ATA, 59 tahun, kakek dari 8 cucu hari itu masih kuat menggali
batu. Beberapa ratus meter dari kawasan 25 ha hutan lindung
sumber air minum, Ciburial, 7 km arah barat daya Bogor, kegiatan
penggalian batu dan pasir masih berjalan tenang. Ata dan
kawan-kawannya dengan otot tangan telah mengupas dataran
beberapa kilometer persegi, turun ke bawah permukaan tanah
semula. "Mengerikan pemandangannya," lapor wartawan TEMPO
Klarawijaya.
Akibatnya, debit air yang mengalir dari 11 mata air Ciburial
anjlok dari 500 liter ke 300 liter/detik. Kebutuhdn air minum
Jakarta tentu terancam.
Pengrusakan manusia terhadap lingkungan hidupnya ternyata tidak
terbatas. Beberapa pemegan Hak Pengusahaan Hutan dan Hak
Pengusahaan Hasil Hutan pun bertindak semaunya.
Wakil Presiden Adam Malik mengingatkan kembali bahaya ini dalam
raker Lingkungan Hidup di Jakarta awal pekan ini. Hutan,
katanya, supaya "tidak dikuras habis" karena terdorong motif
komersial seperti yang terjadi di Kalimantan.
Di Way Kambas, Lampung Selatan, misalnya, pohon yang belum cukup
berdiameter 50 cm juga dibabat. Sesudah menebang, kewajiban
untuk menanami areal itu tidak dipenuhinya. "Dari 10 batang yang
ditebang cuma ditanami satu pohon," kata seorang penduduk Way
Kambas kepada Hilman Eidy dari TEMPO yang meninjau ke sana.
Rakyat kemudian menyerobot areal konsesi itu, dan mengubahnya
menjadi perkebunan kopi dan cengkeh.
Juga merisaukan Gubernur Lampung Mayjen Jasir Hadibroto adalah
penyerobotan terhadap hutan lindung dan suaka. Di Kampung Umbul
Botol, Lampung Tengah, misalnya, 300 rakyat menolak pergi dari
kawasan suaka margasatwa itu.
Siapa yang salah? "Kesalahan terbesar ada di pihak kehutanan,"
jawab Zumrowi Muchamad SH, Kepala Bagian Penyuluhan dan
Pengamanan Hutan -- Lampung. Alasannya, untuk mengawasi lebih
600 ribu ha hutan lindung dan suaka margasatwa hanya tersedia
200 tenaga teknis lapangan. "Padahal untuk mengawasi 1 Kesatuan
Pemangku Hutan di Perum Perhutani Jawa Tengah yang hanya 30 ribu
ha itu dikerahkan 300 orang," lanjutnya.
Akibat pengrusakan hutan yang tak terawasi itu sudah terasa.
Beberapa daerah Lampung dilanda banjir. Malahan Gubernur Jasir
menyebut kepada TEMPO bahwa "dalam 15 tahun lagi banjir tak
bakal berhenti menyerang Lampung."
Dari 1,2 juta luas hutan di Lampung, hampir 300 ribu ha --
separuh di antaranya hutan lindung dan suaka -- rusak oleh
penyerobotan rakyat, proyek transmigrasi dan kerja HPH serta
HPHH. Kawasan tanah kritis meningkat dengan hebat. Kantor
Gubernur sudah mencatat 250 ribu ha tanah kritis di sekitar
Kota Agung Utara, Rindingan, Gunung Rajabasa, Betung dan
Tanggamus.
Sangat beralasan kalau Menteri PU mengemukakan kecemasannya
pula. Banjir selain menghancurkan tata ekonomi rakyat, juga
infrastruktur. Bila dibiarkan, "keadaan Lampung tahun 2000 nanti
seperti pulau Jawa sekarang," kata Menteri Purnomosidi.
Sebagai usaha mencegah pengrusakan lebih banyak, Gubernur telah
menutup kabupaten Lampung Tengah dan Selatan untuk pemukim baru.
Ia juga mengusulkan agar HPH untuk Lampung ditiadakan. "HPHH
yang dikeluarkan kantor Gubernur tidak akan diperpanjang lagi,"
kata Gubernur Jasir.
Di perbatasan Sumbar-Jambi terjadi pula pembabatan terhadap
hutan lindung Lisun I dan II serta Tempeh III di pinggiran
Batang Hari. Letak jalan lintas Sumatera yang merentang di
Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung yang memudahkan pengangkutan,
mendorong pembabatan leluasa. Ternyata pula dari 12 pemegang HPH
di Sumatera Barat, banyak yang tidak beres. Pemegang HPH di
Mentawai, misalnya, dalam melakukan logging dengan alat-alat
beratnya merusak banyak tumbuhan lain.
Sulit memang bagi Gubernur Sumbar Azwar Anas untuk mengawasi
hutan produksi 700 ribu ha. Banyak pengrusakan dan pelanggaran
Rencana Karya Tahunan pemegang HPH tak bisa dicegah, "karena
tenaga kita untuk mengawasi terbatas," ungkapnya Gubernur Anas
berjanji akan meneliti para pemegang HPH yang tidak beres.
Tindakan akan diambilnya selaras dengan perjanjian. "Kalau perlu
penguasaan HPHnya dicabut," kata stafnya. Tapi sementara itu
disebut di luaran bahwa kawasan hutan lindung Lisun I dan II
serta Tempeh III akan di-HPH-kan. Benarkah itu? "Sebagai isyu
itu biasa saja," kata Gubernur Sumbar kepada Muchlis Sulin dari
TEMPO.
Januari lalu, tidak kurang dari separuh hutan di Mardinding,
Kabupaten Tanah Tinggi Karo, Sumut, telah ditebas dan dirambah
penduduk. Akibatnya, ribuan hektar hutan lindung di sana gundul.
Terpaksa dengan kekerasan petugas keamanan dan kehutanan yang
bergabung dalam tim Polsus berusaha menghambat perambahan itu.
Tim itu mengusir mereka dari areal hutan yang telah diubah
sebagai perladangan dengan membakar gubuk dan tanaman mereka. Di
desa Rimokayu malah ada 10 ha hutan tusam yang baru berusia 3
tahun dibakar. Seorang penduduk terpaksa diamankan polisi karena
perbuatannya itu.
Kalau perambahan hutan seperti di daerah pegunungan Tanah Karo
itu tidak dicegah, suplai air minum untuk Medan dan Belawan
bakal terancam. Di punggung gunung sana mata air tadi berasal
dan disalurkan lewat Sibolangit.
Contoh sudah ada, seperti 10 mata air yang berasal dari punggung
pegunungan yang mengitari Bandung, kini susut. Karena hutannya
gundul, debit air anjlok dari 1000 liter ke 800 liter/detik.
Penggalian sumur artesis yang dilakukan penduduk justru akan
merugikan. "Terlalu banyak sumur artesis malah akan merusak urat
air di dalam tanah," kata Oekasah Suhandi, jurubicara Pemda
Kotamadya Bandung kepada wartawan TEMPO Hasan Syukur.
Peristiwa aneh terjadi di Sulawesi Tengah. Dari 4,6 juta ha
hutan yang ada di Sulteng, 3,5 juta ha telah ditetapkan sebagai
hutan lindung. Tapi kepada 28 pemegang HPH di sana dibagikan 2,8
juta ha hutan, termasuk tentunya kawasan hutan lindung. Jelas
hutan lindung termakan HPH. Bahkan PT Sakura Abadi Timber
mendapat areal yang dipisahkan laut selebar 50 km dan dihuni
manusia --tampaknya masuk hutan lindung. Kenapa daerah itu
diberikan pada PT SAT? "Itu permintaan dari Dirjen Kehutanan,"
kata seseorang di kantor Gubernur Sulteng kepada Ali Bachmid
dari TEMPO. Ia menunjukkan sepucuk surat 16 Des '72 dari Dirjen
Sudjarwo. Surat itu memuat permohonan clearing areal kepada
Gubernur atas areal PT Hatikah Karya yang dibatalkan
pencadangannya dan dialihkan ke PT SAT d/h CV Koekoeh.
Kekacauan dalam soal tapal batas dengan para pemegang HPH dan
HPHH juga sering menimbulkan salah paham. Maklum jenis kayu
eboni (kayu hitam) yang langka itu sedang baik, harganya.
Pembabatan hutan umumnya tak terawasi di Sulteng itu. Akibatnya
sudah terasa pada lapangan terbang perintis Kasiguntyu, Poso,
yang pernah 4 hari lamanya tak bisa dipakai. Landasannya rusak
terendam banjir. Sebuah jembatan di pantai barat Donggala pernah
pula runtuh digempur banjir. "Banjir itu erat hubungannya dengan
pembabatan hutan," kata ir. P.H. Panjaitan dari Bagian
Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Sulteng.
Pemerintah sendiri, demikian Menteri PPLH Emil Salim dalam Raker
Ditjen Kehutanan Mei lalu, kewalahan mengawasi Persetujuan
Kehutanan (Forestry Agreement). Sampai April '78 sudah tercatat
693 pengusaha kehutanan yang mengolah atau sedang mensurvai
kawasan hutan 73,1 juta ha dengan nilai investasi US$ 1,3 milyar
ditmbah Rp 500 juta. Kekurangan tenaga yang terampil di
lapangan menyebabkan banyak FA tidak dilaksanakan pemegang HPH.
Apalagi ketika Menteri Dalam Negeri mendelegir Pemda setempat,
mengeluarkan HPHH di atas kawasan hutan sampai 100 ha, FA itu
diabaikan saja. Pengawasan dalam pelaksanaan tebang pilih, tata
tertib logging, dan enrichment replanting semakin tambah sulit
-- maklum yang harus diawasi bukan cuma sejengkal alas Mentaok
pada jaman kerajaan Mataram dulu.
Meskipun sudah kritis, di Jawa pengrusakan hutan lindung masih
terjadi. Di Jawa Tengah, bahkan pemerintah sendiri memelopori
pengrusakan 4000 ha hutan lindung untuk pembangunan
infrastruktur jalan raya dan waduk. Kebakaran yang disengaja
atau tak disengaja, juga semakin menipiskan hutan lindung di
Jawa Timur. Tahun '76, tercatat 26 ribu ha kawasan hutan Jatim
terbakar, dibanding tahun sebelumnya yang hanya 4 ribu ha.
Kemiskinan dan tekanan pertambahan penduduk ikut menghancurkan
kawasan hutan lindung di Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo, Jawa
Tengah. Hutannya tinggal 14% dari luas areal 1,9 juta ha.
Menipisnya hutan tentu memengaruhi kecepatan erosi tanah. Air
hujan di DAS Solo hulu ini mempunyai kekuatan mengupas kulit
bumi 0,3-3,8 cm setahun. Banjir lebih sering terjadi di DAS Solo
yang dihuni 12 juta manusia ini. Air pun menghanyutkan kandungan
lumpur, yang seterusnya mengancam kelestarian waduk.
Di DAS Solo terdapat beberapa waduk yang kapasitas tampungnya
berkurang lebih dari separuh. Bahkan waduk Tewel, umur 64 tahun
telah kehilangan kapasitas tampung lebih 90%.
Hal yang serupa juga terjadi di DAS Brantas yang didiami 11 juta
manusia. Ke dalam waduk Karangkates yang mahal itu setahunnya
masuk 600 ribu meter kubik lumpur dan ke Selorejo 220 ribu meter
kubik.
Jatiluhur di Jawa Barat turut menerblla 3 juta meter kubik
lumpur yang dikirim Citarum dari punggung bukit sekitarnya.
Hutan di DAS Citarum tinggal 11% saja. Tak heran kalau Prof.
Otto Sumarwoto, gurubesar Tata-Guna Biologi Universitas
Padjadjaran memperingatkan, "Erosi di DAS Citarum sudah mencapai
tingkat yang gawat."
Sisa cadangan hutan di Jawa yang merosot hingga 2,9 juta ha
saja, atau 22% dari luasnya pulau ini, sudah sangat merisaukan.
Menurut ir Syafii Manan MSc, Ahli Tata Air Fakultas Kehutann
IPB, di Jawa terdapat 11 DAS yang terhitung kritis. Yaitu hulu
sungai Cisadane, Ciliwung, Citarum Cimanuk, Citanduy, Pemali
Comal, Serayu, Jeratun Seluna, Solo. Brantas dan Sampean.
Sementara di luar Jawa yang kritis adalah Sei Wampu (Sumut), Way
Seputih (Lampung) dan Walanai (Sulsel).
"Kalau dibiarkan terus, dalam waktu 15 tahun mendatang Jawa
harus mendatangkan ransum air bersih dari pulau lainnya," kata
Syafii kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO. Gambaran lebih
mengerikan diberikan Dr Achmad Sumitro Dekan Fak. Kehutanan UGM.
Dalam janga waktu 100 tahun mendatang, bila tanah kritis
dibiarkan brkembang, "pulau Jawa akan jadi pulau batu," katanya
pada wartawan TEMPO Syahril Chili. "Kini kita belum terlambat,
asalkan kita punya kegiatan melestarikan sumber alam."
Jadi mana lebih baik mendahulukan pembangunan waduk atau
memulihkan hutan lindung? Banyak pendapat berkembang. Dr Herman
Haeruman dari Departemen Manajemen Hutan Fak. Kehutanan IPB
dalam salah satu kertas kerja, misalnya, cenderung melakukan
yang terakhir sambil memperbaiki cara bercocok tanam rakyat.
"Usaha penanggulangan banjir dengan pembuatan bendungan hanyalah
merupakan usaha jangka pendek dan sementara," katanya. Menurut
Prof. Otto Sumarwoto dalam suatu kertas kerja lainnya, "fungsi
kelangsungan waduk itu tergantung dari hutan. Waduk tidak dapat
menggantikan fungsi hutan dalam penyimpanan air."
Tapi alat-alat berat sekarang masih menderu membabat bukit,
antara lain untuk membangun waduk Gajah Mungkur di DAS Solo. Dan
di Jatigede, Jawa Barat, akan dibangun pula bangunan sejenis
yang spektakuler, kenapa? Ini menyangkut soal prioritas yang
konon diperdebatkan sengit di Gedung Bappenas, Taman Suropati,
Jakarta. Waduk atau hutan yang didahulukan? Rupanya dengan
kegigihan luar biasa para ahli dari Dep. PU bisa meyakinkan
bahwa waduk perlu didahulukan demi pengembangan tenaga terampil
dan ahli. Dengan pembangunan waduk pembinaan tenaga pun
terlaksana.
Di Jawa Barat, 7 tahun lalu Gubernur Solichin menyerukan
gerakan Rakgantang (Rakyat Gandrung Tangkal -- Rakyat Rindu
Pohon). Hasilnya masih jeblok. Buktinya ada. "Hutan masih banyak
yang gundul dan banjir masih tetap terjadi," kata Ishak Abdul
Karim, anggota DPRD Fraksi Karya Pembangunan. Gunung Kaledong
dan Haruman -- tempat Rakgantang dicanangkan pertama kali --
masih botak. Solichin menangkis, bagaimana akan berhasil, "kalau
tanah yang dihijaukan di gunung itu adalah milik rakyat?" Tapi
Prof. Otto Sumarwoto juga menyangsikan keberhasilan penghijauan
di Jabar. "Cara-cara yang dilakukan secara masal biasanya memang
kurang berhasil," katanya.
PENGALAMAN pahit dalam usaha penghijauan pernah terjadi di
Jember DAS Brantas Hulu. Tumbuhan pinus, yang baru beberapa
tahun tegak, terpaksa digusur dari tempatnya, karena Pramuka --
yang mencintai lingkunean -- akan melakukan pertemuan Raimuna.
Di Sumut, Gubernur EWP Tambunan makin gusar melihat usaha
reboisasi daerahnya banyak terhambat. Tanah di dataran tinggi
Danau Toba dan Tapanuli Selatan, tempat sumber mata air masih
dikuasai secara adat. Tidak berlebihan kalau Tambunan
memperingatkan, "nasib pembangunan di daerah ini amat
tergantung pada kelestarian dataran tinggi sekitar Danau Toba."
Usaha pemerintah pusat untuk mengurangi tekanan pada banyak DAS
kritis dengan transmigrasi sampai kini belum menunjukkan
tanda-tanda terang. "Kemiskinan adalah sebab utama pengrusakan
lingkungan hidup di negara berkembang," demikian Emil Salim
dalam suatu tulisannya. "Kapur di gunung, karang di laut digali
bukan untuk merusak lingkungan, tapi untuk penyambung hidup."
Pernyataan Menteri Pengawas Pembangunan & Lingkungan Hidup itu
tampaknya paling cocok di pulau Jawa. Di hutan rimba Kalimantan,
Sumatera, Sulawesi dan Maluku, para pemegang HPH dan HPHH, kaum
investor ikut merusak lingkungan. Siapa yang akan tahu di sana
terjadi pelanggaran terhadap syarat Perjanjian Kehutanan? Kayu
yang belum berdiameter cukup 50 cm ditebang. Kawasan hutan di
atas 500 m dari permukaan laut dirambah. Loging dilakukan
dengan kabel.
"Sebenarnya kerusakan hutan akibat kerja para pemegang HPH ini
lehih besar daripada penebangan liar yang dilakukan rakyat,"
kata ir Syafii Manan.
Menteri Emil Salim dan para ahli kehutanan kini mengakui bahwa
beberapa jenis kayu, kalau tidak dirawat baik, sulit berkembang.
Meranti, eboni (kayu hitam) dan kayu besi termasuk jenis ini.
Selain itu juga rasamala, jati, kruing, kapur yang memerlukan
masa tumbuh 60-70 tahun untuk siap ditebang kembali.
Lembaga Biologi Nasional di Bogor sampai kini masih meneliti
beberapa metode regenerasi yang baik. Untuk regenerasi
kecil-kecilan eboni antara 100-200 pohon, LBN sudah menguasai
dengan baik. "Tapi untuk besar-besaran, seperti reboisasi dan
penghijauan, belum bisa," kata Dr Setijati Sastrapraja Direktur
LBN-LIPI. "Untuk meneliti eboni diperlukan waktu yang lama
antara 30-40 tahun."
Beberapa pemegang HPH dan HPHH ternyata melakukan penanaman
jenis kayu yang berbeda dengan pohon semula. Pokoknya cepat
tumbuh, kelihatan hijau dan mungkin bisa dipetik lagi hasilnya
untuk bahan baku pulp. Pohon pinus, agatis, ekaliptus,
kelampayan dan jabon -- yang memerlukan waktu tumbuh siap tebang
hanya 15-30 tahun -- bermunculan di beberapa tempat.
Tidak diketahui sudah berapa banyak jenis tumbuhan dan satwa
yang belum diidentifikasi lenyap. Tapi akibat dari penebangan
yang sembrono itu, menurut Dr Setijati, ada beberapa jenis
genetika tumbuhan yang populasinya merosot. Misalnya, rotan,
anggrek hutan, paku-pakuan, kayu besi dan sawo kecik.
Pendangkalan terjadi di beberapa sungai besar akibat
pembabatan hutan. Sungai Mahakam dan Kayan di Kalimantan Timur,
misalnya, semakin dangkal. Bahkan Kayan kini tak bisa dilayari
kapal besar lagi.
Kekurangan dana untuk mengeruk? Ternyata tidak. Sebab pihak
Ditjen Kehutanan telah mengutip Iuran Hasil Hutan Tambahan
selama 1972-78 sebesar Rp 44,5 milyar. Untuk pengerukan sungai
di beberapa propinsi yang terkena HPH Ditjen Kehutanan baru
mengeluarkan dana Rp 14 milyar. Menteri Keuangan sendiri dalam
surat 21 Juni '78 telah menegor Menteri Pertanian yang baru,
supaya segera melaporkan penggunaan IHHT itu. Dana untuk
pengerukan sungai itu sebenarnya masih banyak, tapi sulit
penggunaannya. Apakah sungai itu akan dibiarkan banjir dan
menghancurkan kota-kota entahlah.
Di Jawa sendiri sementara perkembangan tanah kritis masih sulit
dihambat, masalah pencemaran oleh air limbah industri sudah
muncul di mana-mana. Di Semarang, Surabaya, dan terutama Jakarta
keluhan sudah muncul. Dalam hal ini pun pemerintah sudah
menyadari keteledorannya di masa lalu. Anggaran pembangunan
untuk sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup disediakan Rp 650
milyar selama Pelita III ini. Sementara untuk tahun anggaran
1979/80, di beberapa Departemen disediakan dana sektoral Rp
103,8 milyar.
Tugas Menteri Emil Salim untuk mengawasi mekanisme itu berat
memang. Tapi inilah sebagian langkah awal pemerintah, untuk
mencegah terulangnya sejarah hancurnya lembah Mesopotamia di
Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini