GEDUNGNYA memang terletak di kawasan elite. Tepatnya di 54th Street, hanya puluhan meter dari daerah pertokoan prestlslus di kawasan Manhattan yang terkenal, 5th Avenue. Namun, ternyata, lokasi toko Sarinah di New York itu tidak cocok sebagai jendela promosi produk Indonesia. Terbukti, menurut harian Kompas, sampai ulang tahun pertama -- yang jatuh bulan ini -- setiap bulan Sarinah masih rugi sekitar Rp 65 juta. Entah bagaimana tadi-tadinya gedung antik berlantai lima itu dipilih sebagai toko. Padahal, lokasinya jelas merupakan bagian dari cagar budaya. Jangankan menata penampilan luarnya. Pasang papan nama toko pun dilarang. Sehingga, yang namanya etalase pun hanya berupa barang-barang yang dipajang di balik jendela. "Bahkan pernah kena denda waktu memasang umbul-umbul," seperti kata seorang pejabat konsulat jenderal RI di New York. Jadi, hampir-hampir tak ada jalan untuk membelokkan arus pengunjung dari 5th Avenue ke 54th Street. Karena itu, jangan heran kalau toko yang diresmikan Menteri Perdagangan Rachmat Saleh, tahun lalu, itu sepi-sepi saja. Omsetnya setiap bulan hanya sekitar Rp 24 juta. Oh, ya, hampir disegel, Agustus lalu, karena.... tak kuat membayar pajak. Siapa yang bertanggung jawab? Ada kesan bahwa Sarinah kurang siap untuk berniaga di kota seribu wajah seperti New York itu. Dari segi menata toko sampai melayani umum. "Suasana toko kocar-kacir," seperti cerita seorang pemasok barang cendera mata. Barang-barang dibiarkan berdebu. Sampai sang pemasok gatal tangannya: mengelap sendiri kaca, patung, dan kerajinan tangan lainnya. "Jauh lebih rapi dan menarik Keris Gallery di Jakarta," katanya. Pramuniaganya pun dianggap kurang gesit da kurang simpatik. "Seperti nggak niat jualan saja," ujar pengusaha tadi. Tapi PT Sarinah, BUMN, tak dapat disalahkan begitu saja. Kabarnya, mereka memang tidak terlibat dari awal. Pengusaha dan pemilik Sarinah Jaya, Abdul Latief, disebut-sebut sebagai orang pertama yang berniat mengelola Sarinah New York. Tapi entah mengapa, Latief kemudian mengundurkan diri. Ada yang mengatakan bahwa Latief ingin agar biaya pengelolaan ditanggung bersama. Sebab, yang dijajakan bukan hanya dagangan Sarinah Jaya saja. Di situ 'kan dipajang juga segala macam barang sebagai promosi produk buatan Indonesia? Sementara itu, pemerintah, yang sudah mengeluarkan hampir Rp 19 milyar untuk membeli gedung, merasa tak seharusnya menanggung biaya apa-apa lagi. Baik Abdul Latief maupun PT Sarinah tidak membantah atau membenarkan cerita itu. "Maaf, kami belum dapat memberi komentar, karena persoalarmya masih dibicarakan direksi," kata Jhoni Huseen, Humas Sarinah. Sedangkan Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), K. Algamar, menyatakan bahwa gedung di 54th Street itu untuk pameran barang produksi Indonesia. Sarinah hanya menyewa tiga lantai. Tentang kerugian Sarinah, katanya, itu karena selama ini hanya berjualan secara eceran saja. "Seharusnya mereka sudah mulai menggiatkan whole sale," katanya. Sebenarnya, PT Sarinah, yang tiba-tiba ditugasi menggantikan Sarinah Jaya, sudah cukup berusaha. Misalnya memakai jasa konsultan Amerika untuk menentukan barang apa saja yang akan dijual. Promosi juga tak kurang besarnya pada saat peresmian, 21 Oktober lalu, antara lain dengan memasang iklan di media massa. Mulai bulan ini, Sarinah juga mengadakan kerja sama dengan Iwan Tirta, perancang batik kondang itu. "Saya akan mulai kecil-kecilan dahulu kok. Hanya mengambil satu lantai di bawah," kata Iwan Tirta di New York kepada Tri Budianto Soekarno dari TEMPO melalui telepon internasional. Iwan Tirta juga menyatakan bahwa dia tidak perlu membayar sewa tempat di sana. Sarinah hanya memungut komisi dari penjualan yang sudah dinaikkan sekitar tiga kali lipat dari harga Jakarta. Masuknya Iwan Tirta, yang sudah sekian kali pameran baju di AS dan punya banyak pengemar di sana, mudah-mudahan bisa menjadi daya tarik buat Sarinah yang selama ini kedodoran. Bambang Harymurti, S. Pratidina (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini