Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG rapat kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla memanas, Kamis dua pekan lalu. Yang menjadi penyulut adalah pembahasan rancangan peraturan pemerintah tentang penetapan Batam, Bintan, dan Karimun sebagai kawasan perdagangan bebas.
Dua kubu pendapat ngotot bertahan pada argumen masing-masing. Para menteri tim ekonomi kabinet berkukuh, begitu juga pejabat daerah Provinsi Kepulauan Riau, yang disokong Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal, M. Lutfie.
Pemerintah daerah yang diwakili Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah meminta agar semua pulau, yakni Batam, Bintan, dan Karimun, dijadikan kawasan perdagangan bebas. Namun Tim Nasional Kawasan Ekonomi Khusus di bawah komando Menteri Koordinator Perekonomian Boediono berpendapat sebaliknya: kawasan perdagangan bebas berlaku terbatas di tiga pulau itu.
Kalla sebagai pemimpin rapat akhirnya memilih jalan tengah. Batam jadi kawasan perdagangan bebas menyeluruh, sedangkan Bintan dan Karimun menjadi kawasan bebas terbatas (enclave). Tim Nasional pun akhirnya setuju. Meskipun demikian, kata sumber Tempo, Boediono menunjukkan ”perlawanan” dengan meminta keberatannya dicatat secara resmi.
Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini khawatir, perlakuan khusus terhadap Batam akan dirasa tidak adil oleh daerah lain, dan ada potensi kehilangan penerimaan pajak yang besar. Sedangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memilih ”pasrah”. ”Terserah Bapak saja,” katanya kepada Kalla, seperti ditirukan salah seorang peserta rapat.
Rapat akhirnya ditutup. Boediono pun tak seperti biasanya, langsung ”menghilang”. Ketika ditanyakan soal ini, menteri senior itu tampaknya tak mau berpolemik. ”No comment, ya, tanya yang lain saja,” katanya kepada Anton Apriantono dari Tempo, Jumat pekan lalu. Tapi, yang jelas, kejadian itu semakin menguatkan anggapan adanya perbedaan cara pandang yang cukup tajam di antara kedua petinggi negara ini dalam berbagai kebijakan ekonomi.
PENETAPAN Batam sebagai kawasan perdagangan bebas alias free trade zone membuat daerah di beranda Singapura ini kembali menjadi buah bibir. Dulu, kepulauan ini memang surga investor dan tukang belanja. Sebab, sejak 1978, pemerintah menetapkan seluruh daratan Batam sebagai kawasan berikat yang bebas bea masuk dan pajak. Hasilnya, investor datang membanjir dan toko elektronik menjamur. Harganya pun supermurah: bisa 40 persen lebih rendah ketimbang di Jakarta.
Belakangan, pada masa reformasi setelah kekuasaan Soeharto runtuh, Batam berubah. Euforia otonomi daerah mendorong pemerintah kota membuat banyak pungutan, mulai dari parkir hingga pajak penerangan jalan. Dengan alasan keadilan, pemerintah Megawati Soekarnoputri pada 2003—saat itu Menteri Keuangan adalah Boediono—mencabut putusan bebas pajak dan bea masuk bagi empat jenis produk, yakni rokok, minuman beralkohol, kendaraan bermotor, dan produk elektronik.
Setelah itu pamor Batam terus meredup. Sejumlah investor kemudian hengkang. Toko-toko elektronik, seperti di pusat belanja Nagoya, mulai tutup karena harga barangnya tak lebih murah daripada daerah lain. Toko Batam Elektronik yang terkenal di Nagoya pun ganti kulit menjadi money changer. ”Batam ibarat wilayah kalah perang yang ditinggal serdadunya,” ujar Ketua Komisi Industri dan Perdagangan DPR, Didik J. Rachbini, pekan lalu.
Kini, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, niat memoles wajah Batam kembali muncul. Pertimbangannya, pola kawasan ekonomi khusus terbukti mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi. Pemerintah terinspirasi kesuksesan Cina, India, dan Vietnam dalam mendongkrak pertumbuhan ekonominya hingga 8-10 persen.
Namun tentu tak mudah membangun sebuah kawasan ekonomi khusus. Karena itu, sebagai langkah awal, Batam, yang sesungguhnya sudah dikembangkan sebagai kawasan industri sejak 1970-an, dijadikan pilihan utama. Wilayah ini dinilai paling siap karena industri sudah banyak berdiri, infrastruktur tersedia, dan posisinya strategis. ”Ada permintaan investor untuk masuk Batam,” kata Lutfie pekan lalu. ”Masalahnya, mereka menunggu kepastian hukum.”
Untuk memastikan pola apa yang bisa diterapkan, Lutfie sudah 14 kali mondar-mandir Jakarta-Batam selama setahun ini. Dari kajian dan pengamatan lapangan, semula pemerintah ingin menjadikan Batam sebagai kawasan ekonomi khusus. Namun pola ini dibatalkan karena acuan undang-undangnya belum ada. UU Penanaman Modal baru disahkan bulan lalu.
Pilihan kemudian beralih ke konsep kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, seperti diatur dalam UU Nomor 36/2000. Untuk mempercepat, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2007 pada 4 Juni lalu. Perpu ini tengah menunggu persetujuan DPR. Berdasarkan aturan baru ini, penetapan kawasan perdagangan bebas tak perlu lagi dipayungi undang-undang, cukup dengan peraturan pemerintah. ”Proses ini lebih cepat,” kata Lutfie.
Masalahnya, pilihan ini pun belum tentu mulus. Sinyal beragam sudah muncul dari DPR. Didik Rachbini dari Fraksi Partai Amanat Nasional termasuk yang memberikan lampu hijau bahwa peraturan baru itu bakal lancar ketika diajukan ke DPR. ”Tinggal dilihat tujuannya. Kalau melihat substansinya, perpu ini memang penting,” kata Didik.
Namun penolakan datang dari anggota Fraksi PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. ”Perpu tidak demokratis,” kata Hasto pekan lalu. Alasannya, perpu sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Berbeda dengan RUU yang digodok bersama DPR sejak awal.
Sumber Tempo di pemerintah juga khawatir, penetapan kawasan perdagangan bebas yang hanya dilandasi peraturan pemerintah dapat menimbulkan kerawanan. ”Ini ibarat memberikan blangko kosong kepada pemerintah.” Padahal bukan tidak mungkin ada banyak kepentingan di dalamnya. ”Lagi pula, perpu biasanya dikeluarkan untuk hal-hal darurat.”
Pemerintah tampaknya menilai situasi yang dihadapi Batam sudah terbilang gawat. Selain masih diliputi ketidakpastian hukum, Batam sudah dikepung oleh zona ekonomi khusus di sejumlah negara yang menawarkan berbagai insentif. Filipina, Vietnam, Thailand, dan Malaysia, semuanya memiliki zona khusus penarik investor. ”Bila tak cepat, kita diterkam Malaysia,” kata Lutfie.
Mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia ini juga mengatakan, jika pemerintah tak cepat, sejumlah investor yang berniat menanam duit di Batam akan beralih ke Johor, Malaysia, yang letaknya juga berseberangan dengan Singapura.
Untuk soal yang satu ini, Malaysia memang tidak main-main. Kesultanan Johor—dengan dukungan Singapura—sedang menyiapkan megaproyek zona pemikat investasi dengan luas dua kali lipat wilayah Hong Kong. Dana yang dialokasikan lebih dari Rp 10,5 triliun untuk membangun infrastruktur hingga 2010. Di antaranya, dua jembatan penghubung Singapura dan Johor Selatan, dua bandara, dan empat pelabuhan di mulut Selat Malaka. Targetnya, mereka bisa menggaet investasi Rp 130 triliun dalam lima tahun ke depan.
Pemerintah Kota Batam cukup sadar melihat ancaman Johor. Itu sebabnya, secara bertahap mereka pun membentuk tempat layanan perizinan terpadu di Sumatera Promotion Center. Di sini, semua izin bisnis bisa diurus, mulai dari membuka usaha, tinggal terbatas, tenaga kerja asing, hingga fasilitas bea masuk.
Meski begitu, sejumlah kalangan, khususnya dari Departemen Keuangan, tetap tak sepakat jika Batam dijadikan kawasan perdagangan bebas secara menyeluruh. Sebab, kebijakan itu akan membuat semua barang yang diperjualbelikan di Batam tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), sehingga jauh lebih murah dibandingkan di daerah lain. ”Itu bukan saja bikin iri daerah lain,” kata seorang pejabat di Departemen Keuangan, ”melainkan juga mengakibatkan pemerintah kehilangan pajak sedikitnya Rp 200 miliar setahun.”
Yang lebih berbahaya adalah potensi penyelundupan besar-besaran. Wilayah Kota Batam yang memiliki sekitar 430 pulau bisa menjadi surga penyelundup. Mereka bisa beraksi melalui pelabuhan-pelabuhan tikus. Barang dengan mudah bisa dibawa ke luar Batam. ”Ini bisa mengancam industri dalam negeri,” ujar Dirjen Bea dan Cukai, Anwar Supriyadi, pekan lalu.
Sebaliknya, mereka yang sepakat menjadikan Batam sebagai kawasan bebas menyeluruh punya argumen lain. Kawasan Batam dinilai sudah sulit dikapling-kapling menjadi zona kawasan perdagangan bebas, karena kawasan industri di sana telanjur tak tertata rapi dan sudah menyatu dengan permukiman. ”Bagaimana mungkin mengaturnya?” ujar Lutfie.
Berdasarkan data yang ada, dari total 1.162 perusahaan, 370 di antaranya berada di luar kawasan industri. Sempat muncul usul agar zona perdagangan bebas hanya berlaku di kawasan industri. Karena itu perlu dilakukan pemagaran terhadap industri-industri yang kini telanjur berada di luar kawasan industri. Biaya pemagarannya ditaksir sekitar Rp 50 miliar.
Pengusaha Sofjan Wanandi menilai usul itu tidak realistis. Sebab, kenyataan di lapangan saat ini, perusahaan banyak yang saling terkait. Karena itu pula, usaha merelokasi perusahaan-perusahaan di luar zona industri sulit dilakukan. Sedangkan soal potensi kehilangan PPN, menurut Lutfie, Gubernur Riau sudah menjamin akan diganti oleh pajak penghasilan (PPh) yang diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun per tahun.
Apa pun perdebatannya, yang jelas kini konsep menjadikan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas telah diputuskan Jusuf Kalla pada 21 Juni lalu. Peraturan pemerintah tentang hal ini pun kini tinggal menunggu tanda tangan SBY pekan ini.
Bila putusan itu akhirnya diteken, Dirjen Bea Cukai sudah mengajukan sejumlah syarat. Pertama, institusinya diberi kewenangan memeriksa dan mencatat keluar-masuknya barang. Kedua, aparat pengawas dan armada patroli ditambah dari tiga menjadi sepuluh kapal. Ketiga, pemerintah menetapkan pelabuhan untuk pintu masuk dan keluar barang. Dengan begitu, kata Anwar, ”Kami akan dengan mudah menangkap barang yang masuk lewat pelabuhan lain.”
Begitu mudahkah menyetop barang ”molos” ke luar Batam?
Heri Susanto, Dian Yuliastuti, Rumbadi Dalle (Batam)
Perbandingan Skema Kawasan
Export Processing Zones Tujuan: Ekspor Luas Lokasi: 20 – 1.600 ha dekat pelabuhan dan bandara Jenis Kegiatan: Terutama untuk bidang manufaktur Tujuan Pasar: Ekspor Perlakuan Pembelian dari dalam negeri: Diperlakukan sebagai pembelian dalam negeri dan dikenai PPN Otoritas dari kawasan: Umumnya di bawah pemerintah pusat atau pemda setempat
Special Economic Zones Tujuan: Pembangunan integrasi untuk investasi dan lapangan kerja Luas Lokasi: 240 – 40.000 ha di lokasi campuran Jenis Kegiatan: Berbagai jenis kegiatan (pertanian, industri, jasa, pariwisata) Tujuan Pasar: Multi pasar, ekspor, domestik, atau di dalam zona tersebut. Perlakuan Pembelian dari dalam negeri: Sebagai impor ke SEZ, bebas dari bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) Otoritas dari kawasan: Otoritas khusus untuk kawasan, terpisah dari otoritas pemda setempat
Free Trade Zones Tujuan: Ekspor Luas Lokasi: < 50 ha dekat pelabuhan dan bandara Jenis Kegiatan: Ekspor barang dan jasa Tujuan Pasar: Ekspor Perlakuan Pembelian dari dalam negeri: Umumnya sebagai impor, bebas dari bea masuk dan PPN Otoritas dari kawasan: Otoritas khusus untuk kawasan, terpisah dari otoritas pemda setempat
Kawasan Industri Tujuan: Pembangunan industri Luas Lokasi: < 100 ha di lokasi campuran Jenis Kegiatan: Industri Tujuan Pasar: Ekspor dan domestik Perlakuan Pembelian dari dalam negeri: Pembelian dari dalam negeri Otoritas dari kawasan: Umumnya di bawah pemerintah pusat atau pemda setempat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo