Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTAR haluan menjelang selesai. Itulah yang akan dilakukan pemerintah dalam proses penjualan 51 persen saham Bank Niaga oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Setelah sekian lama mencari calon pembeli dan empat calon sudah dijaring, seminggu sebelum masa penyerahan penawaran akhir habis, Senin ini, Ketua BPPN Syafruddin Temenggung punya rencana lain. "Kemungkinan kita akan mengganti pola penjualan," katanya.
Penyebabnya tak lain agar pemerintah tidak menanggung rugi. Empat calon pembeli, yakni Konsorsium Bank Victoria, Konsorsium ANZ Banking Group Limited, Konsorsium Commerce Asset Holding Berhad Group, dan Konsorsium Batavia Investment Fund II, rupanya menawar Bank Niaga dengan harga murah: di kisaran Rp 15 sampai Rp 25 per lembar saham. Padahal harga di pasar mencapai Rp 80 per lembar. Hitung-hitungannya, dengan harga Rp 25, diperkirakan pemerintah cuma mengail Rp 975 miliar. Padahal dana rekap yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 9,18 triliun. Tekor besar.
Perubahan itu akan dilakukan pada final bid awal minggu ini bila harga tawaran masih berkutat di bawah. Untuk itu, Syafruddin sudah menghubungi Badan Pengawas Pasar Modal untuk melihat apakah pola penjualan strategic sale yang mereka lakukan bisa diubah menjadi private placement atau secondary offering.
Jadi, berapakah harga yang pantas untuk bank bekas milik keluarga Tahija itu? "Bagi saya, Bank Niaga tidak boleh dilepas dengan harga di bawah Rp 100 per lembar saham," jawab Syafruddin. Alasannya, saat ini harga pasar berkisar pada Rp 100. Bahkan, menurut dia, harga yang pantas sebetulnya ada di angka Rp 600 sampai Rp 800 per lembar. Katanya, dalam sejarah pergerakan harga saham Bank Niaga, harga itu belum pernah menyentuh angka Rp 15.
Apabila pola strategic sale gagal mengangkat harga Bank Niaga seperti yang diinginkan, Syafruddin hanya akan melempar saham ke pasar 10 atau 20 persen. Setelah itu, baru dijual kepada investor yang strategis.
Menanggapi rencana itu, Paul Edwards, Head of Group Media Relation ANZ, mengatakan bahwa pihaknya berharap penawaran itu dapat dituntaskan pada Senin pekan ini. "Setelah itu, keputusan untuk menjual saham itu atau tidak terserah BPPN. Kami menghargai keputusan yang mereka buat," kata Edwards.
Langkah Syafruddin untuk mendapatkan harga jual yang tinggi buat bank yang kerap dibanggakan sebagai bank pribumi itu mendapatkan banyak tepuk tangan dari anggota dewan dan pengamat. Masalahnya, apakah semudah itu mendapatkan harga sekian? Belum tentu. Sebab, menurut salah seorang analis perbankan, harga Rp 15 atau satu kali nilai buku Bank Niaga itu merupakan harga bagus. Memang ia mendengar bahwa Konsorsium Commerce Asset Holding Berhad Group berani membayar dengan harga Rp 40 per helainya atau hampir tiga kali nilai bukunya.
BPPN dinilainya terlalu terpukau dengan harga di pasar. Padahal harga itu tidak mencerminkan apa-apa karena saham yang beredar cuma 2,85 persen. Akibatnya, pasar bisa mengerek harga semaunya. Kalau BPPN akan menjual dengan harga Rp 100, pasar tidak akan menerima karena besarnya enam kali nilai buku. "Para pemain itu tidak tahu kondisi perbankan karena hanya melihat sukses penjualan Bank Central Asia (BCA)," katanya.
Tak bisa dimungkiri, divestasi Bank Niaga ini akan dibandingkan dengan penjualan saham BCA yang heboh itu. Padahal, kalau diukur dari harga sahamnya, kedua bank ini tidak sekelas. Sumber tadi mengibaratkan, BCA itu mobil Mercy, sedangkan Bank Niaga adalah mobil Kijang.
Bank bekas milik Sudono Salim itu dapat terjual dengan harga Rp 1.800 per saham atau 1,5 kali nilai bukunya. Dan kini BCA diperdagangkan di angka Rp 2.500 per lembarnya. Dengan jumlah saham sebanyak 6 miliar, nilai BCA mencapai Rp 15 triliun. Sedangkan Bank Niaga, yang sahamnya berjumlah 78 miliar, bila dijual dengan harga Rp 100 per lembar sahamnya, hanya akan meraup Rp 7,8 triliun.
Benarkah Syafruddin akan mengganti pola penjualan saham bank dengan 3.300 karyawan itu? Kita lihat saja pekan ini. Mungkin itu cuma gertak sambal, bisa pula ia punya rencana lain. Sebelum penawaran akhir terjadi, segala cara bisa dilakukan untuk mendongkrak harga. Habis, siapa sih yang mau rugi?
Agus S. Riyanto, Rian Suryalibrata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo