Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Penyelidikan Kejaksaan Agung mengungkap dugaan kolusi antara Pertamina dan broker, termasuk pengoplosan BBM impor jenis Pertalite serta Pertamax.
SKK Migas mengatakan biasanya BBM yang diimpor adalah RON 92 dan dijual tetap sebagai RON 92.
Ahli perminyakan menilai cara terbaik mendapatkan BBM ber-RON tinggi adalah melalui produksi langsung, tapi kapasitas kilang di Indonesia masih terbatas dalam mengolah minyak mentah domestik.
SETELAH Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi tata kelola minyak mentah, mekanisme penyediaan komoditas ini menjadi sorotan. Pasalnya, penyidik menemukan beberapa pemufakatan jahat antara subholding PT Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang merugikan negara setidaknya Rp 193,7 triliun.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 18 Tahun 2021, Pertamina wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah Indonesia. Aturan tersebut juga mengharuskan Pertamina mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Sebaliknya, KKKS diwajibkan menawarkan produksi minyak mentahnya ke PT Pertamina sebelum diekspor. Jika dalam penawaran itu Pertamina menolak tawaran KKKS, kontraktor baru bisa mendapatkan persetujuan ekspor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun hasil penyelidikan Kejaksaan Agung menemukan adanya kongkalikong antara pejabat subholding Pertamina dan para broker. Diduga tiga direktur subholding PT Pertamina sengaja mengkondisikan dalam rapat optimasi hilir untuk menurunkan produksi kilang sehingga tidak bisa menyerap minyak bumi dalam negeri. Pertamina pun menolak menyerap minyak mentah dari KKKS. Mereka beralasan harga minyak mentah domestik tidak ekonomis dan kualitasnya tak sesuai dengan kapasitas kilang. Akibatnya, KKKS mengekspor produksi minyak mentahnya.
Ini menjadi alasan PT Kilang Pertamina Indonesia mengimpor minyak mentah. Itu pula yang menjadi alasan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor bahan bakar minyak (BBM)—yang dari sisi harga lebih mahal ketimbang Pertamina mengolah minyak mentah sendiri.
"Dampak adanya impor yang mendominasi pemenuhan kebutuhan minyak mentah adalah harganya menjadi melangit," ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin, 24 Februari 2025. Kasus ini disebut sudah berlangsung sejak 2018 hingga 2023.
Menurut Kejaksaan Agung, subholding Pertamina sengaja menolak produk minyak mentah dalam negeri agar KKKS mendapat persetujuan ekspor. Qohar menyebutkan Pertamina berdalih spesifikasi minyak mentah dari KKKS tidak sesuai dengan kilang. Padahal sebenarnya sudah memenuhi standar dan bisa diolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan skenario itu, KKKS meraup keuntungan besar melalui ekspor, sedangkan Pertamina justru menanggung biaya lebih tinggi akibat memilih impor. Akibatnya, harga dasar yang menjadi acuan penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM meningkat, yang berujung pada membengkaknya anggaran subsidi atau kompensasi BBM.
Penyidik mencatat kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri mencapai sekitar Rp 35 triliun, sedangkan impor minyak mentah melalui broker sebesar Rp 2,7 triliun. Selain itu, impor BBM melalui broker mengakibatkan kerugian sekitar Rp 9 triliun. Pada 2023, kerugian akibat pemberian kompensasi BBM mencapai Rp 126 triliun, sedangkan subsidi BBM menyumbang kerugian sekitar Rp 21 triliun.
Tak hanya itu, Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa Direktur Pertamina Patra Niaga juga diduga memanipulasi pengadaan impor tersebut. Direktur Utama Patra Niaga Riva Siahaan diduga mengadakan produk kilang dengan membeli BBM dengan kandungan oktan 92 atau RON 92 (Pertamax), padahal yang sebenarnya dibeli adalah RON 90 (Pertalite).
Hasil penyelidikan Kejaksaan Agung juga menunjukkan adanya pencampuran (blending) BBM di pasar. “Fakta yang ada dari transaksi, RON 88 di-blending dengan (RON) 92 dan dipasarkan seharga (RON) 92,” kata Qohar.
Pertamina menepis hasil penyelidikan tersebut. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari menyatakan tidak ada pengoplosan BBM Pertamax. Menurut dia, yang dilakukan di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat. Selain itu, ada injeksi zat aditif yang berfungsi meningkatkan performa produk Pertamax.
“Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing,” katanya dalam keterangan resmi, Selasa, 25 Februari 2025. “Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah.”
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menilai hasil penyelidikan Kejaksaan Agung perlu ditelaah kembali. Kepala SKK Migas Djoko Siswanto berpandangan impor BBM RON 90 atau Pertalite bisa saja diproses menjadi RON yang lebih tinggi. “Kalau mau meningkatkan lagi, biasanya ditambah aditif yang dapat meningkatkan kualitas RON itu,” ujarnya saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025.
Namun Djoko mengatakan biasanya BBM yang diimpor adalah RON 92 dan dijual tetap sebagai RON 92. Ia juga menekankan bahwa minyak mentah yang dihasilkan dalam negeri pun bisa diolah menjadi BBM dengan RON tinggi, bahkan hingga RON 98.
Sejumlah negara tetangga sudah tidak menjual lagi bensin dengan RON 90 seperti Pertalite. Singapura dan Vietnam hanya menjual bensin dengan RON 92 ke atas, bahkan Malaysia hanya menjual RON 95 dan RON 97. Karena itu, saat mengimpor BBM, Indonesia tidak akan mendapatkan bensin RON 90, apalagi 88.
Ihwal skenario kongkalikong antara Pertamina Subholding dan KKKS, Djoko menjelaskan bahwa Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 memang mengizinkan negosiasi harga minyak mentah antara pemerintah dan pihak terkait. Namun, regulasi terbaru, Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2021, mewajibkan lelang serta memprioritaskan minyak dalam negeri untuk diolah di kilang Pertamina. Dengan demikian, minyak mentah dari KKKS tetap wajib ditawarkan ke kilang Pertamina lebih dulu sebelum bisa dijual ke pihak lain.
Truk pengangkut mengisi BBM di Integrated Terminal Palembang PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel di Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan. ANTARA/Nova Wahyudi
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, sependapat bahwa menaikkan RON dari 88 ke 92 bisa dilakukan dengan menambahkan aditif seperti nafta. Minyak mentah dalam negeri pun dapat diolah menjadi BBM dengan RON tinggi hingga RON 98 melalui proses blending tersebut.
Yayan mengimbuhkan, blending BBM dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu fuel liquid blending dan fuel solid blending. Untuk fuel liquid blending, misalnya pada biodiesel atau etanol, ada batasan tertentu dalam pencampuran. Etanol dapat dicampurkan hingga 60-70 persen, sedangkan biodiesel maksimal sekitar 25 persen.
Namun ia menekankan bahwa penggunaan aditif dalam jangka panjang tidak ideal karena dapat merusak mesin dan menurunkan kualitas bahan bakar. “Penambahan aditif itu hanya untuk sesekali, karena kalau keseringan, bahan bakar itu menjadi tidak bagus,” tutur Yayan kepada Tempo, Kamis, 27 Februari 2025.
Karena itu, menurut dia, cara terbaik mendapatkan BBM dengan RON tinggi bukan dengan terus-menerus menambahkan RON Booster, melainkan melalui proses produksi langsung di kilang minyak atau distilasi. Hanya, kilang di Indonesia masih belum sepenuhnya mampu mengolah minyak mentah dalam negeri. Musababnya, kilang di Indonesia lebih banyak dirancang untuk minyak dari Timur Tengah, yang memiliki kadar sulfur lebih tinggi. Sedangkan minyak mentah Indonesia termasuk kategori light sweet crude dengan kadar sulfur rendah dan harga lebih mahal.
Yayan menuturkan strategi yang diterapkan pemerintah sejak era 1980-an memang mengekspor minyak domestik dengan harga lebih tinggi dan mengimpor minyak Timur Tengah yang lebih murah untuk diolah di dalam negeri. Saat ini, kapasitas kilang dalam negeri hanya mampu mengolah 40-50 persen minyak domestik, sedangkan sisanya harus dipenuhi dari impor.
Meskipun ada kilang yang fleksibel dalam mengolah minyak dengan kadar sulfur berbeda, kata dia, keterbatasan kapasitas ini tetap menjadi tantangan utama. Dengan adanya proyek pengembangan kilang (Refinery Development Master Plan), kapasitas kilang diharapkan meningkat hingga 30-40 persen dalam beberapa tahun ke depan, yang berpotensi mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak mentah dan menekan biaya pengolahan BBM di dalam negeri.
Depot Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina di Kendari, Kendari, Sulawesi Tenggara, 26 Januari 2025. ANTARA/Andry Denisah
Managing Director Energy Shift Putra Adhiguna berpandangan kilang memainkan peran kunci dalam menentukan apakah minyak mentah dalam negeri dapat diserap atau harus mengandalkan impor. “Tapi selama masih ada produksi minyak dalam negeri dengan spesifikasi yang tepat, harus diutamakan untuk kilang dalam negeri,” tuturnya kepada Tempo, Kamis, 27 Februari 2025.
Putra tak menampik bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak mentah cukup besar, terutama karena produksi dalam negeri terus menurun selama dua dekade terakhir. Ditambah subsidi BBM menyebabkan Indonesia dan berbagai industri kurang efisien dalam penggunaan energi karena harga yang lebih murah tidak mendorong penghematan. Di sisi lain, pembangunan kilang baru berjalan sangat lambat, sedangkan permintaan BBM terus meningkat.
Putra memperkirakan stok BBM dalam negeri hanya mampu bertahan sekitar 20 hari, dengan asumsi kombinasi produksi dalam negeri dan impor tetap berjalan. Jika impor dihentikan, stok BBM diperkirakan tetap berada pada kisaran yang sama karena kilang tidak dapat secara instan mengolah minyak mentah dalam negeri yang mungkin tak sesuai dengan spesifikasi. Selain itu, kapasitas penyimpanan BBM di Indonesia masih terbatas sehingga sulit menambah cadangan dalam jumlah besar.
Untuk memastikan tata kelola dan pengadaan BBM lebih transparan serta akuntabel, Putra berharap dilakukan audit eksternal secara berkala dan pengawasan yang kuat oleh lembaga independen. “Penting juga menjaga kepercayaan publik dan memberantas kasus terkait dengan BBM, utamanya ketika pemerintah berharap rakyat memaklumi pengetatan subsidi BBM serta elpiji,” tuturnya.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan akan menghargai proses hukum yang berlaku dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah. “Kami harus menghargai dan menyerahkan semuanya kepada teman-teman aparat penegak hukum, juga menghargai praduga tak bersalah,” katanya saat ditemui di kantornya, Jakarta, pada Rabu, 26 Februari 2025.
Untuk mencegah kejadian serupa di masa depan, Ketua Umum Partai Golkar itu menyatakan pemerintah tidak lagi mengizinkan ekspor minyak mentah berkualitas tinggi secara langsung, melainkan mewajibkan blending dengan minyak berkualitas lebih rendah agar dapat diolah di kilang dalam negeri. Tujuannya memastikan semua minyak mentah bisa memenuhi spesifikasi yang sesuai untuk diolah di Indonesia demi meningkatkan ketahanan energi.
Mengingat kapasitas cadangan minyak nasional hanya cukup untuk 21 hari, Bahlil berujar pemerintah akan berupaya menambahnya hingga 30 hari. Bahlil juga mendorong pembangunan kilang minyak mengolah minyak mentah sendiri sehingga dapat meningkatkan cadangan energi dan mengurangi ketergantungan pada impor. ●
Jihan Ristiyanti dan Vindry Florentin berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo