Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pucuk surat kaleng mampir ke meja Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki, Mei dan Maret lalu. Isinya senada: laporan dugaan praktek korupsi dan kolusi dalam rencana pengembangan Pulau Rempang, Kepulauan Riau, sebagai kawasan wisata terpadu eksklusif oleh kelompok usaha Tomy Winata.
Surat ditembuskan ke Presiden, beberapa menteri, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, dan Indonesia Corruption Watch. Tak jelas siapa pengirimnya. Hanya dicantumkan atas nama pegawai negeri sipil pemerintah kota Batam, Kepulauan Riau.
Surat pada intinya mempersoalkan nota kesepahaman (MOU) yang telah dibuat oleh pemerintah kota Batam, Badan Otorita Batam, dan PT Makmur Elok Graha (MEG) kepunyaan Tomy, seperti dicatatkan dalam akta notaris nomor 65 dan perjanjian nomor 66 tertanggal 26 Agustus 2004.
Perjanjian diteken oleh H. Nyat Kadir selaku Wali Kota Batam dan Benyamin Balukh, Deputi Operasional Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam serta pejabat Gubernur Kepulauan Riau. Sedangkan PT MEG diwakili oleh Tomy Winata dan beberapa orang dekatnya, yaitu Erdin Odang—kini Ketua Umum Pemuda Panca Marga—dan Kemal Syamsudin selaku kuasa dari Sukamto Effendy.
Berdasarkan perjanjian itu, PT MEG mendapat hak eksklusif atas pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata terpadu eksklusif di Pulau Rempang. Untuk itu, PT MEG akan diberi sertifikat hak guna bangunan atas lahan di Pulau Rempang seluas 16.583 hektare, plus kawasan penyangga di sekitarnya, yaitu Pulau Setoko dan Pulau Galang eks hunian pengungsi Vietnam, masing-masing sekitar 300 hektare.
Hak guna bangunan berlaku 30 tahun, tapi dapat diperpanjang 20 tahun dan diperbarui 30 tahun lagi. Sehingga total 80 tahun. Di kawasan itulah rencananya dibangun kawasan wisata terpadu eksklusif, termasuk sarana perdagangan, jasa, hotel, perkantoran, dan permukiman.
Di bisnis rekreasi dan hiburan, antara lain akan dibangun gelanggang bola ketangkasan, gelanggang permainan mekanik dan elektronik, panti pijat, panti mandi uap, klub malam, diskotek, dan karaoke. Sedangkan di kawasan pendukung wisata akan dibangun apartemen, hotel berbintang, pusat belanja, lapangan golf, bioskop, perkantoran, perumahan, pusat kesehatan, pusat kesenian, museum, pacuan kuda, resort marina, dan lainnya.
Untuk memuluskan megaproyek itu, pemerintah Batam sepakat menyiapkan sederet fasilitas buat PT MEG. Di antaranya, fasilitas pelayanan satu atap serta memfasilitasi pembangunan jaringan infrastruktur di kawasan Rempang dan menuju areal itu.
Pemerintah Batam juga menjamin tak akan memberikan izin kawasan wisata baru kepada pihak lain. Bahkan, secara bertahap, seluruh usaha ”rekreasi” di kawasan wisata akan diungsikan ke Rempang. Kalaupun Batam berganti penguasa, dijamin tak akan ada perubahan kebijakan.
Untuk soal penjagaan, pemerintah Batam tak keberatan dengan penunjukan PT Bhakti Artha Reksa Sejahtera, unit keamanan Grup Artha Graha, sebagai pelaksana pengamanan di kawasan wisata. Dengan sederet fasilitas itu, pastilah PT MEG bersemangat mengembangkan Pulau Rempang.
Persoalannya, kata pelapor tadi, berbagai kemudahan itu tak diimbangi dengan keuntungan melimpah buat negara. Ditengarai, negara justru dirugikan sekitar Rp 3,6 triliun, karena memberikan gratis HGB atas lahan sekitar 17 ribu hektare di Rempang dan sekitarnya.
Dalam perjanjian memang dinyatakan bahwa kesepakatan bersama itu tidak berdampak finansial bagi PT MEG. Padahal, untuk lahan di Rempang dengan peruntukan kawasan wisata, tarif sewanya Rp 21.750 per meter persegi.
Itu sebabnya perjanjian ini dirasa timpang. Apalagi PT MEG juga diberi hak menjadi pengembang dan pengelola kawasan wisata terpadu eksklusif sementara di lima titik kota Batam. Ini berarti, kata pelapor tadi, Tomy bisa mendulang rezeki lebih dulu untuk membiayai pembangunan kawasan Rempang.
Terlepas dari kontroversi yang ada, tekad pemerintah Batam menghidupkan kembali rencana raksasa yang mati suri sejak 2004 ini tampaknya sudah bulat. Wali Kota Batam Ahmad Dahlan dan Ketua Otorita Batam Mustofa Widjaja, akhir Maret lalu, menandatangani nota kesepahaman tentang pengelolaan bersama Rempang dan Galang. Dengan nota itu, BPN diminta memberikan hak pengelolaan Rempang, yang selama ini dinyatakan status quo, kepada pemerintah Batam.
Rencana ini, seperti diberitakan harian lokal Batam, sesungguhnya sudah mulai kembali berdenyut setelah dua utusan PT MEG menemui pemerintah kota Batam pada 26 Januari lalu. Dengan ditetapkannya kawasan Batam, Rempang, dan Galang sebagai kawasan perdagangan bebas baru-baru ini, peluang untuk merealisasikan rencana ini pun kian terbuka.
Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu sinyal dari pemerintah pusat. ”Kami masih menunggu peraturan pemerintah turunan dari Perpu Nomor 1/2007,” ujarnya kepada Tempo.
Adapun Ahmad Dahlan menyatakan, jika proyek ini berjalan, pihaknya hanya akan membangun infrastruktur jalan, listrik, dan air. ”Sisanya tanggung jawab investor.” Namun ia mengaku tak tahu detail perjanjian pemberian lahan kepada PT MEG. ”Waktu itu saya belum menjabat Wali Kota Batam,” ujarnya.
Tomy Winata sendiri tampaknya tak ambil pusing dengan surat pengaduan itu. ”Biarin sajalah,” katanya di Jakarta, Kamis lalu. Lagi pula, ”Itu barang, setelah diteken pada 2004, nggak pernah ada apa-apa lagi. Sudah mati suri,” ujarnya.
Ia juga mengisahkan bahwa dirinya awalnya cuma diundang, pada 2002, untuk membangun Batam menjadi kawasan megapolitan, berhadapan dengan Singapura. Setelah melewati proses seleksi setahun, PT MEG ditunjuk sebagai calon partner dan diminta membuat studi pengembangan Barelang (Batam, Rempang, Galang). ”Tahun 2004 kami presentasikan,” ujarnya.
Di sana rencananya akan dibuat zona turisme dan perdagangan bebas. Termasuk perjudian? ”Bukan, cuma arena ketangkasan,” kata Tomy. Kecuali, aturan memperbolehkan. ”Tapi kami bukan operator kasino. Bisa saja investornya dari Amerika.” Toh, kasino di Singapura pun bukan milik pengelola Sentosa Island.
Menurut Tomy, dari luas lahan hampir 17 ribu hektare, yang akan dibangun area komersial 5.000 hektare. Tapi, yang tertutup bangunan hanya 3-3,5 ribu hektare. Sisanya ruang terbuka untuk fasilitas sosial dan daerah konservasi alam. ”Tapi, entah kenapa, proyek ini stop. Nggak ada omongan apa-apa lagi, sampai bapak-bapak sekarang menanyakan kembali,” ujarnya.
Soal sinyalemen PT MEG akan mendapat lahan dengan gratis, Tomy menampiknya. ”Yang saya tahu, tanah di Rempang tidak gratis. Ada daftar harga sewanya,” katanya.
Kalaupun gratis, ia meminta semua pihak berkaca pada pengalaman Cina. ”Kita sering kali berpikir pendek. Lihat Cina,” katanya. Negeri Panda itu menggratiskan tanah selama 20 tahun pertama, asalkan belum tersentuh investasi sama sekali. ”Kalau kita membawa US$ 1 miliar ke Cina dan membangun daerah yang belum dikembangkan pemerintah, kita dianggap pionir,” ujarnya.
Lagi pula, kata Tomy, kenapa semua pihak tidak mempersoalkan dana investasi pembangunan infrastruktur di Rempang yang sekian tahun menganggur. ”Ketika ada investor datang untuk mendatangkan nilai tambah buat negara, kok malah ribut. Ada apa?” ujarnya. ”Apa karena TW-nya?”
Meski begitu, Tomy menyatakan belum tentu akan melanjutkan proyek ini. Ia pun belum pernah diundang kembali ke Batam. ”Kalaupun dipanggil, saya akan jawab mari kita duduk dulu dan mengkaji kembali apakah masih feasible,” ujarnya.
Alasannya, bisa jadi kawasan ini kini lebih tepat dijadikan kota ruko ketimbang megapolitan. Sebab, Singapura dan Johor (Malaysia) sudah jauh di depan. ”Tiga kasino dalam dua tahun dibangun di Singapura,” katanya. Padahal, dulu Rempang disiapkan untuk mendahului mereka. Karena itu, ”Kalau diminta buru-buru, mendingan saya mundur.”
Itu sebabnya, ia pun menyatakan tak keberatan jika perjanjian pada 2004 itu dibatalkan. ”Kalau ada investor yang lebih baik, silakan.” Ketika ditanyakan apakah semangatnya surut lantaran Wali Kota Batam sudah berganti, ”Nggak ada urusan,” ujarnya.
Toh, kata Tomy, kalau proyek ini jalan, minimal mengalami lima kali pergantian wali kota dan gubernur. ”Kalau tergantung pribadi wali kota, sama saja makan pil bunuh diri.”
Metta Dharmasaputra, R.R. Ariyani, Rumbadi Dalle (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo