Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pingsan Sebelum Pita Baru

Kesulitan pabrik rokok kretek, setelah kenop-15, kenaikan BBM, muncul peraturan Menkeu yang mengatur harga bandrol & harga cengkeh. Supaya tidak mati, pabrik kecil dikenakan tarif khusus. (eb)

9 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PABRIK rokok kretek belakangan ini menerima smash bertubi-tubi. Setel Kenop-15 dan kenaikan BBM, muncul peraturan menteri keuangan yang ingin mengatur harga bandrol. Belum lagi semua pabrik rokok menyelesaikan kalkulasi barunya, muncul pula pukulan lain: harga cengkeh naik terus. Di tengah kegalauan itulah PT Rambon, Malang didirikan sejak 1955, memilih untuk menghentikan produksinya. pertengahan Mei lalu, setelah lama juga sakit-sakitan. Banyak pabrik kecil lain yang mengikuti jejak si Rambon. Di Kudus, Ahwan, 5 3 tahun, kini sudah 'berpangkat' bekas direktur pabrik rokok cap Sumbu. Menurut catatan Persatuan Pabrik Rokok Kudus (PPRK) tadinya ada sekitar 60 pabrik rokok kecil. Tapi yang masih bertahan sekarang ini, seperti dilaporkan wartawan TEMPO Putu Setia, bisa dihitung dengan tangan: PR Langsep, Sri Hesti, "22", Kurmo, Klampok dan rokok klobot PR Sogo. Yang lain, kalau tidak pingsan, sudah kehabisan nafas. Kedudukan yang kecil itu tampaknya digantikan oleh pabrik kelas menengah. PT Kolang di Sidoarjo, misalnya, semula masih punya 1.000 buruh. "Sekarang ini tinggal 300-an," kata direktur L. Yuwono, 40 tahun, pekan lalu. Produksinya sudah merosot sekitar 60%, semula sekitar 1 juta batang sehari. "Yang ada itupun sekarang hanya bekerja separoh hari," katanya. Tarif Khusus Itu pula yang terjadi di berbagai pabrik kretek menengah di Kudus dan Sala. Onggosaputro, wakil direktur PT Jitu Sala mengeluh pabriknya tak bisa kerja "full" lagi. Tadinya si Jitu yang punya buruh lebih 1.000 orang itu biasa menghasilkan 1« juta batang sehari." Tapi sekarang produksi turun dan buruh boleh pulang lepas jam 12 siang," kata Onggo kepada pembantu TEMPO Kastoyo Ramelan. Dengan sendirinya keadaan yang memang merupakan gambaran umum pabrik rokok kretek sekarang -- kecuali yang tergolong besar seperti GG dan Djarum --membuat penghasilan buruhnya berkurang dengan setengahnya. Kesulitan pabrik yang kecil dan menengah itu juga dalam menentukan bandrol baru. Menurut direktur pabrik rokok Sriti di Kediri, Hariyanto, sebaiknya ada tiga klasifikasi -- dan bukan dua seperti sekarang yang produksinya di atas 150 juta batang/tahun dan di bawah 150 juta batang. "Seharusnya yang 150 juta per tahun itu dibagi lagi di atas 25 juta batang setahun dan yang di bawah 25 juta," usul Hariyanto. (TEMPO, 21 April). Klasifikasi yang sekarang, menurut Hariyanto, berat buat yang kecil, sekalipun cukainya diturunkan dari 30% menjadi 20%. "Soalnya kita beli pita cukai secara kontan, sedang pabrik besar secara kredit tiga bulan," ujar Hariyanto. "Kalau kita hitung bunganya saja, maka selama 3 bulan itu ada 15% keuntungan pabrik besar dibandingkan kami yang harus kontan." Usul Hariyanto -- dan umumnya pabrik rokok kecil itu -- tampaknya mendapat perhatian Menkeu Ali Wardhana. Akhir Mei lalu, GAPRI sudah membuat edaran buat pabrik-pabrik rokok kecil, akan adanya klasifikasi baru buat mereka. "Mungkin yang produksinya di bawah 15 juta batang/tahun akan dikenakan tarif khusus," kata seorang pengurus GAPRI Surabaya. Berapa? "Kita minta sih 10%, sebab kalau hanya diturunkan dari 20% menjadi 17,5% misalnya, tidak ada artinya," katanya. Bagaimana pun adanya kemungkinan perlakuan khusus buat si kecil, yang notabene menampung banyak buruh itu, menggembirakan. "Bayangkan, kalau tidak, cepat atau lambat mereka akan mati," ujar seorang pengurus GAPRI Pusat (Kudus). Pabrik kretek menengah dan kecil itu umumnya masih belum ada yang membeli pita cukai baru, sebab batasnya memang masih tiga bulan lagi. Beberapa pengurus GAPRI, yang pekan lalu berkumpul di Jakarta, beranggapan masih sulit untuk menetapkan maunya pemerintah itu dalam suasana kacaunya harga cengkeh. Tapi, seperti terjadi di Kudus, pabrik yang besar-besar itu suka juga memborong pita cukai pabrik kecil yang berlebih. Dengan cara begitu pabrik besar memang bisa menekan biaya. Apalagi kalau nanti pemerintah setuju menurunkan lagi persentasi pita cukai buat yang kecil. Bicara soal harga cengkeh, sebelum Kenop masih Rp 4.000/kg, Januari lalu Rp 5.000/kg dan Maret lalu naik menjadi Rp 6.000/kg. "Tapi sekarang sudah Rp 8.500 sekilonya. Membubungnya harga cengkeh itu, menurut beberapa fabrikan, lantaran panen yang gagal akibat hujan yang terlalu banyak. Jadi baaimana jalan paling baik untuk menstabilkan harga cengkeh? "Bikin saja seperti Bulog dengan berasnya," kata beberapa orang GAPRI Surabaya. Mereka beranggapan, penyaluran lewat dua importir yang ditunjuk pemerintah itu tak jalan lagi. "Sejak Pebruari 1976 pabrik-pabrik kecil sudah tak lagi mendapat jatah dari PT Mercu Buana," kata seorang pengurus GAPRI Malang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus