Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewasa ini dunia tampaknya sedang dibuat sederhana lagi dengan dua belahan besar. Di satu sisi adalah mereka yang berada di bawah sebuah kuasa imperial. Di sisi lain mereka yang hidup seperti Asterix dan kawan-kawan.
Tentu, ini abad ke-21. Tapi, apa salahnya peta bumi itu dibuat sederhana secara demikian, ketika Amerika Serikat sedang dibayangkan sebagai Roma yang baru, dan dunia hendak dijinakkan dalam satu Pax Americana?
Kita, di Indonesia, tahu siapa Asterix dan kawan-kawannya, bukan saja berkat terjemahan atas cerita bergambar Prancis yang lucu dan termasyhur karya René Goscinny dan Albert Underzo itu. Kita tahu Asterix karena rasanya fiil kita tak jauh dari perilakunya: orang Gaulia udik dari abad ke-50 Sebelum Masehi, yang tak hendak tunduk kepada Imperium Romawi yang memiliki teknik dan tentara yang ulung itu, ya, sejumlah orang dusun yang kocak dan konyol, tapi selalu bisa menang berperang hanya berkat ramuan jamu sakti oleh Pak Dukun Panoramix.
Sebab, di bawah Pax Americana, di mana gerangan tempat kita, yang hidup di kepulauan terbelakang ini, yang sangat mudah dihuni teroris & hantu dan ditempati anarki & kuntilanak ini? Di mana, selain di alam Asterix dan si Gendut Obelix? Jika kita ikuti jalan pikiran Warrior Politics Robert D. Kaplan—yang konon dibaca dengan antusias oleh Presiden Bush—dunia kita adalah bagian dari wilayah barbar, ketiadaan peradaban yang membuat hati orang berabad tak tenteram.
Memang, Kaplan tak hanya menunjuk Roma sebagai model kekuasaan yang menertibkan kaos. Ia juga menyebut kemaharajaan Han pada tahun 200 Sebelum Masehi, yang menjadikan Cina (menurut Kaplan, tapi bukan menurut ahli sejarah Cina) sebuah "keselarasan agung antara pelbagai orang dan sistem yang berbeda-beda". Dengan tauladan itu, Kaplan tahu yang harus dilakukan Amerika Serikat dengan kekuatan ekonomi dan militernya yang kini tak tertandingi. "Kita dan hanya kitalah," tulis Kaplan kepada orang senegerinya, "yang akan menuliskan syarat-syarat bagi masyarakat internasional."
Kaplan tak berbicara tentang PBB, tentu. Kaplan berbicara tentang kekuatan, sebab ia ingin menganggap dirinya seorang "realis", bukan seorang "idealis". Ia terpesona akan kehidupan politik dunia sebelum nilai-nilai yang dibawa oleh agama Kristen merasuk, ketika manusia masih "pagan", dan yang universal tak dikenal. Persoalannya kemudian: bisakah dunia hidup dengan ukuran baik-buruk yang berbeda? Tidak perlukah ada hukum—dan posisi yang sama di depan hukum itu—yang mengatur negara yang bermacam-ragam kini?
Pada tahun 1961, India menyerbu Goa, sebuah wilayah di barat daya negeri itu, di Pantai Malabar, yang sejak 1510 dijajah Portugis. Duta Besar Amerika Serikat di PBB, Adlai Stevenson, dengan keras menyerang tindakan itu. India, kata Stevenson, jelas melanggar Piagam PBB.
Pada tahun 1975, Indonesia bertindak seperti India: "memasuki" Timor Timur, yang juga bekas koloni Portugis. Waktu itu Duta Besar AS di PBB adalah Daniel Patrick Moynihan. Tak ada kecaman datang dari mulutnya. Dalam kata-katanya sendiri kemudian, Moynihan mengakui: kalaupun ia tak membela tindakan Indonesia, yang pasti ia tak menentangnya. Betapa lain: India tahun 1961 dan dari Indonesia tahun 1975. Tak perlukah piagam dan hukum antarbangsa?
Moynihan mencoba menjawab dan menulis sebuah buku yang kini dilupakan, On the Law of Nations, yang diterbitkan pada tahun 1990 oleh Harvard University Press. Di sana ia bukan saja menyebut Piagam PBB yang diabaikan, tapi juga kesepakatan antara AS sendiri dan negara-negara lain di Benua Amerika.
Oktober 1983, Presiden Reagan mengirim hampir 2.000 tentara ke Grenada, sebuah republik berpenduduk 110.000 di sebuah pulau di Hindia Barat. Alasan: ia harus melindungi 1.000 warga Amerika yang tinggal di negeri itu, setelah pemerintah Kuba dikabarkan campur tangan ke pemerintahan pulau kecil itu. Moynihan mengutip sebuah tajuk Wall Street Journal tentang invasi itu, yang dimulai dengan sebuah ucapan: "Kita baru bisa bicara tentang Grenada secara masuk akal jika pakar hukum internasional di antara kita tutup mulut."
Tutup mulut itu juga yang terjadi ketika pemerintahan Reagan menyebar ranjau di pelbagai pelabuhan Nikaragua, agar kaum Sandinista, yang memerintah di negeri kecil itu, jatuh. Sebagai seorang senator yang dipilih rakyat, Moynihan memprotes tindakan Reagan sebagai pelanggaran hukum internasional. Tapi siapa yang mengacuhkan? Sehabis itu: sepi.
Tak mengherankan jika ketika pada tahun 2001 AS menyerbu Afganistan, untuk menangkap (atau membinasakan) orang-orang Usamah bin Ladin yang dilindungi oleh pemerintah negeri itu, sepi itu masih berkerumuk. Saya juga tak dengar suara Moynihan. Ia agaknya lebih memilih—bersama 50 intelektual terkemuka Amerika lain—membela perang di Afganistan itu sebagai "perang yang adil". Bagi mereka, yang dilakukan Bush adalah untuk mempertahankan kehidupan yang beradab.
Tentu saja siapa pun setuju, jika peradaban terancam, dunia akan terus berdarah, kekerasan jadi jalan utama, dan yang lemah—kita, kaum Asterix—akan habis. Tapi kini kita tahu ada dua cara yang bisa dipilih agar peradaban aman. Yang pertama adalah cara Imperium Roma dan Han. Yang kedua adalah yang terkandung dalam argumen On the Law of Nations.
Di bagian awal buku ini Moynihan mengutip satu fragmen dari lakon Robert Bolt, A Man for All Seasons, ketika Thomas More berbicara dengan William Roper tentang perlu atau tidaknya hukum dipatuhi ketika kita mengejar Iblis. Roper yang muda menganggap hukum harus bisa diabaikan. More tidak: pada suatu saat sang Iblis mungkin tiba-tiba berbalik menyerang kita. Pada saat itu, "ke mana kau akan bersembunyi, Roper, ketika hukum telah rata dengan tanah?"
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo