Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deepti Kapoor, umur 40, sedang kesulitan membangun karirnya sebagai penulis. Novel perdananya berjudul A Bad Character diluncurkan pada tahun 2014 silam tapi hanya terjual kurang dari 2,000 buku. Kapoor pernah bekerja lepas untuk situs-situs ternama seperti HuffPost dengan menulis blog yang isinya; “Saya dulu tukang pesta, tetapi yoga menyelamatkan saya dari diri saya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa tahun kemudian dia menawarkan sebuah ide novel kriminal trilogi yang berlatar di Delhi berjudul Age of Vice yang akhirnya disebar oleh agennya ke beberapa penerbit yang bermarkas di New York dan beberapa produser di L.A.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang terjadi selanjutnya memantapkan anggapan “spend-to-win” - boros dalam pengeluaran untuk menggapai kemenangan - yang mendominasi industri hiburan saat ini. Hanya berselang beberapa minggu, tawaran datang dari 20 pihak yang mayoritas adalah studio film raksasa - seorang eksekutif bahkan menyebutnya sebagai sebuah situasi yang belum pernah terjadi.
FT
Amazon dan HBO tertarik untuk mengadaptasinya menjadi sebuah film seri, begitu juga dengan Media Res milik Michael Ellenberg; begitupun dengan FX Network milik Fox melalui kerjasama dengan studio yang bertanggung-jawab untuk Crazy Rich Asians, Color Force. Tawaran juga datang dari Warner Media bersama dengan produser David Heyman yang berada dibalik seri Harry Potter.
FX pada akhirnya memenangkan perang penawaran itu dengan nilai transaksi USD 2,000,000 untuk menjadikan karya-karya Kapoor film seri televisi. Sebagai perbandingan, sebuah buku yang menceritakan tiga warga kulit hitam yang bekerja di NASA berjudul Hidden Figures terjual dengan nilai kurang dari USD100,000 pada tahun 2014.
FT
Nilai fantastis Age of Vice adalah produk kelompok media yang terus mencari ide-ide kreatif yang dapat disajikan ke dalam sebuah konten streaming: Pekan lalu, bos Disney Bob Iger mengumumkan bahwa FX akan membuat program acara untuk Hulu, sebuah platform streaming yang dikuasai mayoritas oleh Disney.
Teknik mencaplok seperti ini sedang tren di Hollywood. Kerajaan media-media tradisional Amerika menghabiskan miliaran dolar untuk melawan balik perusahaan-perusahaan teknologi yang telah memakan pangsa bisnis mereka. Seiring revolusi model distribusi hiburan yang telah membumihanguskan industri mereka, pilihannya adalah untuk melawan balik industri streaming raksasa seperti Netflix daripada mati.
Efek langsung dari strategi ini terlihat jelas pada jumlah program televisi yang meroket. Ada sekitar 496 program yang dibuat di Amerika Serikat tahun lalu, nyaris dua kali lipat dibandingkan tahun 2010 yang memproduksi 216 acara televisi. Hal ini menunjukkan kenaikan 129 persen melebihi pertumbuhan penduduk Amerika Serikat yang hanya 6 persen pada kurun waktu yang sama.
“Ini bukan perburuan emas lagi - gold rush- tapi sudah selayaknya perlombaan senjata. Pada akhirnya kita tidak tahu apakah lahan yang digali mengandung emas,” sebut seorang eksekutif di grup media besar. “Akan ada pembantaian sesaat setelah musiknya berakhir. Mungkin butuh waktu tiga hingga lima tahun, tapi kita harus menuju titik dimana kita bisa berfikir logis kembali.”
Layanan TV streaming Netflix masuk Indonesia. Netflix.co.id
Beberapa tahun belakangan, Netflix menghabiskan miliaran dolar untuk menyokong kontennya sendiri guna membangun perpustakaannya yang independen. Hal tersebut dilakukan atas dasar asumsi bahwa grup media tradisional akan menjadi rival mereka dan bukan rekanan yang bersedia untuk melisensikan seri televisinya.
Namun, titik tersebut telah tiba. Dalam kurun waktu enam bulan, Disney, Apple, AT&T dan Comcast sama-sama memperkenalkan layanan streaming mereka yang ditawarkan secara gratis namun terbatas untuk USD 15 per bulan untuk konten-konten eksklusif.
Pemimpin Discovery Inc, David Zaslav mengatakan tujuan mereka adalah untuk menarik 150 juta pelanggan untuk berkompetisi dengan Netflix dan Amazon. Netflix sendiri memiliki 160 juta pelanggan berbayar yang tersebar di seluruh dunia.
“Ini adalah perebutan porsi kue yang sama,” kata Mr Zaslav. Perebutan sektor industri tayangan skrip ini “akan berakhir berantakan dan tidak jelas siapa yang pada akhirnya akan menghasilkan uang.”
Situasi ini menguntungkan bagi nama-nama besar di Hollywood seperti JJ Abrams, Shonda Rhimes, dan Ryan Murphy dengan perjanjian kerja yang menyentuh angka sembilan digit. Tapi keuntungan tersebut juga menurun ke talenta-talenta muda seperti Kapoor yang diperkirakan mendapat bayaran USD80,000 per episode.
Nyaris semua yang kami wawancara mengatakan bahwa pengeluaran jor-joran seperti ini tidak akan bertahan selamanya dan layanan streaming baru akan banyak yang tumbang. Tom Ara dari wakil ketua praktisi hukum DLA Piper memprediksi “booming” konten akan melunak seiring meredanya pertempuran antar layanan streaming.
Akan tetapi, dia menduga situasinya tidak akan pernah kembali lagi pada era layanan konvensional karena platform streaming telah begitu mendarah daging ke dalam ekspektasi kita akan tontonan dengan kualitas film layar lebar setiap waktu.
Kelompok media konvensional semakin tertekan layanan streaming setelah keberanian Netflix menuai hasil di Wall Street. “Waktu adalah esensi,” sebut seorang eksekutif, “Setiap kali anda tidak berpikir untuk berkompetisi dengan layanan streaming...anda akan dihukum oleh [wall street].”
Model pengeluaran habis-habisan seperti ini menurut para eksekutif berawal di tahun 2013 saat Netflix membeli film drama politik House of Cards dari HBO dengan harga yang fantastis. Hal ini membentuk strategi Netflix di tahun-tahun yang akan datang, yaitu dengan membelanjakan uang lebih banyak dibanding studio film tradisional untuk menarik perhatian skrip-skrip film brilian.
Berkat ini, banyak studio mengadopsi strategi yang sama dan mencetuskan kompetisi ketat dan melambungkan harga untuk sebuah konten. Kini, Netflix sering kalah tawaran, contohnya awal tahun ini saat WarnerMedia membeli hak siar untuk serial 90an Friends, sementara NBCUniversal mengamankan pembelian The Office yang otomatis mencabut dua konten Netflix paling populer untuk tahun 2020 dan 2021.
Menurut seorang eksekutif di Netflix, harga konten populer melonjak sepertiga dari satu tahun belakangan. Kepala Eksekutif Reed Hastings mengatakan pada para investor bahwa uang USD100 juta yang dibelanjakan Netflix untuk House of Cards saat ini bisa dikatakan sebuah transaksi yang setimpal.
Lebih lanjut, Hastings kerap mengatakan pada para koleganya bahwa “tidak ada waktu untuk menahan diri” dan bersikukuh “menyerang adalah pertahanan terbaik.” Tetapi banyak pelaku industri menganggap perusahaan berbasis teknologi ini sudah mencapai batasnya setelah gagal mencapai target pelanggan selama enam bulan berturut-turut.
“Berapa banyak lagi film mahal seperti The Irishman yang dapat mereka produksi lagi? Saat anda memproduksi film biasa seperti Triple Frontier untuk USD 125 juta… tidak ada pendana film konvensional yang akan menyanggupinya,” kata seorang kepala eksekutif perusahaan pendanaan industri film
Satu eksekutif senior Netflix mengatakan bahwa sentimen internal perusahaan lebih seperti; “Kita sudah mengumpulkan cukup banyak.. Tentu saja kita akan terus memberi penawaran kalau dirasa bagus, tapi intinya adalah kita dapat mengatasinya.”
Perang industri streaming memang mahal. Netflix sudah bersiap untuk membelanjakan USD 15 miliar untuk pembelian konten tahun ini dan memiliki hutang jangka panjang USD 12 miliar, dan lebih dari USD 20 miliar dalam bentuk komitmen program kedepannya dalam bentuk kewajiban diluar neraca.
Analis Wells Fargo mengatakan bahwa perusahaan tersebut menghasilkan nyaris USD 1 miliar konten untuk setiap dolar konsumen belanjakan untuk akun Netflix bulanan. Disney dan HBO menempel dekat Netflix dengan anggaran belanja kasar USD 11 miliar pada tahun 2019 saat mereka mengeluarkan seri-seri baru.
Rumor lingkaran orang dalam mengatakan bahwa Apple juga telah berkomitmen lebih dari USD 6 miliar untuk platform streaming mereka. Program mereka berjudul The Morning Show diputar perdana di Lincoln Center, New York, yang menampilkan Jennifer Aniston dan Reese Witherspoon.
Menurut beberapa narasumber kredibel, Apple membelanjakan sekitar USD 250 miliar untuk mengamankan dua musim drama talk show tersebut, dan mengalahkan tawaran Netflix.
Ini sama dengan membelanjakan USD 12 juta untuk setiap jam program tersebut tayang, USD 8 - USD 10 juta lebih tinggi dibandingkan Game of Thrones milik HBO. Angka fantastis tersebut adalah kenaikan enam kali lipat untuk Friends, yang juga diperankan Jennifer Aniston, dengan pengeluaran USD 2 juta per episode.
Harga untuk pengalaman bernostalgia juga mengalami kenaikan saat Netflix setuju untuk membeli hak siar global serial sitkom 90an Seinfeld seharga USD 500 juta dalam jangka waktu lima tahun. Hulu membeli hak siar sitkom tersebut di Amerika Serikat untuk USD 20 juta pada tahun 2015.
Kepala pemrograman HBO, Casey Bloys, mengatakan pada investor minggu lalu bahwa perusahaannya “sedang menghadapi inflasi harga berdasarkan kasus-per-kasus.” “Kompetisi semakin ketat, beberapa platform dan layanan mengeluarkan upaya berlebih yang menaikkan harga-harganya.
“Kita belum pernah melihat hal seperti ini semenjak masa keemasan studio-studio televisi pada akhir 1930-an,” kata produser dibalik The Morning Show, Michael Ellenberg dari Media Res. Dia tegas mengingatkan bahwa periode inovasi kilat seperti ini akan selalu menghasilkan pemenang dan mereka yang kalah.”
Kerugian ini terjadi meski Disney, Apple, dan AT&T menawarkan layanan mereka dengan harga murah yang mendorong expansi cepat seantero Amerika Serikat. Contohnya AT&T yang menggandakan jumlah konten mereka pada paket bonus langganan streaming HBO mereka yang ditawarkan seharga USD 15 sebulan.
Bahkan Apple memberi layanan streaming cuma-cuma untuk 200 juta pelanggan yang membeli perangkat elektroniknya setiap tahun. Sedangkan Disney mematok harga layanan mereka hanya USD 7 untuk satu bulan langganan, nominal tersebut nyaris setengah dari biaya langganan di Netflix, ditambah paket tak terbatas Verizon untuk pelanggannya.
Tawaran seperti ini memang berita baik bagi para konsumen tapi menjadi strategi finansial yang patut dipertanyakan bagi perusahaan-perusahaan yang melantai di bursa saham. “Kita sedang menyaksikan kecelakaan mobil mahal yang tak dapat dihindari, yang didanai oleh pasar modal Amerika Serikat,” kata Claire Enders dari Enders Analysis.
FT
Fondasi dari pertumbuhan kilat ini, atau “boom”, berdasar pada asumsi bahwa layanan streaming akan terus-terusan memakan pangsa pasar TV tradisional yang sepenuhnya beralih ke alternatif streaming maupun yang hanya menambah opsi dari layanan berlangganan mereka sebelumnya. Morgan Stanley memperkirakan dalam lima tahun, warga Amerika akan berlangganan 305 juta langganan layanan streaming. Angka tersebut tumbuh dari 180 juta saat ini.
Situasi ini membuat Disney mau tidak mau beradaptasi dengan yang lain. Quartal ketiga tahun ini saksi dari 1.7 juta warga A.S. yang meninggalkan langganan televisi tradisional mereka dari penyedia layanan seperti AT&T, Comcast, Charter dan Verizon.
Kelompok riset MoffettNathanson memprediksi layanan streaming Disney akan merugi selama lima tahun sebelum meraup untung hingga USD 23 miliar per tahun dari tahun 2024.
Daya tarik streaming memang selalu ada pada melimpahnya opsi yang ditawarkan pada harga lebih rendah. Akan tetapi, ledakan jumlah layanan amat mungkin merubah perhitungan pengeluaran seorang pelanggan.
“Konsumen akan menemukan diri mereka pada posisi sama yang mereka tidak inginkan sedari awal,” sebut Jason Cloth, penemu Creative Wealth Media, sebuah perusahaan yang ikut mendanai film sukses tahun ini, The Joker.
“Anda akan membayar harga yang sama, atau bahkan lebih untuk semua layanan streaming spesialti tersebut.”
Tetapi ada kemungkinan munculnya alternatif paralel seperti pada era 90an dengan banyaknya saluran televisi kabel dan konsolidasi yang terjadi setelahnya. Cloth menambahkan bahwa akan menarik apabila sebuah aggregator, seperti sebuah perusahaan TV kabel, membungkus ulang layanan streaming ini menjadi paket yang lebih terjangkau.
Menurut John Stankey, Eksekutif AT&T yang menjalankan WarnerMedia, permintaan akan mulai menurun tidak lama lagi. “Tiga tahun dari sekarang kita mungkin akan melihat moderasi dari waktu kerja produksinya,” katanya kepada para investor setelah menawarkan layanan streaming WarnerMedia di lokasi historis studio Warner Bros dimana film Casablanca diproduksi.
Sedikit yang mau memprediksi situasi ini dari kacamata positif, tapi perhitungannya sepertinya tidak akan tanggung-tanggung. Beberapa perusahaan besar diprediksi gagal atau setidaknya mundur, sedangkan studio berukuran lebih kecil atau menengah akan membatasi peran mereka sebagai penyedia kepada platform-platform dominan. Discovery bersama kelompok-kelompok lain menaruh harapan pada segmen kecil yang terdiri dari program memasak hingga acara-acara olahraga.
Konsolidasi menjadi pembicaraan utama antar anggota-anggota eksekutif di Hollywood. Hal ini terlihat dari perusahaan streaming dan teknologi ternama seperti Apple yang membeli grup media dan studio film yang kurang dapat berkompetisi.
“Hanya akan ada lima atau empat yang tersisa saat debu tersebut mulai pudar,” kata seorang eksekutif.
Netflix sangat mungkin menjadi korban pertama dengan harga sahamnya yang “semakin sulit untuk diperjuangkan,” kata analis Michael Nathanson. Dia juga mempertanyakan apakah penyedia streaming tersebut dapat mencapai target pelanggan A.S. mereka. MoffettNathanson mengestimasi valuasi Netflix akan mencapai level “kurang dari USD 200 per saham” - penurunan drastis dari USD 290 per saham saat ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang akan merugi paling parah. “Apa yang akan terjadi apabila mereka tidak dapat bertahan lagi?” kata seorang kepala eksekutif studio film independen. “Tiba-tiba anda akan dihadapi dengan mesin besar yang tidak mampu membiayai dirinya yang terlalu berat. Saya kira industri ini masih takut untuk menghadapi kenyataan.”
Copyright The Financial Times Limited 2019
© 2019 The Financial Times Ltd. All rights reserved. Please do not copy and paste FT articles and redistribute by email or post to the web.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo