SEPERTI kata pepatah, di Kementerian BUMN tak ada yang kekal kecuali perubahan itu sendiri. Tengok saja riwayat lembaga yang satu ini.
Kursi Menteri BUMN diciptakan di era Soeharto. Ia muncul pada Maret 1998, ketika Kabinet Pembangunan VII ditetapkan. Posisi strategis itu diberi nama Menteri Negara Pendayagunaan BUMN, dengan Tanri Abeng ditunjuk sebagai pejabatnya. Wewenangnya luar biasa. Melalui instruksi presiden, 159 perusahaan pelat merah dilimpahkan kepadanya. Hanya soal penyertaan modal yang masih disisakan di bawah Menteri Keuangan.
Di kabinet sebelumnya, BUMN sepenuhnya ditempatkan di Keuangan. Urusan ini ditangani Direktur Jenderal Pembinaan BUMN, yang saat itu dijabat Bacelius Ruru. Sebelumnya, perusahaan negara tersebar di berbagai departemen. Bank pemerintah, misalnya, diurus Keuangan. Sedangkan yang bergerak di sektor pertambangan dinaungi Departemen Pertambangan.
Ketika Abdurrahman Wahid masuk Istana, lalu membentuk kabinet pada akhir 1999, BUMN tetap diletakkan di bawah sebuah kementerian tersendiri. Wewenangnya malah diperluas, digabung dengan urusan penanaman modal. Tanri lengser, digantikan Laksamana Sukardi.
Di masa ini, pengelolaan BUMN sengit diperebutkan, dibumbui pertarungan antarpartai. Berbagai versi peraturan pemerintah (PP) berseliweran.
Pada 26 Desember 1999, keluar PP 96/1999 yang mengebiri habis wewenang Menteri Keuangan atas perusahaan negara. Segenap BUMN, tak terkecuali yang bergerak di bidang finansial, dialihkan ke Menteri BUMN.
Namun, hanya lima hari kemudian, setelah Menteri Keuangan Bambang Sudibyo mencak-mencak, PP seumur jagung ini direvisi. Lahirlah PP 98/1999, yang mengembalikan lagi BUMN keuangan dan asuransi ke Lapangan Banteng, markas Departemen Keuangan.
Baru sebentar, pada Januari 2000, muncul PP 1/2000. Wewenang Menteri BUMN kembali diperluas: boleh mengangkat dan memberhentikan pemimpin perusahaan negara tanpa seizin Menteri Keuangan.
Laksamana tak bertahan lama di kursinya. April 2001, ia digantikan Rozy Munir. Perebutan mengurus BUMN terus berlangsung. Tarik-ulur terjadi antara Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli, Menteri Keuangan Prijadi, dan Menteri Muda Percepatan Restrukturisasi Perekonomian Nasional Cacuk Sudarijanto.
Pada 10 Oktober, Presiden meneken PP 89/2000 yang mengembalikan pengelolaan BUMN ke Keuangan. Jabatan Prijadi pun bertambah panjang: Menteri Keuangan dan Pembinaan BUMN. I Nyoman Tjager ditunjuk sebagai Direktur Jenderal Pembinaan BUMN.
Sidang istimewa digelar. Pada Juli 2001, Megawati Soekarnoputri naik ke puncak Republik dan membentuk Kabinet Gotong Royong. Posisi Menteri BUMN kembali dihidupkan. Eh, sekarang, melalui UU Keuangan Negara, urusan BUMN lagi-lagi diributkan bakal disorongkan ke Lapangan Banteng.
Pokoknya, seperti kata anak baru gede di Jakarta, bolak-balik terus kayak setrika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini