Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tim Baru Mengusung Niat Lama

Salim Group diduga berada di belakang konsorsium Bank Mega-Bhakti Capital, yang kini mengincar 51 persen saham Bank Danamon.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENYUM pemegang saham pengendali Bank Mega, Chairul Tanjung, merekah lebar. Setelah ia sempat diguncang ketidakpastian, calon mitranya, John Gokongwei, akhirnya datang juga ke Jakarta, pekan lalu. Chairul memang menunggu-nunggu kedatangan Gokongwei untuk memperkuat konsorsiumnya yang berniat membeli 51 persen saham pemerintah di Bank Danamon Indonesia. Perusahaan patungannya bersama Bhakti Capital Indonesia dan Credit Suisse First Boston masih memerlukan tambahan dana untuk membeli bank terbesar kelima di Indonesia itu. Harga 51 persen Danamon diperkirakan minimal Rp 3 triliun. Tapi, jika melihat harga sahamnya belakangan ini, bukan tidak mungkin harga Danamon akan naik sampai Rp 4 triliun. Posisi konsorsium Bank Mega-Bhakti memang agak mengkhawatirkan setelah Credit Suisse First Boston (CSFB) menyatakan hanya akan menjadi penasihat keuangan (financial advisor) bagi konsorsium ini. "Posisi terakhir kami adalah penasihat keuangan konsorsium Bank Mega-Bhakti, bukan member," kata juru bicara CSFB di Hong Kong, Josephine Lee. Padahal, menurut Chairul, semula CSFB juga berniat ikut menanamkan duitnya. Ketika itu, Chairul bahkan memastikan komposisi saham asing dan lokal 60-40. Tak aneh bila kini posisi Gokongwei amat menentukan, semata-mata karena sumber utama dana konsorsium ini berasal dari kantongnya. Itu pula sebabnya konsorsium Mega meminta agar penyerahan penawaran akhir (final bid) yang seharusnya dilakukan Senin pekan ini ditunda lagi sampai 5 Mei 2003. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) akhirnya memang memundurkan jadwal penyerahan penawaran akhir sampai Senin depan. Juru bicara BPPN, Raymond van Beekum, mengatakan bahwa BPPN juga perlu waktu untuk mempelajari rencana bisnis para penawar (bidder) itu. Selain Mega-Bhakti, konsorsium Asia Finance Indonesia, yang beranggotakan Temasek Holding (perusahaan milik pemerintah Singapura) dan Deutsche Bank (Jerman), kabarnya masih membutuhkan mitra lain. Dan ini terutama karena posisi Jamsostek menjadi tak jelas: apakah akan memperkuat Asia Finance atau tidak. Konsorsium Artha Graha bahkan tidak hadir dalam dua kesempatan yang diberikan BPPN untuk memaparkan rencana bisnisnya. "Kami masih memberikan kesempatan kepada Artha Graha untuk mengajukan rencana bisnisnya," Raymond menegaskan. Tak pelak lagi, penundaan ini memberikan napas kepada para penawar untuk memikirkan strategi sekaligus mengukur kemampuan kocek masing-masing. Gokongwei, yang akan masuk ke konsorsium menggunakan bendera perusahaan induknya, JG Summit, Kamis pekan lalu sudah kembali ke Manila. Menurut Chairul, Gokongwei akan meminta persetujuan dari pemegang saham dan para kreditor atas rencananya mengambil alih Danamon. Soalnya, JG Summit adalah sebuah konglomerasi dengan banyak perusahaan terafiliasi dan urusan ini minimal melibatkan dana US$ 300 juta. Bahkan dananya bisa lebih besar kalau harga saham Danamon terus menanjak. Jika dilihat dari pergerakan harga Danamon selama 30 hari terakhir, kemungkinan harga 51 persen Danamon bisa naik mencapai Rp 3,6 triliun. "Uang sebesar itu jelas tak bisa langsung ditanam begitu saja," kata Chairul. Pemilik Bank Mega itu mungkin benar. Tanpa dukungan Gokongwei, konsorsiumnya memang tak ubahnya macan loyo. Padahal Asia Finance Indonesia, yang menjadi pesaingnya, jelas amat kuat. Sudah dua kali Temasek membeli perusahaan asing dengan premium yang tinggi, yakni Dao Heng Bank (Hong Kong) dan Indosat. Bukan tidak mungkin hal yang sama terjadi dalam pembelian saham Danamon. Melakukan perang harga jelas bukan perkara yang sulit bagi konsorsium sekaliber Asia Finance. Karena itulah Chairul mati-matian mengajak Gokongwei menghadang laju Asia Finance. Tapi masuknya Gokongwei dan CSFB ke konsorsium Mega-Bhakti juga memunculkan pertanyaan lain: siapa yang berada di belakang dua konsorsium asing ini? Pertanyaan itu tidak datang tiba-tiba. Banyak kalangan menduga bahwa bukan kedua investor itu yang berniat membeli Danamon, melainkan Salim Group. Lo? Dugaan ini bukan tanpa sebab. Gokongwei tak punya bisnis di Indonesia. Wilayah operasi bisnisnya berada di Filipina dan Singapura. Gokongwei juga punya rentang bisnis yang sama dengan Salim. Jadi, hampir tak ada alasan bisnis di pihak Gokongwei yang bisa mendorongnya masuk ke Indonesia. "Salimlah yang punya motif seperti itu," kata seorang pengusaha Indonesia yang kenal dekat dengan konglomerat papan atas Indonesia tersebut. Menurut pengusaha itu, sejak kehilangan kontrol atas BCA, praktis Grup Salim tak punya lagi kendaraan di bisnis keuangan. Keluarga Salim hanya memiliki saham kurang dari 10 persen. Kendali utama BCA kini berada di tangan Farallon Indonesia, yang notabene adalah kelompok usaha Djarum. Padahal Salim membutuhkan sebuah lembaga keuangan yang bagus untuk mempertahankan bisnisnya di Indonesia—di antaranya Indofood. Beberapa perusahaan lain, seperti Indomobil dan Indocement, di atas kertas sudah menjadi milik orang lain. Itu sebabnya, ketika kontrol mayoritas Danamon dijual, Salim buru-buru masuk melalui konsorsium Mega-Bhakti. "Mereka masuk melalui Bhakti, CSFB, dan Gokongwei," kata sumber ini. Pengusaha itu memberikan beberapa indikasi keterlibatan Salim. Menurut dia, kaitan antara Salim dan CSFB sangat kuat. Ini dibenarkan oleh sejumlah analis seperti Mirza Adityaswara. Beberapa langkah bisnis (corporate action) Salim dan anak perusahaannya, seperti dalam penjualan saham atau obligasi, sering didukung oleh CSFB sebagai penasihat keuangannya. Salah satu yang dianggap paling fenomenal adalah ketika Indofood Sukses Makmur menerbitkan obligasi (eurobond) senilai US$ 280 juta pada tahun lalu. Ini merupakan salah satu penjualan surat utang terbesar di Indonesia setelah krisis. Yang jauh lebih menarik, sebetulnya bukan kali ini saja CSFB dan Grup Salim hendak membeli Bank Danamon. Ketika Danamon menghadapi kesulitan keuangan pada pertengahan 1997, pemiliknya, Usman Admadjaja, mengajak Salim masuk untuk menyuntikkan modal. Pada saat itu, Usman hendak melepaskan 29 persen sahamnya di Danamon. Anthoni Salim sudah setuju dan kemudian mengajak CSFB. Dari 29 persen itu, Salim kebagian 19 persen dan sisanya jatuh pada CSFB. Anthoni Salim, Usman, dan Stephen Stonefield (CSFB) sudah sempat meneken kesepakatan pada akhir November 1997. Namun kesepakatan ini gagal direalisasikan karena BCA pun ternyata ikut dihantam krisis. Bahkan BCA sempat di-rush oleh nasabahnya pada paruh pertama 1998. Barulah pada Agustus 1998, BCA dan Danamon sama-sama diambil alih pemerintah. Kaitan Salim dengan John Gokongwei pun lumayan erat. Pada 1999, Gokongwei membeli 23 persen saham United Industrial Corp. (UIC) dari tangan Salim. Perusahaan ini bergerak di bidang properti (SingLand), detergen, dan teknologi. Pada 2001, Salim melalui First Pacific juga berniat menjual sahamnya di The Philippine Long Distance Telephone (PLDT) senilai US$ 925 juta. Namun penjualan saham telekomunikasi ini gagal direalisasikan karena ditentang oleh eksekutif Salim sendiri di PLDT. Walaupun penjualan itu batal, hubungan Liem Sioe Liong dan Gokongwei bak loyang dan emas—saling mendukung dan saling menyayangi. Yang pasti, hubungan dua pria uzur kelahiran Fujian ini sangat kuat. Namun, apakah dengan begitu Salim benar-benar siaga di belakang konsorsium Mega-Bhakti? Salah satu eksekutif Salim Group, Benny Santoso, membantah keterlibatan Salim dalam tender penjualan 51 persen saham pemerintah di Danamon ini. "Kami tidak ada urusan dengan Danamon," katanya. Bantahan yang sama datang dari Chairul Tanjung. Menurut dia, tudingan itu mengada-ada. "Sejak kapan Bank Mega berurusan dengan Anthoni Salim? Kalau dia mau masuk, masuk saja sendiri," katanya. Meskipun begitu, pengusaha tadi yakin betul bahwa Salim memang berada di belakang konsorsium Mega-Bhakti. Tapi bisa juga Salim tak jadi masuk. Maju-mundurnya CSFB dan Gokongwei ke konsorsium mengindikasikan adanya keragu-raguan di pihak Salim. Untuk membuktikannya, tunggu beberapa tahun lagi. Sebagai perusahaan publik, mestinya tak sulit dicari siapa pemegang saham pengendalinya.

M. Taufiqurohman, Febrina Siahaan, Setri Yasra, Iwan Setiawan


Bank Danamon: Dari BLBI dan Rekapitalisasi sampai Divestasi

1998
21 Agustus 1998
Karena Danamon mengalami kesulitan keuangan, pemerintah mengambil alih bank ini dari tangan pemilik lamanya, Usman Admadjaja. Danamon mendapatkan kucuran BLBI senilai Rp 23,04 triliun.

1999
Mei 1999
Pemerintah merekapitalisasi Danamon dengan dana Rp 32 triliun.

20 Desember 1999
Danamon bermerger dengan Bank PDFCI menjadi Bank Danamon.

2000
30 Juni 2000
Danamon bermerger dengan delapan bank lain yang diambil alih BPPN menjadi Bank Danamon. Bersamaan dengan itu, pemerintah mengucurkan dana rekap Rp 28,87 triliun.

31 Desember 2000
Bank Danamon merugi Rp 32 triliun. Obligasi rekap yang ada di bank ini mencapai Rp 47 triliun.

2001
31 Desember 2001
Bank Danamon membukukan laba bersih Rp 579,8 miliar. Obligasi rekap yang masih ada di bank ini mencapai Rp 26,7 triliun.

2002
31 Desember 2002
Bank Danamon meraup laba bersih Rp 1 triliun. Obligasi rekap tinggal Rp 14,6 triliun.

2003
20 Januari 2003
BPPN mengumumkan rencana divestasi 71 persen saham pemerintah di Bank Danamon. Dari jumlah itu, 51 persen dijual kepada investor strategis, sedangkan sisanya dilepas di bursa.

21 Maret 2003
BPPN menetapkan tiga konsorsium yang lolos ke seleksi akhir, yakni Asia Finance (Temasek Holding-Deutsche Bank), Bank Mega-Bhakti Capitalindo, dan Bank Artha Graha.

21 Maret - 17 April 2003
Pelaksanaan uji tuntas (due diligence).

7 April 2003
Faisal Baasyir (PPP) dan Anthony Z. Abidin (Golkar) meminta agar divestasi Danamon ditunda, tapi BPPN jalan terus.

21 April 2003
Batas akhir penyerahan penawaran akhir (final bid) ditunda selama sepekan atas permintaan para penawar.

28 April 2003
Batas akhir penyerahan penawaran akhir kembali ditunda selama sepekan atas permintaan para penawar.

5 Mei 2003
Para penawar Danamon akan mengajukan penawaran akhir.

6 Mei 2003
BPPN akan menetapkan penawar yang mendapat prioritas (preferred bidder). Tapi, jika cuma dua yang mengajukan penawaran akhir, tender dilanjutkan tanpa preferred bidder.

6-30 Mei 2003
Bank Indonesia akan mengadakan uji kelayakan (fit and proper test) terhadap para calon pemilik Danamon. Catatan: Jadwal diadaptasi dari rencana awal BPPN.

Awal Juni
Pengumuman pemenang tender Danamon.

Dari berbagai sumber.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus