Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi dunia pertambangan Indonesia, lima tahun ini terasa seperti berabad-abad. Bayangkan saja: investasi baru tidak datang-datang, belanja perusahaan yang sudah ada pun terus menyusut, sumbangan sektor pertambangan ke kas pemerintah makin hari makin berkurang, prospek usaha pertambangan juga makin tak menentu. Dan itu semua terjadi pada sebuah negara dengan sumber daya mineral terbesar keenam di dunia. Berbagai masalah datang saling membelit dan tak ada yang kuasa menyelesaikannya. Pemerintah pun seperti sudah hendak mengibarkan bendera putih.
Tapi, belakangan mulai ada yang mencoba mengurai benang kusut itu. Adalah Simon Sembiring yang memulai usaha itu dengan membuat roadmap atau peta persoalan di industri pertambangan Indonesia. Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral itu sudah menyelesaikan proyeknya itu bulan ini. Paling tidak, peta persoalan ini akan menjadi kunci pembuka untuk menyelesaikan tumpukan masalah yang dihadapi sektor yang sebetulnya bisa menjadi salah satu sumber dana pemerintah.
Harapan memang layak dikumandangkan. Catatan Departemen Energi menunjukkan bahwa sejak 1999 tak lagi ada investasi baru di sektor ini. Survei PricewaterhouseCooper pun setali tiga uang. Perusahaan ini menyebutkan biaya eksplorasi pertambangan pada tiga tahun terakhir terus menurun. Sementara pada 1998 pengeluaran sektor ini masih sekitar US$ 96 juta, tahun lalu tinggal US$ 18,9 juta. Tak aneh jika penerimaan negara dari sektor ini pun makin amblas. Tahun lalu sektor ini cuma menyetor Rp 1 triliun ke negara, sementara tahun sebelumnya masih Rp 1,7 triliun. Bandingkan dengan sumbangan sektor migas, yang mencapai Rp 70 triliun.
Kini, dengan selesainya pengerjaan peta persoalan tersebut, ada secuil harapan bahwa Indonesia bisa menggenjot lagi sektor pertambangan. Dalam roadmap yang dikerjakan Departemen Energi bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini disebutkan berbagai masalah di sektor pertambangan, sekaligus solusi untuk menyelesaikannya. Kendati demikian, penyusun menemukan sejumlah masalah yang tak mudah dipecahkan. Salah satunya adalah keterkaitan dengan instansi pemerintah lain. Dengan begitu, penyelesaiannya pun harus melibatkan instansi lain, dan itu bukan perkara mudah.
Paling tidak, ada empat masalah besar di sana. Empat masalah itu adalah masalah perizinan dan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, masalah tumpang-tindih lahan dengan Departemen Kehutanan, masalah lingkungan hidup, dan masalah perpajakan. Problem-problem itulah yang dituding menjadi penyebab keringnya aliran investasi baru di sektor ini.
Berbagai persoalan itu langsung dijawab oleh roadmap tersebut. Dalam soal perizinan dan pembagian kewenangan, panduan ini merekomendasikan perlunya undang-undang pertambangan yang baru karena Undang-Undang No. 11/1967 tentang Pertambangan sudah kedaluwarsa, plus penyederhanaan administrasi perizinan. Lantas, di sektor perpajakan, lembaga ini menyarankan perlunya stabilisasi pajak di sektor pertambangan dan penyesuaian tarif royalti untuk semua logam dan batu bara. Tentu saja penetapan angka baru harus juga memperhitungkan penerimaan negara.
Persoalan paling pelik menyangkut kehutanan. Bisa dibilang, daerah potensial tambang di Indonesia hampir seluruhnya berada di kawasan hutan. Data Indonesian Mining Association (IMA) menyebutkan, dari sekitar 120 juta hektare kawasan hutan di sini, 6 juta hektare merupakan kawasan pertambangan. Dari jumlah itu, yang sudah digarap dan berproduksi baru 135 ribu hektare. Belum lagi soal tumpang-tindih lahan pertambangan dengan kehutanan setelah keluarnya Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan. Untunglah, sebagian masalah ini sudah beres dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2004.
Kendati demikian, ada masalah baru yang belakangan muncul. Sejumlah daerah sudah mengajukan usulan untuk mengubah hutan di wilayah mereka menjadi taman nasional. Direktur Jenderal Planologi Departemen Kehutanan, Boen M. Purnama, mengungkapkan usulan tersebut antara lain datang dari Pemerintah Daerah Sumedang, Banten, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Utara. "Yang sudah ditetapkan kawasan Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat. Yang sedang diproses kawasan Gunung Merapi dan Merbabu," ujarnya.
Departemen Energi menyadari betul peliknya problem dengan kehutanan. Namun, masalah toh tetap harus dipecahkan. Karena itu, bersama Departemen Kehutanan, Departemen Energi membentuk sebuah tim yang akan mencari solusi atas masalah tersebut. "Kita juga tak mau hutan gundul dan lingkungan rusak. Tapi, apakah kita cuma mengandalkan hutan lebat dan lingkungan bagus tanpa pembangunan? Kita harus mencari kombinasinya," kata Simon.
Ketua Umum IMA, B.N. Wahyu, juga meminta agar masalah ini bisa segera dibereskan. Dia menunjuk lima tahun yang tak bisa dimanfaatkan gara-gara Undang-Undang Kehutanan yang memunculkan masalah tumpang-tindih pengaturan lahan. Dia menegaskan bahwa perusahaan tambang tidak bisa melulu dianggap perusak hutan. Dari 120 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, penguasaan terbesar justru pada pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) dengan luas 66 juta hektare, sementara areal tambang hanya 6 juta hektare. Itu pun baru 135 ribu hektare yang digarap.
Dan lagi, studi yang dilakukan The Clive Aspinall menunjukkan, dari sisi bisnis, usaha tambang lebih ekonomis ketimbang usaha kehutanan. Lembaga itu memperlihatkan bahwa setiap satu hektare usaha pertambangan mampu menghasilkan US$ 28 ribu, sedangkan usaha HPH hanya US$ 2.600. Karena itu, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Abdul Latief Baky, meminta agar pel-bagai masalah ini dibereskan di tingkat elite pemerintahan karena menyangkut lintas sektoral dan lintas pemerintahan.
Bagaimanapun, kata Latief, pemerintah daerah tak bisa diabaikan. Sejumlah daerah, misalnya, sangat mengandalkan pertambangan sebagai sumber pendapatannya. Sebut saja Kabupaten Kutai Timur, yang tiga perempat pendapatannya berasal dari sektor ini, atau Kabupaten Sumbawa yang 70 persen pendapatannya bergantung pada sektor pertambangan, juga Kabupaten Mimika di Papua yang malah mengandalkan sektor pertambangan hampir 100 persen. "Seharusnya kita bersama-sama mencari keseimbangan antara kepentingan nasional, daerah, dan korporat," kata Latief.
Latief tidak keliru. Pemerintah jelas menyia-nyiakan lima tahun terakhir ini. Bagaimana mungkin sektor yang sama menjanjikannya dengan sektor perminyakan dan gas bumi bisa diabaikan. Dengan ketidakpastian di hampir semua tingkat pemerintahan dan ketidakjelasan peraturan, investor asing terang tak akan sudi melirik Indonesia. Dengar saja pernyataan Senior Manager External Affair PT Newmont Pacific Nusantara, Ketut Wirabudi. Menurut Ketut, jika investasi di Indonesia bisa dihitung dengan lebih jelas dan menguntungkan, perusahaannya akan melakukan eksplorasi baru. "Negara ini harus mengembalikan posisi sebagai salah satu negara tujuan utama investasi tambang dunia," tuturnya.
Mungkinkah itu tercapai dengan hanya berlembar-lembar roadmap? Terang tidak. Indonesia sudah dikenal piawai menciptakan aturan. Tapi, kalau sudah menyangkut penerapannya, Indonesia juga dikenal paling amburadul. Jangan kaget jika Indonesia malah menyia-nyiakan waktu hampir lima tahun pada saat negara ini membutuhkan dana untuk menyelesaikan krisis.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo