PABRIK rokok kretek belakangan ini menerima smash bertubi-tubi.
Setel Kenop-15 dan kenaikan BBM, muncul peraturan menteri
keuangan yang ingin mengatur harga bandrol. Belum lagi semua
pabrik rokok menyelesaikan kalkulasi barunya, muncul pula
pukulan lain: harga cengkeh naik terus.
Di tengah kegalauan itulah PT Rambon, Malang didirikan sejak
1955, memilih untuk menghentikan produksinya. pertengahan Mei
lalu, setelah lama juga sakit-sakitan. Banyak pabrik kecil lain
yang mengikuti jejak si Rambon.
Di Kudus, Ahwan, 5 3 tahun, kini sudah 'berpangkat' bekas
direktur pabrik rokok cap Sumbu. Menurut catatan Persatuan
Pabrik Rokok Kudus (PPRK) tadinya ada sekitar 60 pabrik rokok
kecil. Tapi yang masih bertahan sekarang ini, seperti dilaporkan
wartawan TEMPO Putu Setia, bisa dihitung dengan tangan: PR
Langsep, Sri Hesti, "22", Kurmo, Klampok dan rokok klobot PR
Sogo. Yang lain, kalau tidak pingsan, sudah kehabisan nafas.
Kedudukan yang kecil itu tampaknya digantikan oleh pabrik kelas
menengah. PT Kolang di Sidoarjo, misalnya, semula masih punya
1.000 buruh. "Sekarang ini tinggal 300-an," kata direktur L.
Yuwono, 40 tahun, pekan lalu. Produksinya sudah merosot sekitar
60%, semula sekitar 1 juta batang sehari. "Yang ada itupun
sekarang hanya bekerja separoh hari," katanya.
Tarif Khusus
Itu pula yang terjadi di berbagai pabrik kretek menengah di
Kudus dan Sala. Onggosaputro, wakil direktur PT Jitu Sala
mengeluh pabriknya tak bisa kerja "full" lagi. Tadinya si Jitu
yang punya buruh lebih 1.000 orang itu biasa menghasilkan 1« juta
batang sehari." Tapi sekarang produksi turun dan buruh boleh
pulang lepas jam 12 siang," kata Onggo kepada pembantu TEMPO
Kastoyo Ramelan. Dengan sendirinya keadaan yang memang merupakan
gambaran umum pabrik rokok kretek sekarang -- kecuali yang
tergolong besar seperti GG dan Djarum --membuat penghasilan
buruhnya berkurang dengan setengahnya.
Kesulitan pabrik yang kecil dan menengah itu juga dalam
menentukan bandrol baru. Menurut direktur pabrik rokok Sriti di
Kediri, Hariyanto, sebaiknya ada tiga klasifikasi -- dan bukan
dua seperti sekarang yang produksinya di atas 150 juta
batang/tahun dan di bawah 150 juta batang. "Seharusnya yang 150
juta per tahun itu dibagi lagi di atas 25 juta batang setahun
dan yang di bawah 25 juta," usul Hariyanto. (TEMPO, 21 April).
Klasifikasi yang sekarang, menurut Hariyanto, berat buat yang
kecil, sekalipun cukainya diturunkan dari 30% menjadi 20%.
"Soalnya kita beli pita cukai secara kontan, sedang pabrik besar
secara kredit tiga bulan," ujar Hariyanto. "Kalau kita hitung
bunganya saja, maka selama 3 bulan itu ada 15% keuntungan
pabrik besar dibandingkan kami yang harus kontan."
Usul Hariyanto -- dan umumnya pabrik rokok kecil itu --
tampaknya mendapat perhatian Menkeu Ali Wardhana. Akhir Mei
lalu, GAPRI sudah membuat edaran buat pabrik-pabrik rokok kecil,
akan adanya klasifikasi baru buat mereka. "Mungkin yang
produksinya di bawah 15 juta batang/tahun akan dikenakan tarif
khusus," kata seorang pengurus GAPRI Surabaya. Berapa? "Kita
minta sih 10%, sebab kalau hanya diturunkan dari 20% menjadi
17,5% misalnya, tidak ada artinya," katanya.
Bagaimana pun adanya kemungkinan perlakuan khusus buat si kecil,
yang notabene menampung banyak buruh itu, menggembirakan.
"Bayangkan, kalau tidak, cepat atau lambat mereka akan mati,"
ujar seorang pengurus GAPRI Pusat (Kudus).
Pabrik kretek menengah dan kecil itu umumnya masih belum ada
yang membeli pita cukai baru, sebab batasnya memang masih tiga
bulan lagi. Beberapa pengurus GAPRI, yang pekan lalu berkumpul
di Jakarta, beranggapan masih sulit untuk menetapkan maunya
pemerintah itu dalam suasana kacaunya harga cengkeh. Tapi,
seperti terjadi di Kudus, pabrik yang besar-besar itu suka juga
memborong pita cukai pabrik kecil yang berlebih. Dengan cara
begitu pabrik besar memang bisa menekan biaya. Apalagi kalau
nanti pemerintah setuju menurunkan lagi persentasi pita cukai
buat yang kecil.
Bicara soal harga cengkeh, sebelum Kenop masih Rp 4.000/kg,
Januari lalu Rp 5.000/kg dan Maret lalu naik menjadi Rp
6.000/kg. "Tapi sekarang sudah Rp 8.500 sekilonya. Membubungnya
harga cengkeh itu, menurut beberapa fabrikan, lantaran panen
yang gagal akibat hujan yang terlalu banyak.
Jadi baaimana jalan paling baik untuk menstabilkan harga
cengkeh? "Bikin saja seperti Bulog dengan berasnya," kata
beberapa orang GAPRI Surabaya. Mereka beranggapan, penyaluran
lewat dua importir yang ditunjuk pemerintah itu tak jalan lagi.
"Sejak Pebruari 1976 pabrik-pabrik kecil sudah tak lagi
mendapat jatah dari PT Mercu Buana," kata seorang pengurus
GAPRI Malang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini