Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan ke level 6 persen.
Akan ada dua instrumen baru yang diharapkan bisa memperkuat rupiah.
Kurs rupiah tetap melemah karena tekanan dari dalam dan luar negeri.
BANK Indonesia mendadak berubah arah. Di luar dugaan pasar, Bank Indonesia pada Kamis, 19 Oktober lalu, menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen. Kini bunga rujukan yang namanya cukup rumit itu, BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR), mencapai 6 persen, tertinggi sejak 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak banyak analis menduga BI menaikkan bunga bulan ini. Sebab, kenaikan bunga berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Kenaikan BI7DRRR akan membuat segala macam bunga ikut naik. Daya beli konsumen menurun dibuatnya. Banyak pengusaha harus mengantisipasi penurunan penjualan. Lagi pula, sebelum kenaikan itu, BI berulang kali menyampaikan komitmennya turut membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menahan bunga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun BI memang tak punya pilihan lain. Magnitudo gejolak di pasar finansial global makin besar. Perang yang mendadak meletus di Timur Tengah menambah kegalauan investor yang sebelumnya sudah resah karena The Federal Reserve masih berencana menaikkan bunga lagi di akhir tahun ini. Dampak gejolak ini adalah pelarian modal dari banyak pasar berkembang, termasuk Indonesia. Perang membuat kapital itu terbang makin deras.
Konsekuensinya, rupiah terus merosot. Akhir pekan lalu kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sudah bablas melampaui 15.800 per dolar Amerika. Inilah nilai tukar rupiah terburuk sejak April 2020, ketika pandemi Covid-19 meluluh-lantakkan pasar finansial global. Jika BI tak mau menaikkan bunga demi menjaga pertumbuhan ekonomi, kurs rupiah bisa makin terjerembap.
Sebetulnya BI sudah mencari jalan selain menaikkan bunga untuk menahan kaburnya modal asing. Salah satunya penerbitan Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Harapannya, instrumen baru ini bisa menjadi tujuan investasi dana global karena memberikan imbal hasil (yield) yang menarik, di atas 6 persen. Sejak pertama kali terbit pada Agustus lalu hingga akhir pekan lalu, BI sudah menjual SRBI senilai Rp 113,7 triliun.
Namun, dari nilai total SRBI yang cukup besar itu, menurut data yang dikutip Bloomberg, per akhir pekan lalu investor asing hanya menguasai sekitar Rp 10 triliun atau 8,8 persen. SRBI rupanya belum berhasil menghentikan kaburnya modal dari Indonesia. Pembelinya lebih banyak lembaga keuangan lokal.
Untuk menambal kelemahan ini, BI akan menambah instrumen baru yang diharapkan bisa menyedot dolar dari luar negeri dengan lebih kuat. Instrumen baru itu adalah Sekuritas Valas Bank Indonesia dan Sukuk Valas Bank Indonesia yang akan terbit pada akhir November nanti. Sementara dua instrumen baru ini belum tersedia, BI masih harus mengandalkan kenaikan bunga untuk menahan kemerosotan rupiah.
Pertanyaannya, mampukah kenaikan bunga menahan kaburnya modal? Pasar sepertinya menyatakan tidak. Sebab, sehari setelah bunga BI naik, rupiah masih terus tertekan di pasar dan turun nilainya. Namun, karena belum ada cara lain yang lebih efektif, besar kemungkinan BI tetap harus menaikkan lagi bunganya bulan depan jika masih ingin mempertahankan nilai rupiah.
Tekanan pasar pada rupiah masih akan terus membesar. Alih-alih mereda, konflik di Timur Tengah malah kian meningkat intensitasnya. Penerimaan ekspor Indonesia juga terus melemah. Per September 2023, kurs rupiah merosot 16,79 persen dibanding setahun sebelumnya. Hingga akhir tahun ini, aliran dolar yang kabur keluar mungkin masih lebih besar ketimbang yang masuk.
Sementara itu, muncul pula sentimen negatif dari panggung politik. Bukan soal siapa calon presiden atau wakilnya, sinyal buruk yang sampai ke pasar adalah ada intervensi politik pada lembaga yudikatif di level tertinggi. Kritik keras terhadap Mahkamah Konstitusi merebak setelah lembaga itu mengabulkan gugatan tentang syarat calon presiden dan wakilnya hanya beberapa hari sebelum pendaftaran dibuka.
Bagi pasar, kepastian hukum merupakan hal yang sangat esensial untuk menjaga keyakinan akan terciptanya stabilitas sosial dan ekonomi. Pasar finansial global kini melihat betapa mudahnya MK mengubah-ubah hukum secara inkonsisten. Itu turut menjadi sentimen negatif bagi Indonesia, menambah daya dorong kaburnya modal ke luar negeri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lemah Daya Dorong Rupiah"