Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tangan Negara di Kilang Petrokimia

Pertamina resmi menguasai saham perusahaan induk Trans Pacific Petrochemical Indotama. Buah gerak cepat kabinet menjalankan perintah presiden.

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengoperasian mesin di kilang minyak PT Trans Pacific Petrochemical Indotama di Tuban, Jawa Timur, November 2015./ ANTARA/Widodo S. Jusuf

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar mengejutkan mencuat di laman situs Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan pada Selasa, 19 November lalu. PT Pertamina (Persero) disebutkan telah mengakuisisi PT Tuban Petrochemical Industries (TPI) senilai Rp 3,1 triliun. Perusahaan minyak dan gas milik negara ini resmi menjadi pemegang saham mayoritas TPI, induk pabrik aromatik PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), yang berbasis di Tuban, Jawa Timur.

Galeri foto di warta yang sama menunjukkan perjanjian pembelian diteken Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dan Direktur Utama Tuban Petrochemical Sukriyanto di depan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata sehari sebelumnya, Senin, 18 November. Isa, masih dari siaran tersebut, menyatakan harapannya bahwa Pertamina mengelola Tuban Petro dengan komitmen tinggi untuk memenuhi kebutuhan negara. “Bagi pemerintah, ini sudah dipikirkan secara mendalam. Pada akhirnya, TPI Group akan diserahkan kepada pihak yang seharusnya memiliki kompetensi dan kapasitas,” kata Isa.

Wacana pengambilalihan kendali Tuban Petro oleh Pertamina memang tersiar luas sejak bulan lalu. Langkah ini diagendakan sebagai tahap kedua dalam rencana restrukturisasi utang dan optimalisasi kilang petrokimia TPPI. Tahap pertama, berupa penyiapan payung hukum dan konversi piutang pemerintah menjadi penyertaan modal negara, telah rampung dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2019 pada pertengahan Oktober lalu.

Peraturan itu juga yang mengatur bahwa Tuban Petro akan menerbitkan saham baru (rights issue) untuk dibeli badan usaha milik negara. Namun yang tak dinyana adalah cepatnya waktu realisasi rencana tersebut. Semula opsi ini dijadwalkan terwujud setidaknya pada awal 2020 dengan pertimbangan memerlukan uji tuntas.

Hingga Jumat, 29 November lalu, belum ada keterangan resmi tentang detail perjanjian yang diteken pada 18 November lalu itu. Sejumlah pejabat pemerintah dalam proses tersebut menjawab seirama bahwa paparan akan disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, serta Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam konferensi pers yang telah diagendakan berlangsung pada pekan pertama Desember 2019. Kedua perseroan pun urung mempublikasikan transaksi mereka. Siaran pers yang sempat terpampang di situs Pertamina tak bisa lagi diakses.

Penandatanganan perjanjian pembelian saham oleh PT Tuban Petrochemical Industries dan PT Pertamina (Persero) di Jakarta, 18 November 2019./ Foto: istimewa

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Perekonomian Montty Girianna menegaskan bahwa seluruh transaksi rampung pada November 2019. “Bulan ini dijadwalkan selesai rights issue dan pembelian saham Tuban Petro,” ujarnya, Rabu, 27 November lalu.

TUBAN Petrochemical Industries adalah induk tiga perusahaan petrokimia. Anak usahanya selain Trans Pacific Petrochemical Indotama adalah PT Petro Oxo Nusantara (PON), pabrik oktanol di Gresik, Jawa Timur, dan PT Polytama Propindo, pabrik olefin di Balongan, Indramayu, Jawa Barat.

Pemerintah berkepentingan mengambil alih Tuban Petro untuk menghidupkan kembali kilang TPPI yang sempat mati suri gara-gara tak punya modal. Optimalisasi TPPI, PON, dan Polytama diharapkan bisa mengatasi tingginya ketergantungan pada impor petrokimia. Selama ini, industri petrokimia dalam negeri hanya mampu memenuhi 40 persen kebutuhan nasional.

Dalam kalkulasi pemerintah, bila kilang TPPI beroperasi dan dikembangkan secara optimal, impor produk petrokimia utama akan berkurang sekitar 6.200 kiloton per tahun pada 2030. Dengan begitu, defisit neraca transaksi berjalan bisa berkurang sekaligus menghemat devisa negara hingga US$ 6,6 miliar pada tahun yang sama. Kementerian Keuangan juga memproyeksikan potensi penerimaan pajak sekitar US$ 1,3 miliar. Belum lagi peluang penyerapan tenaga kerja yang diperkirakan mencapai 2.000 orang.

Pada sisi lain, pengembangan bisnis Tuban Petro ini juga menjadi pintu masuk menyelesaikan masalah lama di TPPI: gunungan utang. Hingga Desember 2018, utang TPPI mencapai US$ 888 juta. Angkanya terus meningkat hingga kini diperkirakan telah menembus US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun pada Oktober lalu. Sebagian besar kepada Pertamina.

Sedekade terakhir, upaya restrukturisasi bukannya menemukan jalan keluar, tapi malah memantik perkara dugaan korupsi yang hingga kini belum kelar seiring dengan kaburnya pemilik lama perseroan, Honggo Wendratno. Belum tuntasnya masalah hukum itu pula yang membuat Pertamina tak masuk lebih dalam ke bisnis TPPI kendati didorong pemerintah sejak lima tahun lalu. Manajemen Pertamina bahkan sempat meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung.

Titik terang datang pada 19 Oktober lalu. Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2019 yang mengkonversi piutang pemerintah senilai Rp 2,618 triliun kepada Tuban Petro menjadi penambahan penyertaan modal negara. Sejak saat itu, kepemilikan pemerintah lewat Kementerian Keuangan di Tuban Petro mencapai 95,9 persen. Sisanya tetap di tangan Honggo via PT Silakencana Tirtalestari.

Belakangan, dengan menyerap seluruh saham baru yang diterbitkan Tuban Petro, Pertamina kini menjadi penguasa anyar perseroan dengan kepemilikan 51 persen saham. Saham pemerintah dan Honggo terdilusi. Pertamina pun kini lebih percaya diri mengelola kilang aromatik TPPI di Tuban. “Ya (lebih aman),” kata Direktur Perencanaan, Investasi, dan Manajemen Risiko PT Pertamina Heru Setiawan di sela acara “Pertamina Energi Forum 2019” di Jakarta, Rabu, 27 November lalu.

SEKUEL demi sekuel restrukturisasi induk Trans Pacific Petrochemical Indotama rampung dalam waktu relatif singkat. Kabinet baru bergerak cepat sebulan terakhir. Sepekan setelah pelantikan, Presiden Joko Widodo mengumpulkan para menteri bidang ekonomi di Istana Negara, Jakarta, untuk membahas pemanfaatan pabrik aromatik itu. Dalam rapat terbatas, Rabu, 30 Oktober lalu, Jokowi bahkan menyatakan keinginannya menjadikan area kilang TPPI sebagai kawasan industri. “Kita tetapkan saja yang Tuban itu, TPPI itu, menjadi kawasan petrokimia.”

Jokowi optimistis produk dari kawasan itu bisa menggantikan komoditas yang selama ini masih dipenuhi dari impor. Bahkan ia menargetkan hidrogen—produk ekses kilang—bisa dimanfaatkan untuk pengembangan biodiesel B30 hingga B100. Saat ini, produk sampingan tersebut dimanfaatkan antara lain untuk bahan bakar pembangkit listrik internal pabrik.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan malah mengusulkan TPPI bisa menjadi badan usaha milik negara. “Tadi sudah diperintahkan, kami akan buat. Hal paling penting, orang yang menghambat proses pembangunannya akan diganti,” ujarnya, mewanti-wanti.

Sepekan berikutnya, rapat koordinasi digeber di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Menteri Airlangga Hartarto mengundang Sri Mulyani, Erick Thohir, Agus Gumiwang, juga Nicke Widyawati. Salah satu hal yang mereka bahas adalah peluang menjadikan TPPI perusahaan negara.

Di tengah masa pembahasan itulah sejumlah agenda di tingkat korporasi melesat. Pada Selasa, 5 November lalu, hari ketika rapat digelar di Kementerian Koordinator Perekonomian, Tuban Petro menggeber rapat umum pemegang saham luar biasa untuk menyetujui konversi surat utang menjadi penyertaan saham negara. Rapat yang sama pun memutuskan rencana penerbitan saham baru.

Tak berselang lama, pada pekan yang sama, pemegang saham Pertamina menyetujui revisi rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) 2019. Perubahan RKAP diteken Menteri Erick sebagai keputusan sirkuler—keputusan pemegang saham tanpa penyelenggaraan rapat umum pemegang saham (RUPS). Keputusan ini membuka pintu bagi Pertamina untuk menuntaskan transaksi pembelian saham baru Tuban Petro.

Menurut Heru Setiawan, RUPS Pertamina diadakan dalam konteks penyediaan anggaran. Sebab, bujet pembelian saham Tuban Petro sebenarnya tak masuk rencana kerja 2019. “Sebelumnya masuk ke 2020. Kami geser ke tahun ini.”

Menerima dana segar dari Pertamina, Tuban Petro pun bersiap menggenjot sejumlah rencana kerja perseroan. Menurut Direktur Utama Tuban Petro Sukriyanto, suntikan modal itu akan digunakan untuk mengembangkan bisnis anak perusahaan sekaligus sebagai dana talangan guna memperbaiki struktur modalnya.

Sukriyanto memaparkan, saat ini kapasitas produksi olefin di kilang Polytama telah ditingkatkan dari 249 ribu metrik ton menjadi 300 ribu metrik ton per tahun. Ke depan, perseroan akan membangun pabrik penghasil polipropilena kedua yang bakal melipatgandakan kapasitas produksi saat ini. Tuban Petro lewat TPPI juga berencana membangun kompleks olefin dan poliolefin di Tuban. Dengan pembangunan tersebut, TPPI akan menjadi kompleks petrokimia terintegrasi yang menghasilkan produk-produk aromatik dan olefin.

Mantan Direktur Utama Pertamina, Ari Sumarno, mewanti-wanti Pertamina agar tidak terfokus pada produksi bahan bakar minyak dalam mengoperasikan kilang TPPI nanti. Meski produksi BBM diperlukan untuk menekan impor minyak dan gas—pemicu defisit neraca perdagangan Indonesia—produk ini kurang ekonomis. “Kilang TPPI harus menghasilkan produk petrokimia yang harganya jauh lebih komersial,” tuturnya.

Karena itu, menurut Ari, perusahaan harus melanjutkan rencana pembangunan kilang olefin yang sempat terhenti. Kebutuhan dana untuk membangun pabrik ini memang sangat tinggi, yakni US$ 1,2-1,4 miliar. “Pertamina bisa menggandeng investor untuk itu,” ucapnya.

RETNO SULISTYOWATI 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus