Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membuat sejumlah langkah merespons industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang hingga hari ini masih terpuruk. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada Juli 2024, 22.356 buruh dari industri pengolahan seperti tekstil, garmen dan alas kaki mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin, Reni Yanita, menjelaskan kebijakan instansinya menekankan penciptaan sumber daya manusia (SDM) industri yang mampu membaca arah desain produk yang kompetitif dan inovatif. Kemenperin juga mendukung ketersediaan bahan baku dan keseimbangan industri hulu-antara-hilir yang berdaya saing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ketiga, menghidupkan kembali industri permesinan tekstil dalam negeri yang dapat mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi industri TPT nasional untuk menghadapi persaingan pasar global,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Selasa, 3 September 2024.
Reni menambahkan, sejumlah kebijakan bisa diupayakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan jangka pendek industri TPT. Upaya itu antara lain pemberantasan impor ilegal dan impor pakaian bekas hingga pengawasan penjualan produk tersebut di market place dan media sosial.
Selain itu, Reni mengatakan solusi lain yakni implementasi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada sektor industri TPT serta mengenakan instrumen tariff barrier dan non-tariff barrier sebagai perlindungan industri TPT dalam negeri.
Tak hanya itu, Reni mengatakan program restrukturisasi mesin/peralatan TPT juga memiliki dampak positif terhadap efisiensi proses dan peningkatan produktivitas. Pada tahun ini, Kemenperin memperluas cakupan industri dan penambahan anggaran Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan TPT.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2024, Reni pernah meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali memberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
“Mengembalikan pengaturan dan pengendalian impor kembali ke pengaturan Permendag Nomor 36 Tahun 2023 dengan pengendalian impor dengan pemberian kuota,” kata Reni.
Dalam paparannya, Reni menyebut aturan impor itu menyebabkan utilisasi industri kecil-menengah (IKM) turun rata-rata 70 persen, pembatalan kontrak oleh pemberi maklon dan lokapasar atau market place, dan ambruknya industri hulu (kain dan benang) karena hilangnya pasar IKM dan konveksi.
Selain itu, dia menyebut permendag itu merupakan penyebab para pelaku usaha menutup pabrik mereka karena kehilangan harapan untuk berusaha dan mempertahankan operasionalisasi. Menurut dia, hal itu disebabkan tidak adanya kepastian usaha.
Padahal, tutur Reni, aturan impor sebelumnya yakni Permendag Nomor 36 Tahun 2024 telah mendorong IKM-IKM mendapatkan banyak pesanan. Bahkan, kata dia, mereka mampu meningkatkan pembelian bahan baku dan merekrut tenaga kerja tambahan.
Namun dengan pemberlakuan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 pada 17 Mei 2024 lalu, Reni menyebut sejumlah kontrak dan pesanan dibatalkan. “Ini menyebabkan order-nya berkurang sampai dengan 70 persen,” kata Reni.