ART Buchwald, kolumnis humor yang terkenal itu pernah
menyindir kegilaan para pencinta alam di Amerika. Dalam sebuah
tulisannya, dia mengambil contoh salah satu adegan dalam
shooting film Jaws II -- harap dicatat film itu tak pernah ada
-- di Danau Eire, AS. Seekor ikan paus yang tinggal satu-satunya
di danau itu, demikian Buchwald, tiba-tiba mengancam jiwa sang
wanita peran utama. Siapa yang harus diselamatkan? Orang segera
berusaha menyelamatkan anak Adam itu. Tapi seorang pencinta alam
yang melihat maut makin mendekat itu, cepat berteriak:
"Selamatkan ikan paus yang tinggal satu-satunya itu . . . "
Pencinta alam versi Buchwald itu tak sendirian. Di Indonesia
Menteri Negara PPLH Prof. Emil Salim kini menghadapi pilihan
berat. Di dalam kawasan 50 ribu ha suaka margasatwa Meru
Betiri, tak begitu jauh dari Jember dan Banyuwangi, tinggal
5.000 jiwa manusia yang hidup tergantung dari perkebunan
Bandealit dan Sukamade. Tidak diketahui riwayat perkebunan kopi,
cengkeh dan kelapa pimpinan Eddy Darsan Wanamarta itu bisa
merambah, bahkan berada di dalam kawasan Meru Betiri. Meskipun
Eddy menjamin, "hutan di sekitar sini terawat baik," toh
pencinta alam tetap kuatir terutama akan kelestarian 5 harimau
Jawa itu.
Wakil penduduk Bandealit dan Sukamade yang datang ke DPR Pusat,
cenderung memindahkan 5 harimau tadi ke kebun binatang. Tapi
pencinta alam mennlak. Pilihan yang baik adalah transmigrasi,
selain akan melindungi harimau itu, juga akan mengubah kehidupan
ekonomi penduduk lebih baik.
JELAS kalau penduduk tidak dipindahkan harimau Jawa yang
tinggal 5 ekor di dunia itu akan punah. Harimau dikenal sebagai
binatang yang paling peka terhadap kehadiran manusia. Jalan
tengah yang ditawarkan Menteri PPLH agaknya perlu
dipertimbangkan. Perkebunan seluas 2.100 ha yang berstatus Hak
Guna Usaha itu akan habis masa usahanya pada 1982. Sesudah
perkebunan dibubarkan, di sekitar Meru Betiri dibentuk kawasan
penyangga. Rakyat didorong menyelenggarakan tanaman niaga
seperti sekarang, kawasan sebelah Utara berbatasan dengan
perkebunan karet dan kopi. "Dengan cara demikian, rakyat bisa
dicegah dari kegiatan merusak hutan," kata Emil Salim. (lihat
box).
Yang memprihatinkan, sebagai dicatat wartawan TEMPO Dahlan Iskan
yang meninjau ke sana, adalah perbatasan sebelah barat
margasatwa itu. Desa Curah Takir, Sanen Rejo dan Cah Nongko
letaknya bersenggolan dengan Meru Betiri. Akibat tak enak sudah
terasa. "Sejak ada kenaikan harga kay jati, pencurianpun
meningkat," ungkap ir. Fazar Kurnia kepala Kantor PPA Jatim II
di Banyuwangi. Sulit mencegah pencuri yang memakai truk itu,
sedang polisi hutan untuk daerah yang luas itu cuma 20 orang.
Di bagian selatan kawasan ini berbatasan langsung dengan Lautan
Hindia. Daratannya rata-rata 200 m di atas permukaan laut.
Pepohonannya tidak selebat rimba Kalimantan. Di dalam kawasan
itu mengalir jernih sungai Bandealit dan Sukamade. Konon di
sungai inilah Harimau Jawa tadi suka bermain. "Hutan bambunya
bersih, tidak awut-awutan," tulis Dahlan Iskan. Di dalam kawasan
inilah hidup tumbuhan Jawa yang sudah langka dicari di luar Meru
Betiri. Misalnya sawo kecik, rotan dan yang paling berharga
bunga rafflesia. "Bahkan rotan yang tumbuh di Meru Betiri masih
lengkap 4 jenis," tambah Fazar.
Teriakan keprihatinan pencinta alam datang juga dari kawasan 216
ribu ha suaka alam Sekundur yang merupakan bagian dari cagar
alam Gunung Leuser di Aceh Selatan. Yang melakukan pembabatan
hutan di Sekundur, seperti juga Bohorok, di Sumatera Utara,
bukan hanya penduduk pendatang. Pemegang Hak Pengusahaan Hutan
PT Raja Garuda Mas, yang mengusahakan kayu lapis di Besitang,
dekat pegunungan Leuser, ikut memakan areal suaka alam itu.
Ternyata Dirjen Kehutanan di Jakarta telah menunjuknya sebagai
pihak ketiga, bekerja sama dengan Pilot Proyek Pembinaan Habitat
dan Populasi Satwa Suaka Sekundur, untuk melestarikan habitat
satwa di sana. Menteri Emil Salim sendiri agak kaget melihat
kerjasama dalam tebang pilih yang dilakukan Raja Garuda Mas.
Tidakkah hal itu akan mempengaruhi kelestarian satwa lindungan?
"Kelak akan diteliti sejauh mana pengaruhnya terhadap hewan
penghuninya," kata Emil Salim selepas meninjau ke sana akhir Mei
lalu.
Sekundur dijadikan kawasan hutan lindung sejak 1938, lalu
dialihkan berada di bawah pengawasan PPA Sumut sejak 1958. Di
sana hidup rusa, gajah Sumatera, badak, kambing hutan dan
enggang. Di Tombe, terletak antara jalan Kutacane dan
Blangkajeren -- Gunung Leuser -- dibuka proyek rehabilitasi
mawas dan badak Sumatera. Badak Sumatera di Leuser itu, seperti
dicatat wartawan TEMPO Zakaria M. Passe dari seorang petugas di
sana, "rata-rata dalam seminggu cuma meninggalkan bekas 50 jejak
saja." Sudah langka, kalau tidak dibilang kritis. Makanya di
Bohorok untuk menjaga kelestarian jumlah mawas, baru-baru ini
diliarkan kembali 60 ekor mawas. Beberapa di antaranya masih
harus dibantu makanan petugas, apabila sang binatang masih sulit
menyesuaikan dengan lingkungan yang baru.
Kalau harimau Jawa di Meru Betiri gelisah, rekannya para monyet
di Pulau Siberut, Sumatera Barat mendapat 'induk semang' yang
baik. Gubernur Azwar Anas telah menyetujui perluasan kawasan
margasatwa Siberut dari 6.500 ha ditambah dengan 50 ribu ha
lagi. Ini berarti akan memakan hutan yang telah dikonsesikan
kepada PT Jaya Sumbar Indah dan Cirebon Agung -- keduanya
merayahi areal 140 ribu ha. Adakah kedua perusahaan itu akan
merelakan? "Sudah tentu kepentingan nasional kita dahulukan,"
kata Darwin Darwis, Dir-Ut Jaya Sumbar Indah kepada wartawan
TEMPO Mukhlis Sulin.
Di kawasan suaka margasatwa Siberut itu hidup siamang kerdil,
beruk Mentawai, lutung dan simpai yang masih keluarga monyet.
Jenis binatang-binatang itu hanya terdapat di sini. Di tempat
lain sudah punah. Dulu sebelum tahu manfaat warisan itu,
penduduk Siberut sering melakukan perburuan besar-besaran.
Mereka membarternya dengan barang. Setelah kawasan itu
ditetapkan sebagai suaka margasatwa, dibarengi dengan penjelasan
Gubernur, perburuan menyusut.
Kawasan ini menjadi amat penting, terutama setelah Tonny Whitten
dari Cambridge University 2 tahun meneliti menjumpai jenis
binatang langka. Rusa Mentawai, bajing terbang, tenggiling dan
reptil didapati hidup sampai Siberut Utara. Gubernur memang
sangat berharap kedua pemegang HPH tadi berbesar hati untuk
menyerahkan sebagian arealnya. "Penemuan yang terakhir ini
memang benar-benar minta perhatian kita," kata Azwar Anas.
Tapi berita menyedihkan masih datang juga dari Sumatera. Kawasan
130 ribu ha suaka margasatwa Way Kambas, Lampung, kini
terancam. Tidak diketahui jenis binatang apa yang tinggal di
sana. Kawasan itu ternyata dirusak para pemegang HPH dan Hak
Pengusahaan Hasil Hutan yang ijinnya dikeluarkan di zaman
Sutiyoso (almarhum) jadi gubernur Lampung.
Penebangan yang dilakukan para pengusaha itu tak terkendalikan
lagi. Mereka bahkan menebang pohon yang belum cukup umur dalam
Tebang Pilih Indonesia (TPI). Yang berdiameter 50 cm pun
dibabat terus. "Para pemegang HPH dan HPHH di sana harus diawasi
secara ketat," kata ir. Lukito Darjadi, Kepala PPA Pusat.
Hancurnya suaka Way Kambas memang tak seluruhnya akibat
perbuatan para pengusaha tadi. Diperkirakan 25% dari kawasan
itu sudah terbabat pemotongan liar. Rakyat yang semakin lapar
tanah, juga mempunyai saham dalam merusak hutan.
Peristiwa pahit pernah dialami pihak kehutanan yang ingin
menjaga kelestarian hutan lindung Gunung Balak di Lampung
Tengah. Kawasan 20 ribu ha itu semula hanya dirambah ranting
kayunya untuk bahan bakar.
Tahun 1972 ketika hutan yang dibantai sudah 10 ribu ha, tim
gabungan berhasil memindahkan 500 KK ke Way Abung Dua daerah
transmigrasi di Lampung. Tapi karena program pemindahan tidak
mapan, banyak juga yang kembali ke tempat semula. Dalam usaha
mencegah mereka kembali ini, 3 Polisi Kehutanan dibacok rakyat
yang kepingin pulang kandang. Mungkin karena pusing mengurusi
keributan itu, Gubernur Sutiyoso almarhum mengijinkan Gunung
Balak jadi tempat pemukiman." Kami lalu mengerek bendera
berkabung," kata Zumrawi Muchamad, Kepala Bagian Penyuluhan dan
Pengamanan Hutan Lampung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini