Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah tarik-ulur lebih dari setahun, akhirnya kelompok usaha Djarum berhasil menguasai Hotel Indonesia serta Hotel Inna Wisata (dulu lebih dikenal dengan Hotel Wisata saja). Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi, pertengahan Maret lalu memastikan langkah Djarum menguasai kompleks Hotel Indonesia. "Secara formal, peremajaan sudah bisa dilaksanakan," kata A.M. Suseto, Presiden Direktur PT Hotel Indonesia Natour, induk jaringan hotel milik pemerintah.
Meski tawar-menawar berjalan alot, kesepakatan final antara Djarummasuk dengan bendera PT Cipta Karya Bumi Indahdan Hotel Indonesia Natour tak jauh menyimpang dari yang pernah tersiar. Cipta Karya sebagai investor wajib menyetor Rp 1,2 triliun untuk mendandani HI dan Wisata. Imbalannya, hak pengelolaan selama 30 tahun. Selama masa build-operate-transfer (BOT), pendapatan HI-Wisata akan dibagi 49 persen untuk pemerintah, selebihnya untuk Cipta Karya.
Hotel Indonesia dan Wisata menjadi investasi ketiga terbesar Djarum dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2002, Djarum dengan bendera Alaerka Investment menggandeng Farallon Capital untuk mengambil alih 51 persen saham Bank Central Asia yang dilelang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) seharga Rp 5,3 triliun. Pada tahun yang sama, Djarum, juga dengan nama Cipta Karya, meluncurkan kompleks niaga World Trade Center di Mangga Dua, Jakarta. Nilai proyek ini, menurut konsultan properti Pro Lease, diperkirakan sekitar Rp 600 miliar.
Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) di tahun 2003 menyebut Djarum memiliki 65 unit usaha yang tersebar di 13 sektor industri. Dahsyatnya, 19 anak perusahaan tersebut dilahirkan Djarum setelah tahun 1997, masa ketika sebagian besar konglomerat Indonesia justru tersandung karena krisis moneter. Seorang sumber TEMPO yang pernah bergabung lama dengan Djarum menyebut anak perusahaan Djarum sekitar 50 buah.
Sebagian besar di antaranya merupakan produsen rokok berskala kecil dan menengah, seperti Prima Tobacco Harum, PT Wikatama Indah, dan PT Filasta. Djarum juga memiliki Bukit Muria Jaya, yang memasok kebutuhan kertas untuk bungkus rokok. Untuk kepentingan pendistribusian rokok, Djarum mengembangkan perusahaan transportasi Djarum Nekajasa. Untuk melayani pasar rokok di Benua Amerika, Djarum memiliki pabrik rokok di Brasil.
Tak hanya di bisnis rokok Djarum menaruh uang. Sumber TEMPO mengingat, Djarum setidaknya memiliki investasi di industri pengolahan kayu dan rotan (Kudus Istana Furniture), tekstil (Busana Rama), plastik (Ardi Jaya Karya), optik (PT Supra Visi Optic), dan elektronik (Hartono Istana Elektronika/Teknologi) serta perbankan (Bank Haga dan Bank BCA).
Kelompok Djarum justru kikuk saat ditanya tentang seberapa rimbun pohon uang mereka. "Tidak semua perusahaan itu milik Djarum," ujar Suwarno M. Serad, Kepala Komunikasi Djarum, menyanggah riset PDBI yang diolah dan dimuat majalah bisnis Swa. Michael Bambang Hartono, Komisaris Utama Djarum, malah terkaget-kaget mendengar riset tersebut. "Masa, saya sesugih (sekaya) itu," katanya seperti ditirukan Suwarno. Bambang bisa jadi hanya merendah. Tapi seorang petinggi Djarum yang tak mau disebut namanya membenarkan bahwa sebagian perusahaan itu memang bukan atas nama Djarum, melainkan atas nama pribadi petingginya.
Sejarah kelompok Djarum dimulai oleh Oei Wie Gwan, yang bermigrasi dari Cina daratan ke Indonesia pada akhir 1920. Tahun 1951, Gwan mengambil alih NV Murup, yang memproduksi rokok merek Djarum. Nama Djarum sendiri diberikan oleh pendiri Murup, yaitu H.M. Shirodyang diambil dari jarum gramafon.
Gwan tak lama menduduki kursi tertinggi di Djarum. Tahun 1969, ia mulai mengalihkan sebagian besar kendali Djarum ke tangan dua putranya yang terhitung masih belia saat itu, yakni Michael Bambang Hartono (kini 65 tahun) dan Robert Budi Hartono (63 tahun). Di tangan generasi kedua ini, Djarum mulai merangsek keluar bisnis rokok, seperti tekstil, optik, dan elektronik.
Saat ini, generasi kedua masih bertahan di pucukBambang menjadi komisaris utama, sementara Budi menduduki kursi direktur utama. Namun, seperti sang ayah, Bambang dan Budi juga melibatkan putra-putra mereka di bisnis pada usia muda. Victor Rahmat Hartono, 35 tahunanak pertama Budi mengisi jabatan chief operating officer setelah sepuluh tahun digodok sang ayah dan paman. Dua adik Victor, Martin Basuki Hartono dan Arman Budi Hartono, tak ketinggalan disertakan sang ayah di kursi direksi.
Pada saat generasi ketiga mulai ikut dalam barisan pengambil keputusan, kepak sayap Djarum di luar bisnis rokok kian keras. Dan sebagai tiga besar produsen rokok kretek di Indonesia, ekspansi bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan. "Djarum memiliki uang tunai berlimpah," ujar Wilson Nababan, pengamat bisnis. Dengan kapasitas produksi tahunan yang mencapai lima miliar sigaret kretek tangan dan tujuh miliar sigaret kretek mesin, omzet Djarum per tahun diperkirakan mencapai Rp 13 triliun.
Sumber TEMPO di Djarum hanya menyebut angka cukai yang dibayarkan Djarum di atas Rp 2 triliun per tahun. Tak ada keterangan yang pasti soal angka penjualan. "Saya tidak ingat berapa besarnya," ujar Suwarno berkelit. Dibandingkan dengan Gudang Garam ataupun Sampoerna, Djarum lebih sulit diraba karena statusnya yang bukan perusahaan terbuka.
Ekspansi Djarum memang tak terhambat dari segi uang. Bahkan, di tengah ekspansi pun, Djarum tak melirik opsi go public. "Sampai saat ini belum ada rencana menjual saham," Suwarno menandaskan. Pasalnya, saat kekeringan likuiditas sekalipun, tak sukar bagi Djarum untuk meraih kepercayaan bank. "Apa ada yang menolak meminjamkan uang ke Djarum?" ujar sumber TEMPO yang lama menggeluti bankir korporasi.
Kalaupun ada yang menanggapi ekspansi Djarum dengan skeptis, itu lebih karena tak ada satu pun perusahaan rokok lokal yang berjaya di sektor lain. "Integrasi perusahaan rokok biasanya vertikal," ucap Wilson. Dalam model seperti ini, perusahaan rokok paling banter melebarkan sayapnya ke usaha-usaha yang masih terkait dengan produk rokoknya, seperti distribusi, atau perdagangan cengkeh dan tembakau. Lihat saja bagaimana ekspansi Sampoerna berakhir dengan penjualan bank dan sebuah gedung di Kuningan.
Dengan mitos keloyoan perusahaan rokok di sektor lain, akankah Djarum terjeblos seperti Sampoerna? Apalagi, peruntungan Djarum di sektor seperti tekstil dan elektronik tak terlalu mengkilap. Di tekstil, misalnya, meski sudah masuk sejak awal dekade 1980 melalui Busana Rama Tekstil dan Garmen, Djarum nyaris tak terdengar sebagai pemain yang diperhitungkan.
Sementara itu, di elektronik, yang diterjuninya satu dasawarsa kemudian, Djarum terlihat serius menggarap merek Polytron. Sayang, pasar elektronik dalam negeri tak bersahabat bagi produk lokal. Daya beli masyarakat yang rendah sejak krisis memicu banjir barang-barang elektronik dari Cina, yang harganya supermurah.
Wilson menilai ada perbedaan antara Djarum dan Sampoerna. Djarum dinilainya lebih cermat karena masuk di saat harga aset, khususnya properti, masih rendah. Dia juga menduga keuangan Djarum tak akan goyah meski lahan bisnisnya kian banyak. "Asal mereka bisa mempertahankan bisnis rokok," katanya. Pada kenyataannya, bisnis rokok di Indonesia tetap menjanjikan. Konsumsi rokok kretek selama lima tahun terakhir stabil di 130 miliar batang. Tapi, tak bisa dimungkiri bahwa kompetisi antar-produsen kian ketat. Jadi, bagaimana Djarum bisa menjaga pangsa pasar rokoknya, itu yang penting.
Thomas Hadiwinata, Bandelan Amirudin (Kudus)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo