Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Jika Harimau Yang Mengalah

5 ekor harimau Jawa di hutan Meru Betiri diancam punah bila 5.000 orang penduduk yang hidupnya tergantung pada perkebunan Bandealit & Sukamade tidak dipindahkan. Pilihan yang baik adalah transmigrasi. (ling)

9 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ART Buchwald, kolumnis humor yang terkenal itu pernah menyindir kegilaan para pencinta alam di Amerika. Dalam sebuah tulisannya, dia mengambil contoh salah satu adegan dalam shooting film Jaws II -- harap dicatat film itu tak pernah ada -- di Danau Eire, AS. Seekor ikan paus yang tinggal satu-satunya di danau itu, demikian Buchwald, tiba-tiba mengancam jiwa sang wanita peran utama. Siapa yang harus diselamatkan? Orang segera berusaha menyelamatkan anak Adam itu. Tapi seorang pencinta alam yang melihat maut makin mendekat itu, cepat berteriak: "Selamatkan ikan paus yang tinggal satu-satunya itu . . . " Pencinta alam versi Buchwald itu tak sendirian. Di Indonesia Menteri Negara PPLH Prof. Emil Salim kini menghadapi pilihan berat. Di dalam kawasan 50 ribu ha suaka margasatwa Meru Betiri, tak begitu jauh dari Jember dan Banyuwangi, tinggal 5.000 jiwa manusia yang hidup tergantung dari perkebunan Bandealit dan Sukamade. Tidak diketahui riwayat perkebunan kopi, cengkeh dan kelapa pimpinan Eddy Darsan Wanamarta itu bisa merambah, bahkan berada di dalam kawasan Meru Betiri. Meskipun Eddy menjamin, "hutan di sekitar sini terawat baik," toh pencinta alam tetap kuatir terutama akan kelestarian 5 harimau Jawa itu. Wakil penduduk Bandealit dan Sukamade yang datang ke DPR Pusat, cenderung memindahkan 5 harimau tadi ke kebun binatang. Tapi pencinta alam mennlak. Pilihan yang baik adalah transmigrasi, selain akan melindungi harimau itu, juga akan mengubah kehidupan ekonomi penduduk lebih baik. JELAS kalau penduduk tidak dipindahkan harimau Jawa yang tinggal 5 ekor di dunia itu akan punah. Harimau dikenal sebagai binatang yang paling peka terhadap kehadiran manusia. Jalan tengah yang ditawarkan Menteri PPLH agaknya perlu dipertimbangkan. Perkebunan seluas 2.100 ha yang berstatus Hak Guna Usaha itu akan habis masa usahanya pada 1982. Sesudah perkebunan dibubarkan, di sekitar Meru Betiri dibentuk kawasan penyangga. Rakyat didorong menyelenggarakan tanaman niaga seperti sekarang, kawasan sebelah Utara berbatasan dengan perkebunan karet dan kopi. "Dengan cara demikian, rakyat bisa dicegah dari kegiatan merusak hutan," kata Emil Salim. (lihat box). Yang memprihatinkan, sebagai dicatat wartawan TEMPO Dahlan Iskan yang meninjau ke sana, adalah perbatasan sebelah barat margasatwa itu. Desa Curah Takir, Sanen Rejo dan Cah Nongko letaknya bersenggolan dengan Meru Betiri. Akibat tak enak sudah terasa. "Sejak ada kenaikan harga kay jati, pencurianpun meningkat," ungkap ir. Fazar Kurnia kepala Kantor PPA Jatim II di Banyuwangi. Sulit mencegah pencuri yang memakai truk itu, sedang polisi hutan untuk daerah yang luas itu cuma 20 orang. Di bagian selatan kawasan ini berbatasan langsung dengan Lautan Hindia. Daratannya rata-rata 200 m di atas permukaan laut. Pepohonannya tidak selebat rimba Kalimantan. Di dalam kawasan itu mengalir jernih sungai Bandealit dan Sukamade. Konon di sungai inilah Harimau Jawa tadi suka bermain. "Hutan bambunya bersih, tidak awut-awutan," tulis Dahlan Iskan. Di dalam kawasan inilah hidup tumbuhan Jawa yang sudah langka dicari di luar Meru Betiri. Misalnya sawo kecik, rotan dan yang paling berharga bunga rafflesia. "Bahkan rotan yang tumbuh di Meru Betiri masih lengkap 4 jenis," tambah Fazar. Teriakan keprihatinan pencinta alam datang juga dari kawasan 216 ribu ha suaka alam Sekundur yang merupakan bagian dari cagar alam Gunung Leuser di Aceh Selatan. Yang melakukan pembabatan hutan di Sekundur, seperti juga Bohorok, di Sumatera Utara, bukan hanya penduduk pendatang. Pemegang Hak Pengusahaan Hutan PT Raja Garuda Mas, yang mengusahakan kayu lapis di Besitang, dekat pegunungan Leuser, ikut memakan areal suaka alam itu. Ternyata Dirjen Kehutanan di Jakarta telah menunjuknya sebagai pihak ketiga, bekerja sama dengan Pilot Proyek Pembinaan Habitat dan Populasi Satwa Suaka Sekundur, untuk melestarikan habitat satwa di sana. Menteri Emil Salim sendiri agak kaget melihat kerjasama dalam tebang pilih yang dilakukan Raja Garuda Mas. Tidakkah hal itu akan mempengaruhi kelestarian satwa lindungan? "Kelak akan diteliti sejauh mana pengaruhnya terhadap hewan penghuninya," kata Emil Salim selepas meninjau ke sana akhir Mei lalu. Sekundur dijadikan kawasan hutan lindung sejak 1938, lalu dialihkan berada di bawah pengawasan PPA Sumut sejak 1958. Di sana hidup rusa, gajah Sumatera, badak, kambing hutan dan enggang. Di Tombe, terletak antara jalan Kutacane dan Blangkajeren -- Gunung Leuser -- dibuka proyek rehabilitasi mawas dan badak Sumatera. Badak Sumatera di Leuser itu, seperti dicatat wartawan TEMPO Zakaria M. Passe dari seorang petugas di sana, "rata-rata dalam seminggu cuma meninggalkan bekas 50 jejak saja." Sudah langka, kalau tidak dibilang kritis. Makanya di Bohorok untuk menjaga kelestarian jumlah mawas, baru-baru ini diliarkan kembali 60 ekor mawas. Beberapa di antaranya masih harus dibantu makanan petugas, apabila sang binatang masih sulit menyesuaikan dengan lingkungan yang baru. Kalau harimau Jawa di Meru Betiri gelisah, rekannya para monyet di Pulau Siberut, Sumatera Barat mendapat 'induk semang' yang baik. Gubernur Azwar Anas telah menyetujui perluasan kawasan margasatwa Siberut dari 6.500 ha ditambah dengan 50 ribu ha lagi. Ini berarti akan memakan hutan yang telah dikonsesikan kepada PT Jaya Sumbar Indah dan Cirebon Agung -- keduanya merayahi areal 140 ribu ha. Adakah kedua perusahaan itu akan merelakan? "Sudah tentu kepentingan nasional kita dahulukan," kata Darwin Darwis, Dir-Ut Jaya Sumbar Indah kepada wartawan TEMPO Mukhlis Sulin. Di kawasan suaka margasatwa Siberut itu hidup siamang kerdil, beruk Mentawai, lutung dan simpai yang masih keluarga monyet. Jenis binatang-binatang itu hanya terdapat di sini. Di tempat lain sudah punah. Dulu sebelum tahu manfaat warisan itu, penduduk Siberut sering melakukan perburuan besar-besaran. Mereka membarternya dengan barang. Setelah kawasan itu ditetapkan sebagai suaka margasatwa, dibarengi dengan penjelasan Gubernur, perburuan menyusut. Kawasan ini menjadi amat penting, terutama setelah Tonny Whitten dari Cambridge University 2 tahun meneliti menjumpai jenis binatang langka. Rusa Mentawai, bajing terbang, tenggiling dan reptil didapati hidup sampai Siberut Utara. Gubernur memang sangat berharap kedua pemegang HPH tadi berbesar hati untuk menyerahkan sebagian arealnya. "Penemuan yang terakhir ini memang benar-benar minta perhatian kita," kata Azwar Anas. Tapi berita menyedihkan masih datang juga dari Sumatera. Kawasan 130 ribu ha suaka margasatwa Way Kambas, Lampung, kini terancam. Tidak diketahui jenis binatang apa yang tinggal di sana. Kawasan itu ternyata dirusak para pemegang HPH dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan yang ijinnya dikeluarkan di zaman Sutiyoso (almarhum) jadi gubernur Lampung. Penebangan yang dilakukan para pengusaha itu tak terkendalikan lagi. Mereka bahkan menebang pohon yang belum cukup umur dalam Tebang Pilih Indonesia (TPI). Yang berdiameter 50 cm pun dibabat terus. "Para pemegang HPH dan HPHH di sana harus diawasi secara ketat," kata ir. Lukito Darjadi, Kepala PPA Pusat. Hancurnya suaka Way Kambas memang tak seluruhnya akibat perbuatan para pengusaha tadi. Diperkirakan 25% dari kawasan itu sudah terbabat pemotongan liar. Rakyat yang semakin lapar tanah, juga mempunyai saham dalam merusak hutan. Peristiwa pahit pernah dialami pihak kehutanan yang ingin menjaga kelestarian hutan lindung Gunung Balak di Lampung Tengah. Kawasan 20 ribu ha itu semula hanya dirambah ranting kayunya untuk bahan bakar. Tahun 1972 ketika hutan yang dibantai sudah 10 ribu ha, tim gabungan berhasil memindahkan 500 KK ke Way Abung Dua daerah transmigrasi di Lampung. Tapi karena program pemindahan tidak mapan, banyak juga yang kembali ke tempat semula. Dalam usaha mencegah mereka kembali ini, 3 Polisi Kehutanan dibacok rakyat yang kepingin pulang kandang. Mungkin karena pusing mengurusi keributan itu, Gubernur Sutiyoso almarhum mengijinkan Gunung Balak jadi tempat pemukiman." Kami lalu mengerek bendera berkabung," kata Zumrawi Muchamad, Kepala Bagian Penyuluhan dan Pengamanan Hutan Lampung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus