Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Fuad Rahmany berseri-seri menyambut kedatangan Nirwan Dermawan Bakrie di kantornya, lantai 15 gedung Bapepam, Rabu sore pekan lalu. Nirwan datang bersama Direktur Utama Bumi Resources Ari S. Hudaya, menyusul direktur perusahaan itu, Sri Dharmayanti, yang sudah datang hampir satu jam lebih dulu. Wasit pasar modal tersebut sengaja mengundang manajemen Bumi untuk membahas laporan final Masyarakat Profesi Penilai Independen Indonesia (MAPPI).
Dalam pertemuan ini hadir pula Kepala Biro Pemeriksaan Bapepam Sardjito, Kepala Biro Hukum dan Perundangan-undangan Robinson Simbolon, dan Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil Anis Baridwan, serta Direktur Bursa Efek Indonesia Eddy Sugito. Kehadiran Nirwan sebagai pemegang saham pengendali Bumi membuat Bapepam leluasa menjelaskan hasil penilaian MAPPI atas langkah perusahaan itu mengakuisisi Darma Henwa, Fajar Bumi Sakti, dan Pendopo Energi Batubara. ”Pak Nirwan bagian dari Bumi. Jadi, kalau dia hadir, menjadi pantas dan tepat,” ujar Fuad.
Akuisisi Bumi terhadap ketiga perusahaan itu telah membuat pelaku pasar dan pemangku kepentingan di industri pasar modal geleng-geleng kepala. Bayangkan saja, di tengah upaya Bakrie & Brothers—induk Bumi Resources—melepaskan diri dari belitan utang triliunan rupiah gara-gara transaksi repurchasing agreement (repo) pada Oktober 2008, Bumi malah berencana mengakuisisi saham Darma Henwa, Fajar Bumi, dan Pendopo senilai total Rp US$ 619 juta atau sekitar Rp 6,8 triliun. Waktunya pun hanya tiga minggu dan tanpa melalui persetujuan rapat umum pemegang saham.
Pada akhir Desember lalu, Bumi mengakuisisi 80 persen saham Darma Henwa milik Zurich Asset Investments senilai Rp 2,412 triliun. Lalu, pada 5 Januari 2009, Bumi juga mengakuisisi 76,8 persen saham Fajar Bumi senilai Rp 2,475 triliun. Lantas, pada 7 Januari 2009, Bumi membeli 84 persen saham Pendopo senilai Rp 1,304 triliun.
Bumi membeli ketiga perusahaan di sektor pertambangan batu bara itu dengan harga mengacu pada angka buatan perusahaan penilai Yanuar Bey dan Rekan. Bumi memecahnya menjadi tiga transaksi akuisisi, sehingga menjadi tak material, yakni di bawah 10 persen pendapatan Bumi sebesar Rp 34 triliun atau 20 persen ekuitas Bumi sebesar Rp 16 triliun. Alhasil, manajemen Bumi mengklaim tak perlu minta persetujuan pemegang saham.
Sumber Tempo di Bumi Resources membisikkan, ngebet-nya Bumi mengakuisisi Pendopo, perusahaan pertambangan batu bara di blok Benuang dan Sigoyang, Sumatera Selatan, itu karena penambangan batu bara Indonesia di masa datang diyakini akan bergeser ke Pulau Andalas. Pendopo juga dibeli lantaran punya keahlian mengolah batu bara menjadi gas dan bahan peledak seperti amonium nitrat serta mengembangkan pembangkit listrik. Pendopo sudah meneken kesepahaman dengan Mitsui dan Sumitomo untuk menyuplai gasifikasi batu bara dan memasok batu bara di pembangkit mulut tambang 2 x 300 megawatt. ”Tak lama setelah Bumi meneken transaksi dengan Pendopo, ada produsen bahan peledak terbesar di dunia ingin bermitra,” katanya.
Fajar Bumi diakuisisi karena berpengalaman memproduksi batu bara di bawah tanah. ”Ini cocok untuk penambangan batu bara nanti di Sumatera,” kata sumber tadi. Batu bara produksi Fajar juga berkualitas tinggi, 6.300 kilokalori. Adapun Darma Henwa dibeli untuk mendukung pasokan alat-alat berat buat Arutmin dan Kaltim Prima Coal, dua unit usaha Bumi.
Tapi ambisi manajemen Bumi ini tertunda karena Bapepam belum menyetujuinya. Pengawas pasar modal itu merasa harga akuisisi kemahalan dan bisa merugikan investor publik. Bapepam juga curiga ada hubungan afiliasi tiga perusahaan itu dengan Bumi dan ada benturan kepentingan. Untuk memastikan harga wajar ketiga perusahaan tadi, Bapepam dan Bursa Efek Indonesia meminta pengkajian ulang atas penilaian Yanuar Bey. Investor dan analis tak sabar menanti laporan final MAPPI. Mereka berharap penilaian ulang para appraisal bisa menunjukkan harga sesungguhnya ketiga perusahaan yang diakuisisi Bumi.
Menurut sumber Tempo, semula ada tiga perusahaan penilai, yakni Ujatek Baru, Sucofindo Appraisal Utama, dan Truscel Capital, yang akan ditunjuk regulator pasar modal untuk mengkaji ulang harga Darma Henwa, Fajar, dan Pendopo. Tapi penunjukan dibatalkan karena ketiga perusahaan itu menolak lantaran khawatir penilaian baru tetap ada yang mempermasalahkan. ”Agar hasilnya final, akhirnya semua diserahkan ke Dewan Penilai MAPPI,” ujarnya.
Pendiri Truscel, Saiful M. Ruky, membenarkan cerita ini. Dia mengatakan telah merekomendasikan kepada Bapepam agar pengkajian ulang hasil penilaian Yanuar Bey dilakukan oleh Dewan Penilai MAPPI saja. Dewan Penilai MAPPI ini, katanya, terdiri atas para ahli dan penilai yang telah berpengalaman puluhan tahun dalam dunia appraisal.
Hasil rekomendasi Dewan Penilai MAPPI bersifat final dan kecil kemungkinan mendapat penentangan dari perusahaan-perusahaan penilai. ”Mbah-mbah penilai dan guru-guru penilai ada di sini (Dewan),” katanya. Saiful, yang juga anggota Dewan Penilai MAPPI, mengaku pernah berseloroh kepada Fuad bahwa dalam kasus Bumi terpaksa dewa-dewa penilai ikut turun tangan. ”Jika ada yang mempermasalahkan, itu pasti dewa mabuk,” ujarnya sambil terkekeh.
Bapepam pun akhirnya setuju Dewan Penilai MAPPI yang mengkaji ulang penilaian Yanuar Bey. Tim beranggotakan enam orang, termasuk ahli geologi, dibentuk. Saiful menjadi ketuanya. ”Kami terjun langsung ke lokasi tiga perusahaan di Sumatera dan Kalimantan.” Setelah bekerja selama kurang-lebih enam minggu, Dewan Penilai MAPPI merampungkan laporan final dan menyerahkannya ke Bapepam pekan lalu.
Berdasarkan hasil pengkajian ulang, kata Saiful, ternyata nilai pasar Fajar Bumi hasil pengkajian MAPPI hanya Rp 2,11 triliun, lebih rendah Rp 370 miliar dibanding penilaian Yanuar Bey senilai Rp 2,4 triliun. Angka Yanuar lebih tinggi karena menggunakan harga investasi. Padahal, untuk tujuan jual-beli atau akuisisi, harus digunakan harga sesuai dengan kondisi pasar saat transaksi (harga pasar wajar). Tapi Yanuar tidak bersalah karena tak mengajukan harga pasar wajar ke Bumi. Harga investasi yang disampaikan Yanuar Bey hanya untuk kepentingan internal Bumi. ”Entah mengapa Bumi menggunakan harga investasi untuk transaksi membeli Fajar,” kata Saiful.
Juru bicara Bumi, Dileep Srivastava, mengklaim Bumi boleh menggunakan harga investasi sebagai dasar transaksi. ”Kami bisa menggunakannya. Itu resmi,” katanya lewat telepon pekan lalu. Dileep menambahkan, Bumi juga memiliki tim penilai investasi sendiri.
Adapun harga akuisisi Darma Henwa, menurut Saiful Ruky, nilainya cukup wajar. Dengan mencicil selama tiga tahun ditambah syarat Darma Henwa bisa berproduksi 12 juta ton, nilai akuisisi Rp 2,41 triliun tergolong normal. Sebab, nilai pasar wajar Darma Henwa—pemiliknya menerima pembayaran tunai—ternyata hanya Rp 2,276 triliun. Sedangkan nilai akuisisi Darma Henwa Rp 2,41 triliun tadi jika ditarik ke nilai masa kini atau nilai sekarang (net present value) hanya sekitar Rp 1,746 triliun.
Begitu pula dengan Pendopo. Menurut Saiful, harga akuisisi Rp 1,3 triliun yang dicicil Bumi jika ditarik ke nilai sekarang hanya Rp 970,6 miliar. Nilai pasar wajarnya juga hanya Rp 1,057 triliun, di bawah nilai transaksinya. ”Harga penawaran Bumi cukup wajar.”
Bapepam menjadikan laporan final Dewan Penilai MAPPI sebagai kunci untuk mengoreksi aksi korporasi Bumi, khususnya terhadap nilai akuisisi atas Fajar Bumi. Menurut Fuad, dari tiga akuisisi, hanya dua nilai transaksi akuisisi yang wajar, yakni akuisisi Darma Henwa dan Pendopo. ”Nilai akuisisi Fajar Bumi kemahalan karena di atas nilai pasar wajar,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta pekan lalu. Bapepam pun mengusulkan dua alternatif penyelesaian. Pertama, manajemen Bumi meminta persetujuan pemegang saham, dan kedua, penyesuaian kembali nilai akuisisi Fajar Bumi.
Laporan final MAPPI dan dua rekomendasi disampaikan Bapepam dalam pertemuan dengan manajemen Bumi, Rabu malam pekan lalu. Menurut sumber Tempo, dalam pertemuan tersebut, Nirwan tidak banyak bicara. Namun adik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie ini menghargai keputusan Bapepam. ”Dia tak keberatan dengan hasil MAPPI,” ujar sumber Tempo yang ikut dalam pertemuan tersebut.
Nirwan saat dicegat para juru warta enggan berkomentar. Tapi Ari Hudaya kepada wartawan membenarkan manajemen Bumi tak keberatan dengan laporan final MAPPI. ”Kami akan mengikuti keputusan dan aturan Bapepam,” ujarnya. Saat pertemuan dengan MAPPI, kata Ari, draf penilaian transaksi akuisisi sudah ada. Berdasarkan draf tersebut, manajemen Bumi langsung berkomunikasi dengan pemilik saham Fajar Bumi Sakti. ”Kami akan segera bernegosiasi dengan pemilik Fajar Bumi di Abu Dhabi,” ujarnya.
Menurut analis Danareksa, Felicia Barus, penyesuaian kembali harga akuisisi Fajar akan lebih mudah karena manajemen Bumi tak perlu meminta persetujuan pemegang saham. Penurunan harga pembelian akan berpengaruh positif pada investor karena harga yang kelewat mahal akan membuat utang Bumi membengkak, pengeluaran meningkat, dan menyusutkan keuntungan perusahaan. Dividen pun berpotensi menurun. ”Itu concern pemegang saham publik,” ujarnya.
Jika manajemen Bumi berhasil membujuk pemegang saham Fajar, tampaknya akuisisi Bumi akan berjalan mulus. Terlebih lagi dalam laporan MAPPI itu ternyata ada juga pendapat hukum Hadiputranto, Hadinoto & Partners yang membuktikan tak ada hubungan afiliasi antara Bumi dan Pendopo, Fajar, serta Darma Henwa. Karena Bapepam tak berhasil membuktikannya, berakhirlah drama menarik selama enam bulan ini.
Padjar Iswara, Amandra Megarani
Rencana Akuisisi Bumi Resources
Perusahaan Diakuisisi | Perusahaan Diakuisisi | Pembayaran Tahun I (Rp) | Pembayaran Tahun II (Rp) | Pembayaran Tahun III (Rp) | Syarat |
Fajar Bumi Sakti | 2,475 triliun | 156 juta | 430 miliar | 2,045 triliun | Produksi 4 juta ton pada 2010 |
Pendopo Energi Batubara | 1,304 triliun | 841 juta | 226 miliar | 1,077 triliun | Perjanjian pembelian listrik dengan PLN diteken |
Darma Henwa | 2,412 triliun | 492 miliar | 359 miliar | 1,561 triliun | Produksi 12 juta ton pada 2011 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo