Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Prudensi

Prudensi bagi seorang pengusaha mungkin akan menja di pagar pengaman. prudensi dapat berarti hemat, hati-hati, bijaksana. perlu diperhatikan, terutama dalam bisnis, sebelum terpeleset dan terbenam.

10 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI antara bankir yang saya kenal, Mohamad Samdikoen dari Bank Bumi Daya-lah yang agaknya paling rela memberi nasihat. Dan nasihat itu bukan cuma tentang hal-hal yang berkaitan dengan bisnis, tetapi sering juga tentang bagaimana orang bisnis harus bersikap, tentang mental attitude. Pada suatu ketika kami berbicara tentang berbagai peluang bisnis yang lalu lalang di depan mata kaum pengusaha Indonesia. Jepang -- pasar yang katanya tertutup sesungguhnyalah masih mempunyai banyak celah peluang yang dapat dimasuki. Amerika Serikat masih merupakan pasar besar yang belum banyak kita manfaatkan. Pasar dalam negeri sendiri pun masih merupakan peluang potensial yang tak ada habisnya untuk digarap. "Anda baru melihat satu sisi," kata Pak Sam. "Di satu sisi memang kita melihat begitu banyaknya peluang yang menjanjikan keuntungan. Di sisi lain seorang pengusaha juga berhadapan dengan business prudence." Sudah lama saya judeg mencari padanan kata yang baik untuk mengartikan prudence secara persis. Di kamus ia diartikan dengan kebijaksanaan. Tetapi sesungguhnya itu belum mencakup pengertian prudence yang luas. Dalam kata itu terdapat pula pengertian keberhati-hatian dan sikap hemat. Jadi, untuk sementara, inilah arti prudensi: hemat, hati-hati, bijaksana. Tetapi, apa kaitannya prudensi dengan peluang-peluang bisnis itu ? Nah, kita dengarkan Pak Sam lagi. "Manusia diciptakan Tuhan dengan rasa hati-hati. Tetapi Tuhan juga memberikan sikap-sikap emosional pada manusia, seperti rasa ingin cepat jadi pengusaha besar dan rasa keserakahan akan laba. Keduanya bertempur dalam nurani manusia. Tanpa keseimbangan yang baik, orang akan menjadi terlalu hati-hati, atau justru terlalu serakah." Keseimbangan -- ah, alangkah sulitnya mencapai yang satu ini. Dan itu pulalah sebabnya kita justru lebih sering melihat ekstrem dari monodualisme itu. Kita tak sabar melihat atasan yang terlalu berhatihati, seolah-olah tak pernah berani mengambil risiko, dan karenanya perusahaan tak kunjung maju. Pada saat yang sama kita juga gemas melihat contoh-contoh keserakahan di sekeliling kita. Keserakahan yang bahkan telah menimbulkan berbagai ancaman bagi konsumen dan lingkungan hidup. Seorang pengusaha yang sudah berhasil pastilah akan mencari lagi peluang-peluang baru untuk membuatnya lebih berhasil lagi. Dan itu adalah kewajaran belaka dalam bisnis. Orang bahkan sering memakai perumpamaan ini: bila pohon tak mampu lagi membuat daun baru, maka itu pertanda pohon akan mati. Karena itu, pengusaha yang tak ingin melihat tanda-tanda kematian akan terus membuat daun baru -- mendiversifikasikan usahanya. Kadang-kadang hingga ke cabang-cabang usaha yang di luar batas pengetahuan dan pengalamannya. Liem Sioe Liong -- yang baru-baru ini masuk dalam daftar 100 Orang Kaya Dunia -- dalam wawancara di TEMPO beberapa tahun yang silam berkata, "Saya tidak kaya. Utang saya banyak." Bukankah itu yang sebenarnya terjadi? Orang yang kaya justru banyak utangnya. Soalnya, bank memang sulit memberikan utang kepada orang miskin. Orang kaya adalah golongan yang credible untuk memperoleh kredit bank. Tak heran bila orang kaya yang mempunyai banyak usaha dan banyak pabrik besar, sebenarnya, tak punya banyak uang tunai di kasnya. Di bank pun tidak. Utang membengkak di berbagai bank. Menurut istilah Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mereka ini menjadi kuli bank. Mereka beroperasi hand to-mouth. Begitu menghasilkan uang, langsung disetor ke bank untuk membayar utang. Dan orang seperti ini tak akan pernah "kapok" memperbesar utang ke bank, karena ia tak pernah mampu menolak peluang yang singgah di depan matanya. Apa bahayanya situasi seperti itu ? Tak ada bahaya, memang. Kecuali bila tiba-tiba terjadi perubahan situasi. Dan, sialnya, situasi memang akan berubah. Ketiadaan cadangan uang tunai (cash reserve) selalu merupakan penyebab kehancuran berbagai jenis usaha. "Kalau sudah begitu, yang disalahkan pasar," kata Pak Sam. Besarnya volume usaha memang biasanya sebanding dengan besarnya keuntungan yang bisa diraih. Tetapi, jangan lupa, piutang pun menjadi lebih besar, sementara utang pun membesar. "Dan jangan lupa pula," ini ditambahkan Pak Sam, "peluang itu 'kan hanya ada dalam persepsi pengusaha. Pengusaha dapat mengolah peluang itu menjadi keuntungan nyata. Tetapi ia perlu pula memperhitungkan bahwa situasi pasar akan berubah." Bisnis, Saudara, memang tidak gampang. Prudensi mungkin akan menjadi pagar yang mengamankan Anda. Sebelum terpeleset. Dan terbenam. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus