jawa Timur. Tahun '76, tercatat 26 ribu ha kawasan hutan Jatim terbakar, dibanding tahun sebelumnya yang hanya 4 ribu ha. Kemiskinan dan tekanan pertambahan penduduk ikut menghancurkan kawasan hutan lindung di Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo, Jawa Tengah. Hutannya tinggal 14% dari luas areal 1,9 juta ha. Menipisnya hutan tentu memengaruhi kecepatan erosi tanah. Air hujan di DAS Solo hulu ini mempunyai kekuatan mengupas kulit bumi 0,3-3,8 cm setahun. Banjir lebih sering terjadi di DAS Solo yang dihuni 12 juta manusia ini. Air pun menghanyutkan kandungan lumpur, yang seterusnya mengancam kelestarian waduk. Di DAS Solo terdapat beberapa waduk yang kapasitas tampungnya berkurang lebih dari separuh. Bahkan waduk Tewel, umur 64 tahun telah kehilangan kapasitas tampung lebih 90%. Hal yang serupa juga terjadi di DAS Brantas yang didiami 11 juta manusia. Ke dalam waduk Karangkates yang mahal itu setahunnya masuk 600 ribu meter kubik lumpur dan ke Selorejo 220 ribu meter kubik. Jatiluhur di Jawa Barat turut menerblla 3 juta meter kubik lumpur yang dikirim Citarum dari punggung bukit sekitarnya. Hutan di DAS Citarum tinggal 11% saja. Tak heran kalau Prof. Otto Sumarwoto, gurubesar Tata-Guna Biologi Universitas Padjadjaran memperingatkan, "Erosi di DAS Citarum sudah mencapai tingkat yang gawat." Sisa cadangan hutan di Jawa yang merosot hingga 2,9 juta ha saja, atau 22% dari luasnya pulau ini, sudah sangat merisaukan. Menurut ir Syafii Manan MSc, Ahli Tata Air Fakultas Kehutann IPB, di Jawa terdapat 11 DAS yang terhitung kritis. Yaitu hulu sungai Cisadane, Ciliwung, Citarum Cimanuk, Citanduy, Pemali Comal, Serayu, Jeratun Seluna, Solo. Brantas dan Sampean. Sementara di luar Jawa yang kritis adalah Sei Wampu (Sumut), Way Seputih (Lampung) dan Walanai (Sulsel). "Kalau dibiarkan terus, dalam waktu 15 tahun mendatang Jawa harus mendatangkan ransum air bersih dari pulau lainnya," kata Syafii kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO. Gambaran lebih mengerikan diberikan Dr Achmad Sumitro Dekan Fak. Kehutanan UGM. Dalam janga waktu 100 tahun mendatang, bila tanah kritis dibiarkan brkembang, "pulau Jawa akan jadi pulau batu," katanya pada wartawan TEMPO Syahril Chili. "Kini kita belum terlambat, asalkan kita punya kegiatan melestarikan sumber alam." Jadi mana lebih baik mendahulukan pembangunan waduk atau memulihkan hutan lindung? Banyak pendapat berkembang. Dr Herman Haeruman dari Departemen Manajemen Hutan Fak. Kehutanan IPB dalam salah satu kertas kerja, misalnya, cenderung melakukan yang terakhir sambil memperbaiki cara bercocok tanam rakyat. "Usaha penanggulangan banjir dengan pembuatan bendungan hanyalah merupakan usaha jangka pendek dan sementara," katanya. Menurut Prof. Otto Sumarwoto dalam suatu kertas kerja lainnya, "fungsi kelangsungan waduk itu tergantung dari hutan. Waduk tidak dapat menggantikan fungsi hutan dalam penyimpanan air." Tapi alat-alat berat sekarang masih menderu membabat bukit, antara lain untuk membangun waduk Gajah Mungkur di DAS Solo. Dan di Jatigede, Jawa Barat, akan dibangun pula bangunan sejenis yang spektakuler, kenapa? Ini menyangkut soal prioritas yang konon diperdebatkan sengit di Gedung Bappenas, Taman Suropati, Jakarta. Waduk atau hutan yang didahulukan? Rupanya dengan kegigihan luar biasa para ahli dari Dep. PU bisa meyakinkan bahwa waduk perlu didahulukan demi pengembangan tenaga terampil dan ahli. Dengan pembangunan waduk pembinaan tenaga pun terlaksana. Di Jawa Barat, 7 tahun lalu Gubernur Solichin menyerukan gerakan Rakgantang (Rakyat Gandrung Tangkal -- Rakyat Rindu Pohon). Hasilnya masih jeblok. Buktinya ada. "Hutan masih banyak yang gundul dan banjir masih tetap terjadi," kata Ishak Abdul Karim, anggota DPRD Fraksi Karya Pembangunan. Gunung Kaledong dan Haruman -- tempat Rakgantang dicanangkan pertama kali -- masih botak. Solichin menangkis, bagaimana akan berhasil, "kalau tanah yang dihijaukan di gunung itu adalah milik rakyat?" Tapi Prof. Otto Sumarwoto juga menyangsikan keberhasilan penghijauan di Jabar. "Cara-cara yang dilakukan secara masal biasanya memang kurang berhasil," katanya. PENGALAMAN pahit dalam usaha penghijauan pernah terjadi di Jember DAS Brantas Hulu. Tumbuhan pinus, yang baru beberapa tahun tegak, terpaksa digusur dari tempatnya, karena Pramuka -- yang mencintai lingkunean -- akan melakukan pertemuan Raimuna. Di Sumut, Gubernur EWP Tambunan makin gusar melihat usaha reboisasi daerahnya banyak terhambat. Tanah di dataran tinggi Danau Toba dan Tapanuli Selatan, tempat sumber mata air masih dikuasai secara adat. Tidak berlebihan kalau Tambunan memperingatkan, "nasib pembangunan di daerah ini amat tergantung pada kelestarian dataran tinggi sekitar Danau Toba." Usaha pemerintah pusat untuk mengurangi tekanan pada banyak DAS kritis dengan transmigrasi sampai kini belum menunjukkan tanda-tanda terang. "Kemiskinan adalah sebab utama pengrusakan lingkungan hidup di negara berkembang," demikian Emil Salim dalam suatu tulisannya. "Kapur di gunung, karang di laut digali bukan untuk merusak lingkungan, tapi untuk penyambung hidup." Pernyataan Menteri Pengawas Pembangunan & Lingkungan Hidup itu tampaknya paling cocok di pulau Jawa. Di hutan rimba Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Maluku, para pemegang HPH dan HPHH, kaum investor ikut merusak lingkungan. Siapa yang akan tahu di sana terjadi pelanggaran terhadap syarat Perjanjian Kehutanan? Kayu yang belum berdiameter cukup 50 cm ditebang. Kawasan hutan di atas 500 m dari permukaan laut dirambah. Loging dilakukan dengan kabel. "Sebenarnya kerusakan hutan akibat kerja para pemegang HPH ini lehih besar daripada penebangan liar yang dilakukan rakyat," kata ir Syafii Manan. Menteri Emil Salim dan para ahli kehutanan kini mengakui bahwa beberapa jenis kayu, kalau tidak dirawat baik, sulit berkembang. Meranti, eboni (kayu hitam) dan kayu besi termasuk jenis ini. Selain itu juga rasamala, jati, kruing, kapur yang memerlukan masa tumbuh 60-70 tahun untuk siap ditebang kembali. Lembaga Biologi Nasional di Bogor sampai kini masih meneliti beberapa metode regenerasi yang baik. Untuk regenerasi kecil-kecilan eboni antara 100-200 pohon, LBN sudah menguasai dengan baik. "Tapi untuk besar-besaran, seperti reboisasi dan penghijauan, belum bisa," kata Dr Setijati Sastrapraja Direktur LBN-LIPI. "Untuk meneliti eboni diperlukan waktu yang lama antara 30-40 tahun." Beberapa pemegang HPH dan HPHH ternyata melakukan penanaman jenis kayu yang berbeda dengan pohon semula. Pokoknya cepat tumbuh, kelihatan hijau dan mungkin bisa dipetik lagi hasilnya untuk bahan baku pulp. Pohon pinus, agatis, ekaliptus, kelampayan dan jabon -- yang memerlukan waktu tumbuh siap tebang hanya 15-30 tahun -- bermunculan di beberapa tempat. Tidak diketahui sudah berapa banyak jenis tumbuhan dan satwa yang belum diidentifikasi lenyap. Tapi akibat dari penebangan yang sembrono itu, menurut Dr Setijati, ada beberapa jenis genetika tumbuhan yang populasinya merosot. Misalnya, rotan, anggrek hutan, paku-pakuan, kayu besi dan sawo kecik. Pendangkalan terjadi di beberapa sungai besar akibat pembabatan hutan. Sungai Mahakam dan Kayan di Kalimantan Timur, misalnya, semakin dangkal. Bahkan Kayan kini tak bisa dilayari kapal besar lagi. Kekurangan dana untuk mengeruk? Ternyata tidak. Sebab pihak Ditjen Kehutanan telah mengutip Iuran Hasil Hutan Tambahan selama 1972-78 sebesar Rp 44,5 milyar. Untuk pengerukan sungai di beberapa propinsi yang terkena HPH Ditjen Kehutanan baru mengeluarkan dana Rp 14 milyar. Menteri Keuangan sendiri dalam surat 21 Juni '78 telah menegor Menteri Pertanian yang baru, supaya segera melaporkan penggunaan IHHT itu. Dana untuk pengerukan sungai itu sebenarnya masih banyak, tapi sulit penggunaannya. Apakah sungai itu akan dibiarkan banjir dan menghancurkan kota-kota entahlah. Di Jawa sendiri sementara perkembangan tanah kritis masih sulit dihambat, masalah pencemaran oleh air limbah industri sudah muncul di mana-mana. Di Semarang, Surabaya, dan terutama Jakarta keluhan sudah muncul. Dalam hal ini pun pemerintah sudah menyadari keteledorannya di masa lalu. Anggaran pembangunan untuk sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup disediakan Rp 650 milyar selama Pelita III ini. Sementara untuk tahun anggaran 1979/80, di beberapa Departemen disediakan dana sektoral Rp 103,8 milyar. Tugas Menteri Emil Salim untuk mengawasi mekanisme itu berat memang. Tapi inilah sebagian langkah awal pemerintah, untuk mencegah terulangnya sejarah hancurnya lembah Mesopotamia di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus