Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERLAKUAN khusus terhadap Batam sudah dimulai lebih dari tiga dekade silam. Namun kebijakan yang berubah-ubah membuat pulau di Provinsi Kepulauan Riau itu bak siput ketinggalan kereta. Jauh tertinggal dari Shenzhen (Cina), Dubai (Uni Emirat Arab), dan Chennai (India), yang lebih belakangan divermak menjadi zona khusus ekonomi. Bentuknya beragam: mulai dari kawasan ekonomi khusus hingga zona perdagangan bebas. Bedanya, zona perdagangan bebas hanya diterapkan di dekat bandara atau pelabuhan, demi mendukung ekspor.
SHENZHEN
MEMBANDINGKAN Shenzhen dulu dan sekarang ibarat langit dan bumi. Dua puluh delapan tahun silam, daerah ini hanyalah desa nelayan berpenduduk tak lebih dari 2.000 jiwa. Pendapatan per kapitanya hanya 606 yuan atau US$ 79,8 (sekitar Rp 718 ribu).
Tapi sejarah berbelok setelah Deng Xiaoping membuka gerbang ekonomi Cina. Pemimpin besar Cina itu menjadikan Shenzhen sebagai proyek pertama pembangunan kawasan ekonomi khusus atau special economic zone (SEZ). Deng, saat itu usianya 74 tahun, melontarkan idenya mengadopsi dosis kapitalisme Barat sebagai ”sosialisme dengan karakteristik Cina”.
Dari enam distrik di Shenzhen, Deng membuka liberalisasi ekonomi di empat distrik, yakni Louhu, Futian, Nanshan, dan Yantian. Adapun dua distrik lainnya, Bao’an dan Longgang, tidak dijadikan kawasan ekonomi khusus. Pada dekade 1990, pelabuhan Futian dan Yantian dijadikan kawasan perdagangan bebas.
Ramuan Deng terbukti mujarab. Investasi asing langsung membanjiri wilayah di Provinsi Guangdong itu. Dalam kurun 1979-1997, investor dari 63 negara membiakkan duitnya di sana senilai US$ 14,7 miliar di lebih dari 20 ribu proyek, dengan nilai kontrak hampir US$ 25 miliar (sekitar Rp 232,5 triliun). Lebih dari 10 ribu perusahaan asing membuka lahan bisnis di kota itu. Sekitar 70 persennya datang dari perusahaan berbasis di Hong Kong—partner terbesarnya dalam perdagangan internasional.
Desa seluas 2.020 kilometer persegi itu pun menjelma menjadi hutan beton pencakar langit. Populasinya melejit menjadi 8 juta penduduk. Pendapatan penduduknya setahun rata-rata US$ 3.000 (hampir tiga kali Indonesia), tertinggi di seluruh kawasan Cina.
Produk domestik brutonya tahun lalu menembus US$ 74,8 miliar (Rp 673 triliun) atau naik rata-rata 17 persen tiap tahun. Yantian pun menjadi pelabuhan nomor empat terbesar di dunia. Ekspor-impornya dua tahun lalu mencapai US$ 182,9 miliar. Kota yang terletak di mulut Sungai Mutiara ini pun menjadi kota terkaya di Cina.
Semua pencapaian itu tak lepas dari berbagai insentif yang ditawarkan untuk menggaet investor asing. Di antaranya, penurunan pajak penghasilan perusahaan dari 33 persen menjadi 15 persen, bebas pajak (tax holiday) 2-3 tahun untuk usaha tertentu, serta bebas bea masuk dan pajak perdagangan untuk usaha tertentu.
DUBAI
SUKSES Cina membuka mata Uni Emirat Arab. Tidak tanggung-tanggung, negara petrodolar ini langsung menerapkan beberapa zona di Dubai sebagai kawasan perdagangan bebas. Di antaranya Jebel Ali Free Zone, Dubai Internet City, Dubai Media City, Dubai International Financial Centre, dan Dubai Airport Free Zone Authority.
Dari berbagai zona itu, Jebel Ali yang paling kinclong. Diberlakukan sejak Februari 1985, zona seluas 100 kilometer persegi ini merupakan kawasan perdagangan bebas pertama dan terbesar di Dubai, dengan investasi saat itu US$ 2,5 miliar.
Jebel Ali juga menawarkan berbagai insentif sebagai pemanis investasi. Investor asing boleh memiliki 100 persen saham perusahaan, bebas bea masuk dan pungutan ekspor, bisa mengembalikan 100 persen modal dan laba ke negara asal, serta tidak ada pajak perseorangan dan pajak perusahaan selama 15 tahun dan bila habis masa berlakunya dapat diperpanjang 15 tahun lagi. ”Semua paket itu dibungkus dengan fasilitas infrastruktur kelas dunia,” kata Muchtar, bekas Konsulat Jenderal Kedutaan Besar RI di Dubai.
Hasilnya, hanya dalam satu dekade, Jebel Ali sukses menyedot 1.000 perusahaan asing. Jumlah itu terus membengkak. Tujuh tahun lalu, lebih dari 2.000 perusahaan dari 97 negara membuka kantor di Jebel Ali. Sebut saja Adidas, Acer, Bose, BP, Daewoo, Ericsson, Nestle, dan Samsung.
Gemuknya aliran dana asing ini menyebabkan produk domestik bruto Dubai menembus US$ 46 miliar (Rp 414 triliun). Mohamed Ali Alabbar, Direktur Jenderal Departemen Pengembangan Ekonomi UEA, mengatakan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi Dubai yang menembus 10 persen dalam satu dekade terakhir merupakan pertumbuhan tertinggi di dunia.
Yang menarik, kontribusi minyak dan gas alam bagi PDB Dubai kurang dari 3 persen. Sebagian besar kue ekonomi kota itu justru berasal dari transaksi perdagangan di kawasan Jebel Ali.
CHENNAI
TEROBOSAN juga dilakukan India. Ketika yang lain masih terlelap, India menjadi negara Asia pertama yang menerapkan kawasan penanganan ekspor (export processing zone atau EPZ). Konsep ini digulirkan di Kandla, wilayah di pesisir barat India, pada 1965.
Namun minimnya infrastruktur yang memadai, kebijakan fiskal yang tidak stabil karena pergantian rezim, dan kebutuhan yang lebih besar akan aliran modal asing, membuat India berubah haluan. Pada April 2000, negara itu mulai membidik pola kawasan ekonomi khusus.
Mengadopsi model Cina, India juga menawarkan berbagai insentif, antara lain bebas bea masuk, bebas pajak pendapatan dari hasil ekspor selama lima tahun pertama—dan cuma dikenakan 50 persen untuk lima tahun berikutnya— bebas pajak penjualan, bebas pajak jasa, pelayanan satu atap, dan kemudahan mendapat pinjaman hingga US$ 500 juta tanpa persyaratan yang ketat.
Sejauh ini 234 zona sudah disetujui menjadi kawasan ekonomi khusus. Di luar angka itu, 63 wilayah sudah menerapkan konsep tersebut. Pemberlakuan kawasan ekonomi khusus di 63 wilayah tadi diprediksi akan mendatangkan investasi US$ 13,2 miliar pada 2009. Bila digabung dengan 234 zona, investasi yang mengalir ditaksir membengkak jadi US$ 87 miliar.
Chennai, ibu kota Negara Bagian Tamil Nadu, termasuk yang menerapkan konsep itu. Kota yang semula bernama Madras itu kini menjadi pusat industri mobil, peranti lunak, perangkat keras, dan jasa keuangan. Hampir 50 persen industri komponen otomotif dan 34 persen industri kendaraan di India bersumber dari kota ini. Pencapaian ini berkat hadirnya perusahaan otomotif dunia seperti Hyundai, Ford, BMW, dan Mitsubishi.
Chennai makin berkibar karena ekspor teknologi informasinya nomor dua di seluruh India. Sederet perusahaan peranti lunak papan atas seperti Symantec, HP, IBM, dan Sun Microsystems bercokol di kota ini. Kini Chennai tengah membangun Mahindra World City, salah satu taman teknologi informasi terbesar di dunia.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo