Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Surat Edaran Menaker Soal BHR Ojol: SPAI Nilai Syarat Platform Diskriminatif

BHR atau Bonus Hari Raya bagi pengemudi ojol diatur dalam SE Menaker. Besaran yang disesuaikan dengan kemampuan platform dinilai diskriminatif.

24 Maret 2025 | 16.53 WIB

Ilustrasi ojek online perempuan. Foto Grab
Perbesar
Ilustrasi ojek online perempuan. Foto Grab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 11 Maret 2025, Menteri Ketenagakerjaan Yasserli mengeluarkan Surat Edaran terkait pemberian Bonus Hari Raya disingkat BHR keagamaan bagi pengemudi dan kurir layanan angkutan berbasis aplikasi, atau lebih dikenal dengan istilah ojol.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Edaran ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan mitra pengemudi yang telah berkontribusi dalam sektor transportasi daring. Namun, kebijakan ini memunculkan beberapa perdebatan, terutama terkait besaran BHR yang dinilai tidak adil oleh sebagian kalangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Landasan Hukum BHR

Pemberian BHR kepada pengemudi ojol didasarkan pada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04.00/III/2025 yang diterbitkan pada 11 Maret 2025. Surat Edaran ini menegaskan bahwa perusahaan penyelenggara layanan aplikasi wajib memberikan bonus kepada para mitra pengemudi sebagai bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan mereka.

Pemerintah menilai pemberian BHR adalah bagian dari implementasi nilai-nilai Pancasila dalam dunia ketenagakerjaan, serta menunjukkan perhatian terhadap pekerja informal yang selama ini dinilai kurang dilindungi sistem ketenagakerjaan formal.

“Bagi pengemudi dan kurir online di luar kategori sebagaimana dimaksud pada nomor 3, diberikan bonus hari raya keagamaan sesuai dengan kemampuan perusahaan aplikasi,” demikian bunyi petikan surat edaran tersebut.

BHR ini diberikan kepada seluruh pengemudi dan kurir yang terdaftar dan produktif, serta sesuai dengan kinerja yang ditetapkan oleh masing-masing perusahaan aplikasi. Pemberian BHR wajib disalurkan paling lambat tujuh hari sebelum Idul Fitri dan tidak boleh mengurangi bentuk dukungan kesejahteraan lainnya yang sudah diberikan perusahaan.

Perhitungan Besaran BHR

Besar BHR yang diberikan dihitung berdasarkan 20 persen dari rata-rata pendapatan bersih bulanan pengemudi selama 12 bulan terakhir. Sebagai contoh, jika rata-rata pendapatan bersih seorang pengemudi ojol dalam satu bulan adalah Rp 3 juta, maka BHR yang akan diterima adalah sebesar Rp 600.000 (20 persen dari Rp 3 juta).

Dalam hal ini, pemerintah menekankan bahwa meskipun besaran BHR diberikan sesuai dengan kinerja, pengemudi yang tidak masuk kategori produktif tetap berhak mendapatkan BHR sesuai kemampuan perusahaan aplikasi.

Meskipun telah ditentukan dengan jelas, perhitungan ini memunculkan protes dari sejumlah pihak. Misalnya, berdasarkan keterangan dari Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, banyak pengemudi yang merasa tidak mendapatkan BHR dengan adil.

Pasalnya, banyak pengemudi yang dianggap tidak produktif karena tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan platform aplikasi, meskipun mereka telah bekerja sangat keras.

“Itu pun kami harus bekerja dari pagi hingga malam, berkisar 15-17 jam setiap harinya. Dan itu kami kerjakan tanpa libur dalam sebulan,” kata Lily dalam keterangan tertulis pada Kamis, 24 Oktober 2024.

Dinilai Diskriminatif

Tuntutan Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) agar semua pengemudi ojol menerima BHR tanpa diskriminasi semakin menguat. SPAI menilai beberapa ketentuan dalam Surat Edaran, terutama terkait dengan penentuan kriteria produktivitas dan kinerja, bersifat diskriminatif.

“Kriteria diskriminatif ini alasan yang dibuat-buat platform untuk menghindar dari kewajiban membayar THR ojol (BHR) kepada semua pengemudi ojol, taksol dan kurir,” kata Lily Pujiati dalam keterangan tertulis.

Platform aplikasi, seperti Gojek dan Grab, memiliki sistem peringkat atau level, seperti Basic, Silver, Gold, hingga Platinum, yang mempengaruhi prioritas pengemudi dalam mendapatkan pesanan. Level-level ini diciptakan berdasarkan jumlah penyelesaian order dan penerimaan bid, yang terkadang membuat pengemudi merasa tertekan untuk bekerja lebih lama dan lebih keras, bahkan melebihi batas ketenagakerjaan yang sehat.

“Ketika jumlah pengemudi sudah membludak, platform menciptakan skema order prioritas yang diskriminatif. Platform membuat level atau tingkatan prioritas dengan target kinerja berdasarkan penerimaan bid dan penyelesaian order setiap bulannya,” kata Lily.

Tak hanya itu, terdapat pula sistem ‘slot’ atau ‘goceng’ yang menawarkan tarif sangat rendah, yakni Rp 5.000 per order. Hal ini semakin memperburuk kondisi pengemudi yang menganggap bahwa upah yang diterima tidak sesuai dengan beban kerja mereka.

Menurut SPAI, perusahaan aplikasi seharusnya membayar BHR tanpa persyaratan yang memberatkan pengemudi. BHR, menurut mereka, seharusnya diberikan secara merata kepada semua pengemudi yang terdaftar tanpa memandang tingkat produktivitas yang dipaksakan oleh platform. Dengan begitu, pemberian BHR dapat benar-benar mencerminkan rasa adil dan memberikan perlindungan kepada seluruh pengemudi.

“Selain itu kami juga mendesak kepada Kementerian Ketenagakerjaan mengawasi proses pembayaran THR ojol ini agar semua pengemudi ojol mendapatkannya tanpa syarat kriteria diskriminatif yang dibuat platform,” kata Lily.

Adil Al Hasan, Dinda Shabrina, dan Melynda Dwi Puspita turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Prabowo Sebut Ojek Online Mendapat Bonus Rp 1 Juta, SPAI: Yang Didapat Rp 50 Ribu

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus