Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika heran mengapa harga beras di pasar masih mahal. Padahal, pemerintah telah menggelontorkan ratusan ribu ton beras untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Mengapa Bulog sudah menggelontorkan SPHP secara besar-besaran, tetapi tidak menurunkan harga beras? Ini yang harus kita kaji," tuturnya usai meninjau Gudang Bulog di Kelapa Gading, Jakarta pada Jumat, 15 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Yeka menduga, ada dua hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya kondisi ini. Pertama, beras yang mestinya dijual sebagai SPHP bisa saja dikemas kembali atau repackaged dalam bentuk beras komersil. Di sinilah, kata Yeka, peran pengawasan dibutuhkan.
"Karena kita tidak pernah mengawasi di pasar, di ritel, di konsumen itu seperti apa. Apakah ke depan bahwa khusus seperti itu gak perlu beras curah, beras karungan begitu ya. Nah, itu yang akan dilihat, karena kelihatan tadi karungnya (beras SPHP dan beras komersial) tak jauh beda."
Dugaan kedua Yeka adalah produksi Indonesia yang sangat bermasalah. Dia mengatakan, kemungkinan yag terjadi adalah produksi yang bermasalah atau memang ada penyelewengan di dalam penyaluran beras SPHP.
Namun, dia berpendapat bahwa harga tinggi meski telah digelontorkan stok oleh pemerintah, masih lebih baik dibanding tidak adanya stok beras.
"Itu jauh lebih baik, ketimbang kita menghadapi beras tidak ada," ujarnya.
Pada Jumat, Ombudsman RI mendatangi Pasar Induk Cipinang dan Gudang Bulog untuk memastikan kesesuaian implementasi kebijakan relaksasi HET beras premium. Pada rentang tanggal 10 sampai 23, pemerintah menetapkan relaksasi HET beras SPHP lebih besar Rp 1.000. Kebijakan tersebut diambil untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga beras premium di tingkat konsumen.