Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG Birawa, Selasa malam dua pekan silam, terasa lain. Baru pukul 19.00 WIB, sekitar 300 kursi pada ruangan di Gedung Bidakara, Jakarta Selatan, itu sudah dipenuhi undangan. Menu prasmanan komplet pun sudah tersedia agar perut hadirin tak keroncongan saat acara berlangsung. Para awak Surya Citra Televisi (SCTV) selaku penyelenggara acara pun terlihat bersemangat.
Maklum, Amien Rais dan Wiranto, dua kandidat RI-1, akan dihadapkan dalam acara Dialog Terbuka Calon Presiden 2004. Ini jadwal tunda, karena pekan sebelumnya gagal terselenggara lantaran Amien absen dengan alasan kesehatan.
Tapi kali ini Amien datang lebih awal, lengkap bersama tim kampanyenya. Apni Jayaputra, produser eksekutif merangkap direktur pengarah di lapangan, yakin acaranya akan berjalan mulus. Apalagi, sebelumnya pertemuan tripartit antara pihaknya, tim kubu Wiranto, dan tim kubu Amien sudah digelar setelah kegagalan terdahulu.
Namun sekonyong-konyong Rosi Silalahi mengirim kabar "duka" dari kantor SCTV, yang hanya lima kilometer dari Bidakara. Rosi, produser sekaligus penyiar yang akan memandu acara itu, berkata, "Wiranto tak bisa hadir." Sekitar sejam sebelumnya, ia menerima pemberitahuan ketidakhadiran kandidat Partai Golkar ini dari A.A. Nasution, sekretaris Wiranto.
Sama dengan Amien sebelumnya, tim Wiranto pun menyebut ketidakhadiran bos mereka karena kondisi badan yang sedang tidak fit. "Pak Wiranto benar-benar kelelahan setelah kampanye dari Kendari," kata salah satu pemimpin tim, Suaidi Marasabessy.
Apni kontan pusing tujuh keliling. Ia merasa alasan pembatalan sepihak dari Wiranto itu tak cukup masuk akal. Lagi pula ini acara tunda. Apalagi, upaya mengulur waktu agar mantan jenderal itu bisa istirahat sejenak kandas pula. Akibatnya, kegeraman sang produser langsung meluap menjadi pernyataan bahwa SCTV akan memboikot peliputan kampanye Wiranto.
Pemboikotan akhirnya memang batal. Ini karena sehari kemudian pemimpin redaksi televisi ini, Karni Ilyas, meralat dengan mengatakan bahwa pernyataan Apni bukan kebijakan SCTV. Karni bahkan bertekad tetap menyandingkan kedua kandidat dalam dialog terbuka selanjutnya.
Apa pun yang menimpa Apni dan awaknya, itu bukan monopoli mereka. Sebab, hampir semua awak televisi lain yang menggelar acara sejenis juga mengalami kerepotan yang mirip. Banyak hal yang remeh tiba-tiba menjadi masalah amat serius bagi tim kampanye calon presiden dan wakil presiden.
Uni Lubis, pemandu acara Duduk Perkara di TV7, misalnya. Untuk menghadirkan Susilo Bambang Yudhoyono, kata Uni, tujuh surat permohonan sempat dikirim pihaknya ke tujuh personel berbeda di tim kampanye sang kandidat. "Tetap saja kami tak mendapat kejelasan jadwal," ujarnya.
Kalaupun para calon presiden itu akhirnya hadir, persoalan belum tentu menjadi mudah. Awal April lalu, produser acara Kupas Tuntas di TransTV, Endah Saptorini, sempat menghadapi tim yang setengah memaksa ikut memantau hingga proses editing. Rupanya, mereka khawatir ada bagian-bagian ketika sang jagoan terlihat tampil kurang meyakinkan atau bahkan konyol. Tak bisa mentoleransi intervensi seperti itu, kata Endah, "Kami banyak berdebat soal-soal begituan."
Pengaturan dan tata panggung pun direcoki oleh sebuah tim sukses. Dalam acara yang digelar SCTV di Hotel Borobudur yang menampilkan Amien dan SBY, tim kedua calon memusingkan penyelenggara hanya karena keduanya berbeda pendapat apakah mereka akan dihadapkan dalam posisi berdiri atau duduk. Sementara itu, Uni Lubis mendapati Hasyim Muzadi dan Megawati Soekarnoputri yang tak bersedia dipanel dengan kandidat lain ataupun hadirin di studio. "Terpaksa kami mengakalinya dengan memisahkan audience di studio yang berbeda dengan Pak Hasyim."
Yang lebih keterlaluan, tim-tim kampanye acap tak malu-malu memaksa ikut mengatur penentuan daftar pertanyaan yang hendak dilontarkan dalam acara. Hampir semua pengelola acara serupa yang dihubungi TEMPO mengaku pernah mengalami hal seperti ini.
Menurut pakar komunikasi politik Universitas Indonesia, Effendi Gazali, hal itu jelas menunjukkan para anggota tim sukses tersebut tak cukup sadar dengan peran media. Ia menyebut cara-cara intervensi seperti itu persis upaya hegemoni dan represi penguasa masa Orde Baru. "Kalau sekarang saja begitu, bagaimana perlakuan mereka terhadap pers ketika kelak mereka jadi presiden?" tuturnya.
Y. Tomi Aryanto, Jobpie Sugiharto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo