SWASTANISASI ternyata dimulai oleh Pertamina. Undangan untuk menyelenggarakan pemasaran bensin dan elpiji, diumumkan belum lama ini, berlaku bagi perusahaan swasta, koperasi, maupun perorangan yang ingin mengusahakan pompa bensin (SPBU) dan tiga depot mini elpiji di Jakarta. Adapun soal motivasinya boleh dibicarakan belakangan. Sebelumnya, berlaku ketentuan bahwa pengusaha yang ingin mengelola SPBU harus menyediakan tanah sedikitnya 1.000 m2. Semua bangunan stasiun berikut peralatan menjadi milik Pertamina. Pengelola harus ikut menanggung biaya pembangunan dan peralatan 50% (bisa dibayar belakangan dengan uang komisi). Dan hanya mendapat komisi 2,5%, pengusaha dilarang keras menjajakan apa pun selain dagangan yang dikeluarkan Pertamina. Misalnya, kalau mau jual oli, ya harus Mesran merknya. Sekarang, karena namanya juga swastanisasi, pengusaha harus menyediakan modal sendiri untuk segala-galanya. SPBU akan mutlak menjadi milik pengusaha. Tapi harga jual tetap ditentukan Pertamina. Dan komisi juga tetap 2,5%. Hanya saja, karena sekarang menjadi milik penuh pengusaha, lokasi SPBU boleh dipergunakan untuk keperluan lain: mulai dari usaha tambal ban sampai supermarket. Taufik Kiemas, pemiliki pompa bensin di Tebet, Jakarta, senang menyambut ketentuan baru Pertamina itu. Sebab, katanya, keuntungannya memang tipis kalau hanya menjual bensin saja. "Dengan menjual minyak pelumas dan bensin campur, saya bisa mendapat tiga-empat juta rupiah, cukup untuk menutup gaji karyawan," kata suami Megawati Soekarno itu. Tapi, ternyata tidak semua swasta menganggap swastanisasi ala Pertamina itu menguntungkan. Lihat, misalnya, keterangan Ismail Suny yang sudah hampir 20 tahun mengelola pompa bensin. Guru besar ilmu tata negara pada Fakultas Hukum UI itu, yang juga bergerak di usaha apartemen mewah, menyatakan bahwa bunga deposito masih lebih menarik dibandingkan keuntungan dari mengusahakan SPBU dengan cara baru. Untuk pompa bensin barunya di Meruya, sebagai pengganti SPBU di Jalan S. Parman, Slipi, yang kena gusur sekitar Agustus lalu, Ismail Suny harus mengeluarkan uang Rp 350 juta: untuk membeli tanah, peralatan, dan mengurus segala macam izin. Menurut perhitungannya, kalau bisa menjual 40.000 liter bensin per hari, modal itu baru bisa kembali dalam tempo lima tahun. Tapi tujuan Pertamina menswastanisasikan penyaluran BBM memang bukan untuk menyenangkan swasta, kok. Tapi lebih merupakan langkah efisiensi. Dengan teknologi yang ada, ladang minyak seperti di Duri, misalnya, sekarang baru 10% yang bisa dipompa keluar. "Kami hendak membeli teknologi lebih tinggi, yang tentu saja mahal harganya, agar bisa memompa cadangan sumur itu sampai 50%," kata Humas Pertamina, K.A. Endin. Mengapa biaya di bidang penyaluran yang ditekan? Rupanya, swasta dipandang cukup mampu menanggung beban itu. Kalau tidak, tentu tak sampai lima belas pengusaha yang ikut tender memperebutkan tiga depot elpiji di Jakarta. Padahal, satu proyek kira-kira membutuhkan investasi Rp 800 juta sampai Rp 1 milyar. "Awal tahun depan yang menang tender sudah bisa beroperasi," kata Direktur Pemasaran Dalam Negeri Pertamina, Sutan Asin, pekan lalu. Elpiji, yang mulai pekan lalu harganya naik dari Rp 370 menjadi Rp 590,91 per kilogram (hampir 60%), tampaknya sudah mulai masuk ke dapur-dapur berbagai lapisan masyarakat. Dari tahun ke tahun pemakaiannya meningkat. Sepuluh tahun lalu, pemakaian elpiji baru sekitar 38.000 ton, sedang tahun lalu sudah mencapai 176.000 ton. Belum lagi nanti kalau kendaraan bermotor berganti bahan bakar dari bensin ke elpiji. Max Wangkar, Sidartha Pratidina, Bachtiar Abdullah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini