Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Setelah Digantung Delapan Bulan

Karyawan harian Berita Buana akhirnya menggugat Nirwan Dermawan Bakrie selaku pemodalnya. Tak sabar menunggu investor baru.

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu sudut ruang Gedung Yudhagama di Jalan Pulo Lentut, Pulogadung, Jakarta Timur, Jumat siang lalu tampak kumuh. Puluhan komputer berjejer penuh debu. Aneka buku dan dokumen bertumpuk tak keruan, sebagian di antaranya berceceran di lantai. Nyala lampu yang temaram dan ruang tanpa AC sungguh membuat suasana tak nyaman.

Tapi semua itu tak mengurangi antusiasme sejumlah awak harian Berita Buana dalam berdiskusi, menyusun langkah memperjuangkan nasib mereka. Sempat ada usul untuk berunjuk rasa ke kantor Grup Bakrie di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga melakukan mogok makan. Tujuannya satu, yakni menarik perhatian pemodal koran itu, Nirwan Dermawan Bakrie. Mereka sudah tak sabar menunggu sang investor membereskan berbagai masalah yang dihadapi koran yang sudah berhenti terbit ini.

Berbeda dengan yang lain, Dadang Sugandi, 40 tahun, wartawan yang biasa meliput berita seputar kriminal dan perkotaan, mengusulkan agar mereka sebaiknya menggelar istigasah. Ayah dua anak dengan istri yang tengah hamil tujuh bulan itu berharap Tuhan membukakan mata dan hati keluarga Bakrie. Semula, idenya itu dicemooh beberapa rekannya. Tapi, setelah saling berdebat, ide itulah yang dianggap terbaik. Jumat pekan ini, istigasah akan dilaksanakan di kantor Berita Buana.

Sudah delapan bulan Dadang bersama sekitar 90 orang awak redaksi dan non-redaksi Berita Buana tak menerima gaji dan berbagai tunjangan lain. Untuk mempertahankan kehidupan keluarga, semula Dadang masih bisa menggunakan tabungannya. Tapi, beberapa bulan terakhir, ia hanya bisa mengandalkan bantuan teman-temannya di kepolisian. Sesekali di akhir pekan, Dadang juga ngojek dengan meminjam sepeda motor iparnya yang libur.

Choirul Lahwi, 36 tahun, staf promosi, masih beruntung karena istrinya bekerja di showroom sebuah perusahaan furnitur. Selama 3-4 bulan pertama, beberapa kliennya masih bersedia memanfaatkan jasanya memasang iklan di media lain. Tapi, setelah itu, mereka tak mau lagi menjadikan dia perantara. Akhirnya, April lalu Choirul terpaksa menggadaikan rumahnya di Cibinong. "Selain malu pada keluarga, saya juga jadi minder kalau bertemu tetangga," ujarnya.

Negosiasi dengan pihak manajemen, kata Ating Supriyatna dari bagian sumber daya manusia, sudah beberapa kali dicoba, tapi buntu. Mereka juga sudah mencoba melibatkan Departemen Tenaga Kerja. Upaya ini pun gagal. Akhirnya, setelah delapan bulan nasibnya digantung, mereka menempuh jalur hukum. Pada 25 Maret lalu para karyawan melaporkan PT Berita Media Buana ke Polres Jakarta Timur.

Akhir Mei lalu, diwakili Pengacara Junimart Girsang, karyawan Berita Buana menggugat Nirwan sebagai Komisaris Utama PT Bakrie Capital Indonesia (BCI), yang menjadi pemegang saham PT Berita Media Buana, ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Karyawan koran sore yang sudah terbit sejak zaman revolusi (dulu bernama Berita Indonesia) ini menuntut ganti rugi lebih dari Rp 91 miliar. Sidang pertama akan digelar Rabu pekan depan. Karyawan belum lama ini juga mengadukan nasib mereka ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Lalu Mara Satriawangsa, Corporate Communication PT Bakrie Brother, menegaskan bahwa tuntutan itu salah alamat karena Nirwan bukan direksi atau komisaris Berita Media Buana. "Pak Nirwan juga korban yang telah kehilangan lebih dari Rp 6 miliar, kok malah terus dihinakan begitu," kata Lalu Mara. Ia bahkan meminta awak Berita Buana introspeksi. Sebab, media lain yang dimodali PT BCI, seperti harian Nusra di Bali dan tabloid olahraga GO, justru tetap eksis dan bertahan di pasaran.

Sebaliknya, Nirwan justru menilai tuntutan itu wajar. Hanya, ia belum bisa menemui karyawan karena tengah menyiapkan stafnya bernegosiasi. Ia juga mengaku tengah mencari pemodal baru untuk membantu keuangan Berita Media Buana dan membayar hak-hak karyawan. "Saya mohon karyawan bersabar," katanya. Nirwan bisa saja meminta karyawannya menunggu. Namun, delapan bulan jelas bukan waktu yang pendek, dan ruang-ruang di Gedung Yudhagama sudah lama menjadi saksi bisu.

Sudrajat dan Poernomo Gontha Ridho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus