Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Telekomunikasi</B></font><BR />Ambles Tergilas Valas

Industri telekomunikasi terpeleset kurs. Laba bersih menyusut. Kantong XL malah minus. Telkom masih merajai pasar.

22 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIREKSI dan komisaris Telkom tak seberuntung petinggi perbankan pelat merah yang kebanjiran bonus miliaran rupiah. Tantiem bagi para bos perusahaan telekomunikasi milik pemerintah ini ”disunat” 27 persen dari nilai yang diberikan tahun sebelumnya. Keputusan tersebut diambil dalam rapat umum pemegang saham, di Jakarta, Jumat dua pekan lalu.

Diputuskan, total tantiem plus pajak bagi direksi dan dewan komisaris Rp 39,18 miliar, setara dengan 0,369 persen laba bersih tahun buku 2008 sebesar Rp 10,619 triliun. Sebagai pembanding, pada tahun buku 2007, perseroan membagikan bonus Rp 52 miliar, setara dengan 0,41 persen laba bersih saat itu yang mencapai Rp 12,857 triliun.

Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, Energi, dan Telekomunikasi Kementerian BUMN Sahala Lumban Gaol mengatakan keputusan itu didasarkan atas asas kepatutan dan kewajaran. Pernyataan Sahala itu tentu saja merujuk pada penyusutan laba bersih sebesar 17,4 persen.

Pemegang saham, kata Sahala, menghargai upaya manajemen mendongkrak kinerja. Persoalannya, mereka secara sadar menetapkan target—yang dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan—di tengah kompetisi industri telekomunikasi yang ketat. Hasilnya, menurut Sahala, kinerja optimal, tapi pencapaian kurang. ”Tidak jelek-jelek banget. Tapi pemegang saham selalu tidak puas,” katanya.

Menurut Sahala, keputusan menurunkan bonus tersebut obyektif. Artinya, pemegang saham mengapresiasi kerja keras manajemen, tapi hal-hal yang belum tercapai juga mesti dipertimbangkan. Direksi dan komisaris pun, kata dia, bisa memahami. Buktinya, mereka tidak mengusulkan kenaikan gaji.

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. adalah satu-satunya perusahaan telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah Indonesia. Pemerintah juga punya share di Indosat, tapi cuma 14,29 persen. Medio Mei lalu, Telkom menyampaikan laporan keuangan 2008 yang menunjukkan penurunan kinerja.

Telkom memang membukukan peningkatan pendapatan usaha dari Rp 59,44 triliun menjadi Rp 60,68 triliun. Tapi beban usaha naik lebih besar, yakni dari Rp 32,96 triliun menjadi Rp 38,38 triliun. Akibatnya, laba usaha pun susut dari Rp 26,47 triliun menjadi Rp 22,3 triliun.

Menurut Eddy Kurnia, Vice President Public & Marketing Communication Telkom, penyusutan profit disebabkan oleh kebijakan penurunan tarif interkoneksi. Skema baru tarif interkoneksi diberlakukan pemerintah pada 1 April 2008. Biaya telekomunikasi seluler turun 20-40 persen, sedangkan telepon tetap dan fixed wireless access 5-20 persen.

Operator bebas memutuskan berapa persen penurunan tarif mereka; yang penting, berada dalam kisaran tersebut. Dengan skema baru itu, pemerintah berharap tarif di tingkat konsumen pun turun. Sebab, formula tarif retail dihitung berdasarkan tarif interkoneksi, biaya operasional, dan keuntungan operator.

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, Eddy menambahkan, juga merugikan perseroan. Sebab, investasi dan pinjaman dilakukan dalam mata uang Negara Abang Sam. ”Ini berpengaruh terhadap pembayaran,” katanya. Tahun lalu, Telkom tekor Rp 1,613 triliun akibat selisih kurs. Pada 2007 pun perusahaan merugi meski ”cuma” Rp 294,774 miliar.

Kantong Telkom juga terkuras untuk membayar pesangon karyawan. Sebanyak 1.156 pegawai mengikuti program pensiun dini, tahun lalu, yang menelan anggaran lebih dari Rp 750 miliar. Artinya, kata Eddy, penurunan laba 17,4 persen bukan berarti aktivitas bisnis meloyo. ”Bisnis tetap berjalan bagus.”

Bukan hanya Telkom yang tekor. Laba bersih PT Indosat Tbk. pun terkoreksi, dari Rp 2,042 triliun pada 2007 menjadi Rp 1,878 triliun pada 2008. Problem yang dihadapi serupa: kurs. Division Head Public Relations Indosat, Adita Irawati, mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah berdampak signifikan terhadap pembayaran utang dan bunga dalam bentuk dolar, juga obligasi.

Rapor PT Excelcomindo Pratama Tbk. malah merah menyala. Perseroan merugi Rp 15,109 miliar tahun lalu. Pada 2007, XL masih membukukan laba Rp 250,78 miliar. Menurut General Manager Corporate Communications XL Myra Juno, ini terjadi karena perusahaan melakukan ekspansi besar-besaran pada 2008. Misalnya membikin 5.000 menara base transceiver system atawa BTS baru. Padahal biasanya pembangunan 3.000 menara dilakukan selama empat tahun.

”Ini digeber langsung 5.000,” kata Myra. Perseroan meminjam dana perbankan untuk investasi tersebut. Nah, XL kejeblos ketika tiba-tiba rupiah nyungsep. November tahun lalu, rupiah memang sempat jeblok ke level Rp 12.225, posisi paling lemah sejak September 1998.

Tak luput, laba bersih Bakrie Telecom pun terkoreksi dari Rp 144,268 miliar (2007) menjadi Rp 136,812 miliar (2008). Toh, Direktur Corporate Service Bakrie Telecom Rahmat Junaidi tetap pede. Ia mengatakan pelanggan meningkat pesat. Akhir tahun lalu ada 7,3 juta pelanggan, sedangkan pada kuartal pertama tahun ini sudah terdata 8,03 juta pemakai code division multiple access alias CDMA. ”Targetnya 10,5 juta pelanggan,” kata Rahmat.

Analis telekomunikasi dari BNI Sekuritas, Akhmad Nurcahyadi, mengatakan, hingga saat ini, Telkom masih raja bisnis telekomunikasi, meninggalkan 10 pemain lain. Pangsa pasarnya 50 persen. Tahun ini, Telkom menargetkan pertumbuhan hingga 16 juta pelanggan Flexi, untuk mempertahankan pangsa pasar 54-56 persen. Di produk seluler, Telkomsel—anak perusahaan Telkom—menguasai 46-49 persen pasar.

Bisnis telepon rumah memang tidak mengalami pertumbuhan, masih 8,7 juta pelanggan. Tapi Telkom akan menggenjotnya melalui layanan Speedy. Akhir tahun ini, pelanggan Speedy diharapkan menembus 1,6-1,7 juta, naik dari 1,2 juta tahun lalu.

Persoalannya, Akhmad menambahkan, penetrasi pasar sudah mencapai 65-70 persen—titik jenuh. Ini berpotensi terjadi saling caplok pelanggan antar-operator. Artinya, perang tarif masih akan berlanjut.

Tapi peningkatan jumlah pelanggan tidak serta-merta mengerek laba. Logikanya, dulu cukup satu pelanggan untuk mencapai satu persen revenue, kini perlu 2-3 orang. Sebab, tarifnya sangat murah. Intinya, kata Akhmad, penurunan volume bukan berarti perusahaan tidak tumbuh. Sebaliknya, volume yang naik bukan indikasi bahwa perusahaan tumbuh bagus. Yang nyus, bila harga naik, volume juga naik.

Retno Sulistyowati, Munawwaroh, Iqbal Muhtarom

Pangsa Pasar Telepon Seluler

Hutchinson
3,6 juta (2,7%)

Mobile-8
4,5 juta (3,4%)

XL
25,5 juta (19%)

Indosat
35,47 juta (26,8%)

Telkomsel
62,5 juta (45,8%)

Operator lain
1 juta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus