LEWAT tengah malam, Gedung Aetna di kawasan Sudirman, Jakarta, sudah senyap. Tapi sebuah ruangan di lantai 24, di kantor Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), masih terlihat hidup sepanjang malam. Sebuah rapat yang digelar di situ sejak Rabu sore pekan lalu baru bubar esok dini hari, sekitar pukul 3.30.
Rupanya, yang dibahas adalah sebuah persoalan alot lagi rumit: restrukturisasi utang Asia Pulp and Paper (APP) yang mencapai US$ 13,9 miliar atau Rp 125 triliun lebih. Tim APP dipimpin langsung Indra Widjaja, putra taipan Eka Tjipta, dan Gandhi Sulistiyanto, wakil ketua tim restrukturisasi APP. Dari pihak kreditor asing, hadir Direktur Ferrier Hodgson, Andrew Saker, yang menjadi penasihat keuangan Export Credit Agencies (ECA). Pejabat BPPN juga lengkap, termasuk sang ketua, Syafruddin Temenggung.
Seorang yang ikut rapat bercerita, ada dua pokok soal yang sengit diperdebatkan, yaitu cara mengontrol kas keempat unit usaha APP di Indonesia serta mekanisme untuk mencegah APP gagal bayar kedua kalinya.
Untunglah, jalan tengah bisa disepakati. Baik APP maupun kreditor asing menyetujui formula baru yang ditawarkan BPPN. Penyelesaiannya tak la-gi perlu melalui konsep APP Trading dan share in trust yang selalu didesakkan ECA, tapi keras ditolak APP dan BPPN.
Seperti diketahui, untuk mencegah APP terus mengemplang utang, ECA minta supaya dibentuk sebuah agensi bernama APP Trading untuk mengawasi arus kas APP Indonesia. Selain itu, sebagai jaminan, 75 persen saham APP Indonesia juga akan ditempatkan di rekening perwalian.
Rumus baru yang disodorkan Syaf ada dua. Pertama, pembentukan semacam komite pengawas (oversight committee, disingkat OC) untuk mengawasi aliran dana, penjualan, dan produksi APP Indonesia. Sedangkan untuk menjamin kalau terjadi gagal bayar, akan diterbitkan surat utang yang bisa langsung dikonversi menjadi modal (instant convertible bond).
Dijelaskan Syaf, OC bukan seperti APP Trading yang berdiri sendiri. Ini komite yang beranggotakan 11 orang—3 mewakili kreditor plus 8 komisaris independen. Masing-masing dua orang nanti akan ditempatkan di empat unit APP di Indonesia. Dalam mengerjakan tugasnya, OC dibantu konsultan independen dan pengontrol keuangan.
Menurut seorang pejabat BPPN, komite akan dilimpahi tiga wewenang supaya dapat efektif mengawasi arus kas APP. Pertama, mengevaluasi kinerja manajemen. Kedua, mereka berhak mengawasi keuangan perusahaan. Dan terakhir, OC bisa mengontrol rekening penampungan. Selain itu, Komite juga akan dilibatkan dalam penyusunan anggaran APP.
Sebagai jaminan, lewat convertible bond, jika gagal bayar terjadi, APP akan membayar kewajibannya dengan saham sesuai dengan nilai tunggakan. Konsep ini berbeda dengan share in trust, karena APP tak perlu menerbitkan saham baru.
Syaf memastikan dua proposal ECA telah didrop. Sebelum rapat, hal senada diungkapkan Indra Widjaja. Menurut dia, secara prinsip kreditor sudah setuju pada pembentukan OC dan convertible bond itu. "Tapi memang ada persoalan teknis yang masih alot dibicarakan," ia mengakui.
Saker, yang mewakili ECA, pun membenarkan adanya formula baru tersebut. Kata dia, mereka akan bisa menerimanya "jika usul itu mencakup kontrol terhadap kas APP Indonesia serta mencegah gagal bayar yang kedua kalinya."
Melihat proses negosiasi, Syaf optimistis draf final restrukturisasi utang bakal diteken pertengahan April ini. Katanya, "Saat ini para wakil kreditor sedang pulang ke negaranya masing-masing untuk meminta persetujuan."
Tapi Saker tak seyakin itu. Ia berkata, "Kami masih mempelajarinya. Diterima atau tidaknya usul BPPN belum bisa dipastikan."
Jalan memang belum sepenuhnya mulus. Diungkapkan sumber TEMPO, pembahasan soal-soal teknis dan hukum masihlah berlangsung sengit. Misalnya, siapa yang berhak menentukan APP gagal bayar. Harus lewat pengadilan atau tidak. Hal lain, siapa yang berhak diangkat menjadi komisaris independen.
Analis pasar modal Lin Che Wei mengakui konsep BPPN secara prinsip bagus. Tapi, agar tak meleset, ia mengingatkan supaya hal-hal teknis diperjelas dalam perjanjian. Kriteria komisaris independen, misalnya, harus ditegaskan tak boleh punya kaitan dengan perusahaan, seperti halnya yang terjadi dalam skandal Bank Lippo.
"Iblisnya ada di detail," kata Che Wei.
Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini