Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARIAM Mahamat Savil tampak lusuh dan luluh. Toh, perempuan berusia 25 tahun ini seperti tak hirau akan terik matahari yang menyengat tubuh lusuhnya di sebuah siang dua pekan lalu. Selepas subuh, ia sudah berdiri antre bersama ribuan rekan senasib di kamp pengungsi di Iridami, daerah perbatasan Sudan-Chad. Di ujung antrean, di sebuah tenda kanvas, mereka menerima sebuah bungkusan yang hanya berisi setengah kilogram sorgum (sejenis gandum), 50 gram semolina, serta minyak, kacang, dan garam masing-masing 25 gram. "Selalu seperti ini, setiap hari," Mariam menggumam.
Iridami hanyalah satu dari sekian puluh kamp penampungan pengungsi Sudan, salah satu tragedi kemanusiaan terbesar saat ini. Negeri sebesar Prancis ini telah puluhan tahun dilanda konflik bersaudara yang berdarah-darah. Kelompok milisi Janjaweed, yang didukung pemerintah Khartoum, menyerang desa-desa suku warga kulit hitam Afrika seperti Masalit dan Fur. Pembantaian dan pemerkosaan oleh kelompok suku Arab itu bukanlah cerita baru.
Seperti cerita Mariam, beberapa pesawat milik aparat Sudan menyiramkan bom di desanya, diikuti serbuan milisi Janjaweed tak lama setelah itu. Mereka menghabisi lelaki dan juga anak-anak. "Mereka membunuh anak-anak dan memaksa gadis-gadis menjadi budak mereka," tutur perempuan yang sama.
Mariam jelas bukan satu-satunya korban. Dan bencana tak cuma menimpa desanya. Sudah sekitar 300 ribu rakyat Sudan menjadi korban kekejaman struktural ini. Tak lagi aman hidup di tanah sendiri, sekitar satu juta warga terpaksa lari mengungsi.
Namun, ancaman pembantaian mengejar mereka hingga ke tempat pengungsian. Sebuah laporan Human Rights Watch (HRW) menyebutkan adanya eksekusi terhadap 136 pengungsi pada 5 Maret lalu oleh milisi Janjaweed yang didukung tentara Sudan. Seluruh korban dikubur dalam dua lubang besar di Darfur Barat. Bahkan di Nouri, di kawasan berdekatan, helikopter pemerintah menuntun milisi melakukan pembakaran desa dan pembunuhan terhadap 38 warga, termasuk empat orang yang sedang salat di masjid.
Tak aman di negeri sendiri, sebagian pengungsi lari menyeberang ke Chad. Di negeri yang bertetangga ini pun nasib mereka tak lebih baik. Sekitar 2 juta rakyat Sudan, baik yang di dalam negeri maupun di pengasingan, terancam kelaparan. Padahal penduduk Sudan hanya sekitar 6 juta70 persen di antaranya muslim. Seandainya bantuan tak segera tiba, menurut HRW, sekitar 350 orang bisa mati dalam sembilan bulan mendatang.
Bagaimana penduduk bisa makan kalau ternak dan tanah mereka diserobot? Sementara itu, bantuan dari masyarakat internasional tidak mencukupi. Dan kalaupun ada bantuan, sabotase dan ancaman dari milisi dan aparat Khartoum sering kali membuat masyarakat yang memerlukan jeri menerimanya. Mereka takut diserang.
Tapi, mengapa bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, misalnya, tak bisa sampai ke sasaran? Penyebabnya, menurut Jan Egeland, adalah kombinasi ketidakmampuan pemerintah memberikan akses, kelompok bersenjata yang tidak menjamin pengamanannya, ditambah kurangnya dana. "(Itu) membuat kami tidak mungkin mencapai kelompok-kelompok ini," ujar Under-Secretary General PBB tersebut.
Seperti kamp pengungsi lain, Iridami penuh dengan cerita derita. Kamp yang seharusnya menampung sekitar 5.000 pengungsi ini terpaksa disesaki 15 ribu orang. Dan setiap harinya, selalu ada pengungsi baru berdatanganselain yang bermatian. Mereka datang dengan truk, menunggang keledai, bahkan ada yang berjalan kaki.
Terbayangkan tidak, sih, betapa sukarnya pekerjaan lembaga pengelola kamp pengungsi itu? Jatah ransum untuk 5.000 mulut harus diratakan untuk jumlah yang tiga kali lipat lebih besar. Terlebih-lebih, para pengungsi tak tahu bagaimana memenuhi kebutuhannya sendiri. Apalagi sebagian besar mereka adalah perempuan, anak-anak, dan lelaki tua. Padahal, dalam waktu dekat, musim hujan segera tiba. Tanah yang kini berdebu akan menjadi licin dan pengiriman bantuan menjadi makin sulit.
"Menurut saya, tak akan ada anak-anak di bawah lima tahun yang akan selamat," ujar Deputi Direktur Program Pangan Dunia PBB di Chad, Jean-Charles Dei. Di seluruh Chad, sekitar 25 ribu orang, termasuk 38.600 balita, terancam mengalami malnutrisi.
PBB turun tangan, kesepakatan damai pun tercapai. Tetapi pemerintah Khartoum belum berhasil menghentikan kekerasan, sementara bantuan kemanusiaan masih cukup langka. Mungkin lagu We Are the World dari penyanyi Bob Geldof sekitar 20 tahun lalu bisa didendangkan ulang, yang menyerukan kepada dunia agar bahu-membahu membantu rakyat Sudan yang sengsara, kelaparan, dan sekarat. Itulah hadiah yang paling besar dan mulia:
There comes a time when we need a certain call/When the world must come together as one/There are people dying/Oh, and it's time to lend a hand to life/The greatest gift of all .
Purwani Diyah Prabandari (BBC, Scotsman, HRW.org)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo