Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Legenda dari Cebu

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JOHN Gokongwei Jr. adalah sebuah legenda perputaran roda nasib. Dia adalah kisah tentang seorang anak yatim yang menjelma menjadi orang terkaya kedua di Filipina. Memulai usahanya dengan berdagang keliling, kini Go tercatat memiliki 33 perusahaan bertaraf internasional yang berinduk pada JG Summit Holdings Inc. Pergulatan hidup Go dimulai sedari masih ingusan. Baru berumur 13 tahun, ia ditinggal mati sang ayah. Sebagai anak sulung, Go harus membantu ibunya berjualan. Tapi pendapatan mereka tak cukup buat menambal perut sekeluarga. Terpaksa, kelima adiknya dititipkan ke famili mereka di Cina. Pertimbangannya, supaya lebih hemat karena biaya hidup di sana jauh lebih murah. Go, menemani ibunya, tinggal dan bergulat dengan hidup di Cebu, Filipina. Pada usia 15 tahun, dia sudah berdagang sendiri. Tiap hari, sejak pukul lima pagi, ia penuhi kantong-kantong plastik di sepedanya dengan berbagai barang kelontong, seperti sabun, benang, dan lilin. Saat anak-anak lain berangkat ke sekolah, Go mulai mengayuh pedal sepedanya, berjualan keliling kota. Sehari ia bisa mendapat 20 peso. "Cukup untuk bertahan hidup dan membeli barang untuk dijual esoknya," Go bercerita suatu ketika. Tak puas dengan hasil yang tak seberapa, dua tahun kemudian ia memutuskan berdagang lebih jauh, ke Manila. Mata Go rupanya jeli. Ketika perang dunia berakhir, Filipina benar-benar bergantung pada impor. Peluang ini cepat dia manfaatkan. Pada usia 19 tahun, ia pun membangun perusahaan pertamanya, Amasia, dan mengimpor barang bekas dari Amerika, seperti pakaian, dan majalah. "Saya jadi punya banyak pakaian buat mengencani Elizabeth, yang kini jadi istriku," kata Go bercanda. Kelima adiknya pun kembali dari Cina. Sembari meneruskan sekolah, mereka membantu dia menjalankan perusahaan. Ada yang jadi kasir, kuli, tukang ketik, dan juru tagih. "Seperti orang Cina yang lain, kami harus bekerja untuk tetap hidup," kisah Go. Bisnis Go berkembang pesat. Pada awal 1950-an, ia mengimpor wiski dan rokok dari AS. Pada 1957, ia merambah industri manufaktur, yang dimulai dengan penggilingan jagung. Tapi Go terbentur masalah modal kerja. Untunglah, Abino Sychip, Direktur China Bank, melihat ada "sesuatu" pada diri anak muda ini. Kredit 500 ribu peso pun dikucurkan. Dan lahirlah perusahaan Go yang lain, Universal Corn Products, yang kemudian menjadi Universal Robina Corp. Go bermimpi punya perusahaan sekaliber Nestle atau P&G. Ia lalu tiba pada kesimpulan, "Kalau mau sukses, produk kita harus memiliki brand". Maka muncullah produk Blend 45 dengan slogan "kopinya si pria malang". Menyusul kemudian sederet makanan ringan, permen, dan cokelat, masing-masing dengan citra produk dan slogan yang khas. Pertengahan 1980-an, usaha Go sudah merasuk ke mana-mana: tekstil, retail, telekomunikasi, penerbangan, bank, dan petrokimia. Akhirnya, setelah 60 tahun membangun kerajaan bisnisnya, pria beranak enam ini memutuskan untuk lengser. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-75, Agustus 2001 lalu, ia memutuskan pensiun. Kemudi JG Summit Holdings Inc. dia serahkan kepada Lance Gokongwei, 31 tahun, satu-satunya anak lelaki Go. Gurita bisnis Gokongwei memang belum mencapai Indonesia. Tapi ia sempat melirik sejumlah perusahaan besar di negeri ini. Sebut saja, antara lain, ketika BPPN menawarkan penjualan saham Astra Internasional pada tahun 2000. Nama Go juga kerap dikaitkan dengan keluarga Salim, yang sama-sama berasal dari Fujian, Cina. Pada 1999, misalnya, ia membeli 23 persen saham Grup Salim di United Industrial Corp. (UIC), perusahaan properti Salim di Singapura. Tahun lalu, Go juga berencana mengambil alih saham milik Anthoni Salim di The Philippine Long Distance Telphone (PLDT). Untuk itu ia telah menyiapkan dana US$ 617 juta. Tapi rencana ini gagal karena penolakan dari manajemen PLDT. Ketika itu, para analis di Filipina bertanya-tanya, buat apa Go membeli secuil saham Salim di properti dan telekomunikasi. Dia sendiri toh sudah memiliki perusahaan di kedua sektor itu. Jawabannya disodorkan majalah terkemuka The Economist: antara lain karena pertalian kuat Go-Liem sebagai sesama Cina perantauan. Febrina Siahaan (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus