Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tidak termasuk kriteria brady

Menkeu AS, nicholas brady, meminta bank-bank komersial menghapus sebagian utang negara-negara berkembang. Indonesia termasuk pengutang teladan. AS tetap memberikan bantuan pada Indonesia lewat IGGI.

24 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERMINTAAN Presiden Soeharto pada beberapa negarawan terkemuka dan tokoh-tokoh lembaga keuangan internasional, untuk ikut memikirkan masalah utang Indonesia. tampaknya mulai bergema. Bank Dunia maupun IMF, dalam sidang IGGI di Belanda pekan silam, telah mengakui bahwa melemahnya mata uang dolar sejak 1985 telah menimbulkan dampak negatif pada utang Pemerintah RI. Sewaktu berkunjung ke AS awal bulan ini, Presiden Soeharto juga telah mengajak Presiden AS George Bush, untuk memikirkan masalah beban utang yang bisa menghambat pembangunan Indonesia. Seperti dikatakan Mensesneg Moerdiono, Presiden Bush telah secara spontan menyatakan kesediaanya untuk itu. Hanya belum jelas, bagaimana kelak bentuk bantuan yang akan diberikan AS. Apakah AS, misalnya, bersedia memangkas utang pokok Pemerintah RI, seirama dengan apa yang dicanangkan Menteri Keuangan AS Nicholas Brady awal Maret lalu? Seperti diketahui, Brady telah meminta bank-bank komersial agar menghapus sebagian kredit mereka pada sejumlah negara berkembang, yang sudah parah keadaan ekonominya. Dalam kaitan ini, ada 4 kriteria keparahan yang digariskan oleh Brady. Pertama, negara yang berutang itu tak mempunyai pertumbuhan ekonomi atau bahkan minus pertumbuhan. Kedua, struktur perekonomian negara itu harus dirombak secara drastis, untuk memungkinkan adanya pertumbuhan. Ketiga, negara itu masih membutuhkan dukungan dana dari luar. Keempat, untuk memecahkan masalah yang dihadapi, perlu pendekatan secara kasus per kasus. Konon, menurut Brady, ada 39 negara yang memenuhi kriteria tadi. Kendati Indonesia menduduki peringkat ke-4 dalam jenjang negara-negara pengutang terbesar namanya sama sekali tak dimasukkan kedalam kelompok itu. Mengapa? Menurut seorang pengamat ekonomi Indonesia dari kalangan diplomat, mestinya Indonesia tak perlu mengharapkan untuk dimasukkan ke kelompok itu. Alasannya: Indonesia tak memenuhi 4 kriteria tadi. "Indonesia sudah menjadi negara pengutang teladan. Kalau negara-negara berkembang mengikuti cara Indonesia, mestinya krisis utang internasional tak ada lagi. Jadi, jangan terbalik," kata sumber tadi. Program Menteri Keuangan AS itu, katanya, terutama ditujukan kepada negara negara yang sama sekali sudah tak mampu membayar utangnya. Nilai surat-surat utang (bonds) mereka di pasar sekunder umumnya sudah jatuh sampai 50% di bawah pari. "Pemerintah Indonesia juga telah menjual bonds, antara lain di bursa Tokyo. Tapi nilainya di pasar sekunder tetap 100%, sebab kupon-kupon bunganya dibayar teratur," tuturnya pula. Pemerintah Indonesia memang telah bertekad memenuhi segala kewajiban luar negerinya. Pembayaran utang luar negeri adalah prioritas pertama dan mutlak. Buktinya, seperti kata Frans Seda, pada tahun 1983, ketika harga minyak jatuh dan penerimaan pemerintah berkurang, sejumlah proyek bernilai Rp 20 milyar telah dipetieskan. Gaji pegawai negeri pun sempat tiga tahun berturut-turut dibekukan. Namun, pemerintah bukan tidak menyadari bahwa keadaan seperti itu lama-lama bisa menimbulkan krisis. "Apakah kita harus menunggu pertumbuhan ekonomi jadi negatif seperti negara-negara Amerika Latin, baru minta bantuan? Kan tidak," kata seorang konsultan pemerintah. Itulah sebabnya, pemerintah lalu melakukan pendekatan-pendekatan. Mulai dari misi Prof. Widjojo ke Jepang awal tahun silam, sampai lobi Kepala Negara dengan Presiden Bush. Menurut pakar ekonomi Dr. Pande Raja Silalahi. Pemerintah AS sebenarnya bisa mlembantu meringankan utang Indonesia, dengan memberikan fasilitas. swap (jaminan terhadap apresiasi valuta asing). Artinya, utang-utang yang dibuat pemerintah (dari berbagai jenis mata uang), akan dibayar kembali dalam dolar, menurut kurs yang berlaku sewaktu utang itu dicairkan. Dengan demikian, pemerintah bisa merencanakan anggaran secara lebih stabil. Untuk swap, yang diperlukan adalah biaya premi, yang dibayarkan kepada pihak yang menanggung risiko perubahan kurs. Tapi sejauh ini, kepada Indonesia kabarnya masih akan memberikan bantuan secara tradisional melalui jalur antara lain dalam bentuk pinjaman bantuan khusus (special assistance loan). Tanggal 6 Juni lalu, misalnya, 3 hari sebelum Presiden Soeharto menemui George Bush, pemerintah AS telah memberikan pinjaman hantuan khusus sebesar US$ 350 juta untuk Indonesia, lewat Bank Dunia. Dengan demikian, jumlah seluruh pinjaman AS untuk Indonesia pada tahun 1988-89 mencapai US$ 6,9 milyar.Laporan Yudhi Soerioatmodjo dan Sidartha Pratidina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum