Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Sejumlah Industri Tekstil Bangkrut dan Lakukan PHK Ribuan Karyawan, Ini Sebabnya

Sejumlah perusahaan industri tekstil gulung tikar alias bangkrut, hingga menyebabkan ribuan karyawan kena PHK. Apa penyebabnya?

25 Juni 2024 | 16.50 WIB

Pekerja menyelesaikan produksi kain sarung di Pabrik Tekstil Kawasan Industri Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat 4 Januari 2019. Kementerian Perindustrian menargetkan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada tahun 2019 mencapai 15 miliar dollar AS atau naik 11 persen dibandingkan target pada tahun 2018. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Perbesar
Pekerja menyelesaikan produksi kain sarung di Pabrik Tekstil Kawasan Industri Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat 4 Januari 2019. Kementerian Perindustrian menargetkan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada tahun 2019 mencapai 15 miliar dollar AS atau naik 11 persen dibandingkan target pada tahun 2018. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Napas industri tekstil dalam negeri terengah-engah dalam kurun beberapa waktu terakhir. Kondisi ini ditandai dengan banyaknya perusahaan tekstil gulung tikar maupun melakukan efisiensi. Akibatnya ratusan hingga ribuan pekerja terkena imbasnya. Mereka terpaksa mendapatkan pemutusan hubungan kerja alias PHK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Perusahaan tekstil teranyar yang menutup pabriknya adalah PT S. Dupantex di Pekalongan, Jawa Tengah. Pabrik tersebut berhenti beroperasi terhitung sejak 6 Juni 2024 lalu. Akibatnya, total sebanyak 700-an karyawan terkena PHK massal. Perusahaan tersebut menambah deretan pabrik tekstil yang melakukan efisiensi dan menutup bisnis sejak akhir 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain PT S. Dupantex, perusahaan tekstil di Jawa Barat, PT Alenatex, juga mem-PHK sekitar 700-an karyawan akibat gulung tikar. Kemudian PT Kusumahadi Santosa di Jawa Tengah, juga pailit dan memutus hubungan kerja terhadap sekitar 500 karyawan. Sebanyak 700 karyawan juga diberhentikan dari PT Pamor Spinning Mills, di Jawa Tengah lantaran bangkrut.

Perusahaan tekstil di Jawa Tengah PT Kusumaputra Santosa, juga dikabarkan bangkrut dan tercatat mem-PHK sekitar 400 orang. Yang terparah akibat bangkrutnya perusahaan tekstil ini adalah dirasakan oleh sedikitnya 8.000 karyawan di PT Sai Apparel. Pabrik di Jawa Tengah itu gulung tikar dan ribuan pekerjanya tersebut terpaksa diberhentikan.

Selain pemecatan karena bangkrut, PHK juga terjadi sebab efisiensi. Sejumlah perusahaan memberhentikan karyawan demi memangkas anggaran agar dapat bertahan. PHK antara lain menimpa 2.000-an karyawan PT Sinar Pantja Djaja di Semarang, 400-an karyawan PT Bitratex di Semarang, 300-an karyawan PT Djohartex di Magelang, dan 100-an karyawan PT Pulomas di Bandung.

Selanjutnya: Penyebab industri tekstil bangkrut

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana, menjelaskan duduk perkara penyebab industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri gulung tikar. Menurut dia, penyebab kebangkrutan yang menyebabkan PHK massal itu tak semata disebabkan oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Berdasarkan data yang pihaknya terima, sedikitnya ada 13.800 orang pekerja di industri tekstil terkena PHK. Meski mengaku belum bisa memastikan akurasi angkanya, dia membenarkan adanya fenomena ini. Gelombang PHK ini disebut disebabkan oleh adanya pelonggaran impor produk ke dalam negeri melalui Permendag tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Mantan Ketua Ombudsman itu menjelaskan, importasi barang-barang tekstil dan garmen jadi telah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Puncaknya adalah pada 2023, barang tekstil impor, baik legal maupun ilegal, menumpuk. Sisa barang-barang impor itu kemudian menjadi jenuh di pasar domestik Indonesia. Di sisi lain daya beli masyarakat relatif rendah.

“Market domestik kita jenuh dengan produk-produk impor yang sudah terjadi bertahun-tahun,” ujar dia saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat, 14 Juni 2024.

Danang mengaku kian khawatir dengan dibukanya kran impor lebih lebar melalui Permendag, Pasalnya, tekstil ilegal dan legal tahun-tahun sebelumnya saja belum berhasil diatasi. Parahnya lagi, peraturan tersebut juga disebut menghapus terkait aturan pertimbangan teknis (pertek). Akibatnya industri tekstil asing akan menjadi sangat mudah mengimpor produk-produknya ke Indonesia.

Dinukil dari Koran Tempo terbitan Sabtu, 22 Juni 2024, sejak dua tahun terakhir, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia, Redma Gita Wirawasta mencatat setidaknya sudah ada 50 perusahaan anggotanya yang gulung tikar. Sekitar 150 ribu orang terenggut pekerjaannya akibat kondisi ini. Bahkan, perusahaan yang bertahan juga tidak dalam kondisi prima.

Sejak 2022, utilitas pabrik tekstil terus turun memang terus menurun, hanya sekitar 72 persen. Kini kondisi tersebut kian parah dengan rata-rata pabrik hanya beroperasi 45 persen dari kapasitasnya. Di tengah kondisi tersebut, perusahaan harus mengatur waktu produksi. Apabila biasanya tiap hari produksi, Redma mengatakan bisa saja menjadi hanya tiga hari kerja.

“Meski tidak di-PHK, pekerja di perusahaan ini jadi tidak bekerja full dan jumlah bayarannya juga berkurang,” kata Redma kepada Tempo, Jumat, 21 Juni 2024.

Selain itu, dari sisi produksi, ongkosnya makin hari kain mahal. Menurut Redma pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat jadi sebab. Biaya belanja bahan baku menjadi lebih mahal karena sebagian besar masih impor. Padahal arus kas perusahaan sedang ketat. Pada awal tahun ini, nilai tukar rupiah masih berada di level 15.495 per dolar AS. Namun, pada penutupan perdagangan Kamis pekan lalu, kurs rupiah melemah di level 16.450 per dolar AS.

Di sisi lain, Redma mengatakan permintaan global sedang melemah. Hal ini akibat sejumlah ketegangan geopolitik, dari perang Rusia-Ukraina hingga kini Israel-Palestina. Sebagian besar negara mulai protektif. Akhirnya, pasokan tekstil dan produk tekstil melimpah. Dari sinilah masalah dumping atau praktik penjualan barang impor dengan harga murah muncul. Pasar domestik, yang menjadi satu-satunya harapan pengusaha, justru dibanjiri produk impor murah.

Redma menuturkan kondisi tersebut diperparah dengan bocornya barang impor ilegal. Dia merujuk pada data Trade Map mengenai perdagangan tekstil dan produk tekstil antara Indonesia dan Cina dengan kode HS 5063. Pada 2021, ada impor dari Cina yang tidak tercatat di Indonesia dengan nilai 2,7 miliar dolar AS. Adapun pada 2022 nilainya naik menjadi 2,9 miliar dolar AS. Diperkirakan mencapai 4 miliar dolar AS pada 2023.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | HAN REVANDA PUTRA | KORAN TEMPO

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus