Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada lagi hari libur buat Pengacara Arief Surowidjojo. Sudah dua pekan belakangan, ia menghabiskan hari Sabtu dan Minggunya di kantor. Ini bukan lantaran Arief sedang terjangkit penyakit keranjingan kerja atau sebangsanya. Koordinator Tim Bantuan Hukum Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ini lagi diburu tenggat. Menurut jadwal, Kamis ini ia dan timnya mesti merampungkan tugas berat yang dipanggulkan ke pundak mereka sejak Maret lalu: memetakan kepatuhan para bankir pengutang negara berdasarkan perjanjian utang yang telah mereka teken.
Ada tiga jenis dokumen legal yang ditelisik Tim: master of settlement and acquisition agreement (perjanjian penyelesaian utang dengan jaminan aset, total Rp 88,6 triliun), master of restructuring and note issuance (perjanjian penyelesaian utang hingga jaminan pribadi, Rp 23,8 triliun), dan akta pengakuan utang (APU). Jenis terakhir ini menyangkut 26 bank beku operasi dan bank yang diambil alih pemerintah (take-over) senilai Rp 18,2 triliun.
Belum jelas apakah Arief dan timnya akan berhasil memenuhi batas waktu yang ditetapkan. Hingga akhir pekan kemarin, kata Ketua BPPN Syafruddin Temenggung, belasan dokumen APU telah selesai dikaji dan diserahkan ke Komite Pemantau Pelaksanaan Tugas BPPN, untuk kemudian dikirimkan ke kabinet sebagai pemegang kata akhir.
Menurut sumber TEMPO yang terlibat langsung dalam urusan ini, pada kloter pertama, Tim telah merampungkan kajian atas sembilan dokumen APU. Ini menyangkut perjanjian utang sejumlah konglomerat yang punya nama kondang sekaligus sulit dijangkau hukum. Mereka antara lain The Nin King (bos Grup Argo Pantes dan mantan bos Bank Danahutama), Hashim Djohohadikusumo (bekas pemilik Bank Papan Sejahtera dan adik kandung Jenderal Prabowo Subianto), dan Fadel Muhammad (eks pemegang saham Bank Intan yang baru terpilih sebagai Gubernur Gorontalo).
Menurut hasil kajian Tim, yang salinannya sempat dibaca TEMPO, disimpulkan sembilan debitor kelas menengah BPPN ini terbukti cedera janji. Dalam dokumen setebal 10 sentimeter itu ditunjukkan The Nin King, misalnya, baru menyetor sepertiga dari total tunggakannya senilai Rp 18 miliar. Fadel bahkan dinilai "tak punya itikad baik membayar utang." Dari total kewajiban Rp 88 miliar lebih, bendahara Golkar yang namanya kini kerap dikaitkan dengan kasus Bulog II itu baru membayar semiliar perak. Hashim lebih gawat lagi. Kemplangannya tak alang-kepalang. Sejak tiga tahun lampau sampai detik ini, putra begawan ekonomi almarhum Sumitro Djojohadikusumo itu baru membayar satu persen, sekali lagi, satu persen saja dari utangnya yang berjumlah Rp 149 miliar.
Tapi masih ada yang lebih "hebat" lagi. Tengoklah rekor yang dibukukan The Nin Khong. Bos Bank Baja Internasional ini berhasil mendulang kucuran dana bantuan Bank Indonesia sebesar Rp 74 miliar tanpa agunan sama sekali. Sudah begitu, tak sesen pun ia mencicil utang (lihat tabel).
Melihat tabiat tak elok itu, Tim lalu merekomendasikan supaya pemerintah mengambil langkah tegas. Secara perdata, disarankan menerapkan hukuman paksa badan, menggugat pailit, hingga menyita aset pribadi para pengutang. Jalur pidana pun diusulkan. Tim menyarankan agar pemerintah melakukan pencekalan serta menyegerakan penuntutan kriminal terhadap mereka atas tuduhan pelanggaran batas maksimum pengucuran kredit dan penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia. "Tim Hukum telah memberi BPPN tongkat pemukul," kata sumber TEMPO. Sayang, tak satu pun anggota Tim Hukum ber-sedia angkat suara. Tiap kali dikontak, Arief selalu mengelak memberikan penjelasan tentang hal yang perlu diketahui publik ini. "Sebagai profesional, saya terikat perjanjian kerahasiaan," katanya berdalih.
Toh, para taipan pengutang tak lantas ciut nyali. Alih-alih segera melunasi utang, mereka malah merapatkan barisan membentuk paguyuban dan balik menyewa sejumlah pengacara untuk meladeni Tim Bantuan Hukum BPPN. Maqdir Ismail, salah satu pembela mereka, menyatakan "punya data berbeda" dari perhitungan BPPN, yang dianggap jauh melebihi nilai kewajiban sebenarnya. Karena itulah, sebagai prasyarat pelunasan utang, ia menuntut supaya utang kliennya dihitung kembali secara lebih adil. Jika tidak, kata Maqdir, mereka siap bertarung di pengadilan.
Setiyardi
Vonis Kloter Pertama
BANK Danahutama Pemilik: The Nin King Utang: Rp 18 miliar Agunan: kurang 150% Pembayaran:
Bank Intan Pemilik: Fadel Muhammad Utang: Rp 88,15 miliar Agunan: kurang 150% Pembayaran: Rp 1 miliar Rekomendasi:
Bank Sembada Arthanugroho Pemilik: Ganda Eka Handria Utang: Rp 20,1 miliar Agunan: kurang 150%, memberikan pernyataan tak benar Pembayaran: Nihil Rekomendasi:
Bank Namura Internusa Pemilik: James Sujono Januardy, Adi Saputra Januardy Utang: Rp 205,14 miliar Agunan: kurang 150% Pembayaran: Rp 2,5 miliar Rekomendasi:
Bank Papan Sejahtera Pemilik: Hashim Djojohadi-kusumo, Honggo Wendratmo, Njoo Kok Kuon Utang: Rp 149,15 miliar Agunan: kurang 150% Pembayaran: Rp 1,49 miliar Rekomendasi Pidana:
Bank Tamara Pemilik: Iwan Suhardiman Utang: Rp 53 miliar Agunan: kurang 150% Pembayaran:
Bank Baja Internasional Pemilik: The Nin Khong Utang: Rp 73,5 miliar Agunan: Nihil Pembayaran: Nihil Rekomendasi:
Bank Budi Internasional Pemilik: Liem Hendra Utang: Rp 17,6 miliar Agunan: kurang 150% Pembayaran: hanya cicilan tahun pertama, kurang dari 70% saldo Rekomendasi:
Bank Indotrade Pemilik: Mulianto Tanaga, Hadi Widjaja Tanaga Utang: Rp 47,6 miliar Agunan: Nihil Pembayaran: Nihil Rekomendasi:
Sumber: TBH BPPN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo