Jurnalisme Investigasi
Pengarang : Septiawan Santana K.
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia dan TIFA, 2003, Jakarta
Tak banyak buku yang membahas soal jurnalisme investigasi dalam bahasa Indonesia. Dengan alasan itu, buku ini patut diperhatikan. Apalagi jurnalisme investigasi makin kerap dipandang dengan sudut pandang "profetis": memangkas korupsi di negeri ini.
Topik ini "hangat" karena Indonesia memiliki ribuan cerita soal korupsi, dan sejumlah kalangan yakin jurnalisme investigasi setidaknya bisa membongkar—kalau bukan mengikis—korupsi di negeri ini. Lokakarya digelar, fasilitator asing, semisal dari Philippine Center for Investigative Journalism yang kesohor itu, diundang. Presiden Filipina Joseph Estrada jatuh pada 2001 setelah kelompok ini muncul dengan laporannya tentang kekayaan sang Presiden.
Septiawan Santana Kurnia, penulis buku ini, adalah dosen komunikasi dari Universitas Islam Bandung (Unisba). Ia memiliki banyak sekali referensi dalam bukunya. Septi—begitu ia disapa—mengaku menulis buku dengan memadukan dari buku teks untuk mahasiswa dan banyak contoh konkret agar buku ini bisa lancar dibaca.
Septi mencoba menjelaskan sejarah kemunculan jurnalisme investigasi, baik di Indonesia maupun di Amerika. Lalu ia mencoba membedakan liputan investigasi dengan laporan mendalam (in-depth reporting). Ia juga menjabarkan berbagai ciri dari jurnalisme investigasi, di samping menyebutkan sejumlah teknik yang biasa dilakukan dalam liputan investigasi, berupa riset dan wawancara.
Kegigihan penulis mencari bahan penulisan buku ini haruslah diacungi jempol. Puluhan buku jadi referensinya, banyak situs ia jelajahi dan juga download untuk mengambil sejumlah ilustrasi karya investigasi. Banyak nama wartawan Amerika disebut, dari abad ke-17 hingga abad ke-20, dari Benyamin Harris hingga David Laventhol.
Namun, sayang sekali, kekayaan begitu melimpah tak dikelola dengan baik. Data itu mungkin lebih membingungkan ketimbang menjelaskan. Penulis menyodorkan banyak referensi tanpa memberikan bingkai buat menuntun pembaca.
Inilah buku Septiawan kedua, setelah buku Jurnalisme Sastra yang ia terbitkan tahun lalu, tapi inilah buku dengan editing kurang ketat dan alur tak cukup jelas. Kalau editor buku ini lebih ketat, pembaca tak perlu merasa harus mencari mutiara di antara tumpukan jerami, di antara halaman-halaman buku ini. Penjelasan tentang definisi jurnalisme terlampau berpanjang-panjang: selain menyarikan, penulis juga mengutip langsung pendapat tokoh-tokohnya. Ini diperparah dengan inkonsistensi kutipan: kadang dalam bahasa Indonesia, kadang dalam bahasa Inggris.
Bagaimanapun, banyak harapan tercurah pada buku ini, karena ia menulis topik yang sedang hangat dibicarakan oleh banyak kalangan jurnalis. Transparency International dalam laporan tahun 2002 menyebut bahwa media massa punya arti penting untuk meredam perilaku koruptif pejabat. Laporan yang sama juga menaruh Indonesia dalam posisi negara ketujuh terburuk dalam soal korupsi di antara ratusan negara yang disurvei. Jelas, buku ini punya peluang untuk dibaca khalayak yang luas.
Lepas dari kelemahan itu, buku ini memberikan panduan kepada mereka yang ingin tahu lebih jauh apa itu jurnalisme investigasi: bagaimana melakukannya, apa contohnya, dan bagaimana pula cerita di balik cerita penulisan kisah investigasi tersebut. Dalam kasus di Indonesia, penulis menyebut kasus Pertamina, yang pernah ditulis oleh koran Indonesia Raya dan majalah ini pada dekade 1970. Selain itu pula, penulis banyak mengambil contoh dari tulisan yang pernah dibuat majalah ini, TEMPO, dalam periode tahun 1998 hingga 2001.
Memang di Indonesia karya investigasi masih minim dan dianggap terlalu "mewah" untuk banyak lembaga media. Di lapangan ada soal sumber daya jurnalis yang minim, kekurangsabaran menelusuri dokumen, kurangnya lobi pada sumber-sumber "orang dalam" atau kemampuan teknis lain. Maka, jurnalisme investigasi meninggalkan kesan yang agak "superlatif"—dalam istilah lain: "profetis"—ketika dipaksa memerangi korupsi. Buku-buku tentang jurnalisme investigasi, seperti buku ini, akan menunjukkan berkurangnya korupsi atau jatuhnya seorang presiden hanya "akibat" dari jurnalisme investigasi.
Ignatius Haryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini