Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama besar Merrill Lynch dipertaruhkan. Dedengkot industri keuangan dari Amerika Serikat itu ditampar tuduhan serius: bermain curang dalam jual-beli saham Indosat. Tidak main-main, sangkaan itu berasal dari Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi. Jika tudingan ini terbukti benar, para pengelola Merrill Lynch di Indonesia bisa terkena hukuman penjara 10 tahun. Dan lebih dari itu, reputasi raksasa keuangan dunia itu akan tercoreng.
Awal ceritanya kita sudah sama-sama tahu: pemerintah gagal memenuhi target penjualan sahamnya di perusahaan telekomunikasi Indosat. Penjualan saham ini amat penting guna menambal kas negara yang bolong. Semula, pemerintah yakin bisa menjual 117 juta saham pada harga Rp 12.300 per saham. Bagaimana tidak yakin, harga saham Indosat di bursa Jakarta adalah Rp 12.850 hingga Rp 13.500 per saham dalam sebulan terakhir.
Ternyata, begitu pemerintah menawarkan dagangannya Kamis dua pekan lalu, saham Indosat langsung bergejolak hebat. Hari itu harga saham unggulan ini terjun bebas dari Rp 13.200 menjadi Rp 12.600 per saham. Boleh jadi, angka itu akan terus melorot jika pengelola bursa tidak menghentikan perdagangan. "Kami ingin melindungi investor dari penurunan harga yang lebih tajam," kata Erry Firmansyah, Direktur Utama BEJ.
Tapi, ketika bursa membuka kembali perdagangan Indosat tiga hari kemudian, harganya sudah tak tertolong lagi. Hari itu, Senin lalu, nilai saham perusahaan raksasa itu sempat terjun sampai Rp 11.650. Pemerintah akhirnya hanya bisa menjual 83,7 juta sahamnya, itu pun pada harga murah, Rp 12.000. Total jenderal, negara hanya bisa menjala dana Rp 1 triliun, atau hanya Rp 400 miliar di bawah target yang dicanangkan semula.
Usut punya usut, ada beberapa pemain yang seperti sengaja mengobral saham perusahaan telekomunikasi itu. Merrill Lynch, misalnya, diketahui menggelontor pasar dengan menawarkan 4 juta saham (hampir separuh saham Indosat yang di-perdagangkan hari itu). Langkah ini diikuti dua broker asing, ABN Amro Asia Sekuritas dan JP Morgan, yang melepas 2,5 juta saham. Danareksa sudah berusa-ha menahan laju jatuhnya harga dengan memborong saham yang ditawarkan, tapi sia-sia. Saham Indosat tetap terjungkal.
Kegagalan ini membuat Menteri Laksamana berang. Ia menuduh Merrill Lynch melakukan transaksi dengan memanfaatkan informasi orang dalam (biasa disebut insider trading). Menurut Laksamana, sebagai penasihat keuangan Indosat, Merrill Lynch mestinya tahu betul seluk-beluk rencana penjualan saham milik pemerintah, termasuk patokan harganya. Di atas kertas, divisi korporat Merrill Lynch bisa saja membocorkan informasi ini kepada divisi brokerage (yang berhubungan langsung dengan investor di pasar), sehingga mereka terdorong untuk mengobral saham sekaligus membuat harga saham Indosat nyungsep.
Tapi tudingan ini dibantah Direktur Merrill Lynch Indonesia, Lilly Wijaya. Ia mengaku sudah melakukan penyelidikan internal. "Tak ada insider trading," kata-nya kepada Leanika Tanjung dari TEMPO. Kesahihan bantahan ini sebenarnya gampang dilacak dari rekaman komunikasi transaksi antara para broker dan kliennya. Jika terbukti keputusan penjualan saham berawal dari bisikan broker Merrill Lynch, hampir bisa dipastikan ada permainan curang dalam transaksi ini (lihat kolom berjudul Insider Trading Saham Indosat?).
Apa yang sebenarnya terjadi? Sumber TEMPO punya versi lain. Menurut pemain pasar modal kawakan ini, bukan Merrill Lynch yang membuat pasar kacau-balau. "Ada gerilya pasukan lain," katanya dengan nada serius. Ia menunjuk aksi yang dilakukan PT Nusantara Kapital, perusahaan sekuritas yang bermarkas di Menara Rajawali di Kawasan Kuningan.
Menurut keterangan sumber ini, begitu pemerintah menawarkan saham, Nusantara langsung membuat manuver. Perusahaan ini menyebarkan formulir pemesanan saham baru Indosat yang ditawarkan pada harga sangat murah: Rp 11.500. Perlu diketahui, Indosat memang berencana menambah modal dengan cara menjual 54 juta saham baru (setara dengan lima persen kepemilikan). Menurut jadwal yang telah disepakati bersama pemerintah, penawaran saham baru ini akan dilakukan dua pekan mendatang. Dalam penawaran itu, Indosat menunjuk Mandiri Sekuritas dan Merrill Lynch sebagai penasihat keuangan. "Nusantara dipakai Mandiri," kata sumber ini.
Tentu saja, selisih harga yang menggiurkan ini menggoyahkan iman calon investor yang semula berminat membeli saham Indosat milik pemerintah. Perusahaan dana pensiun Jamsostek yang semula sepakat membeli 40 juta saham, misalnya, sampai berpikir ulang dua belas kali. "Ketimbang beli dari Danareksa, mending pesen ke Nusantara, dong," begitu kira-kira logikanya. Maklumlah, bagi Jamsostek, selisih saham pemerintah via Danareksa dengan harga saham baru Nusantara sampai Rp 2 miliar. Belakangan, Jamsostek memang tetap memenuhi komitmen, kata sumber TEMPO, "karena kakinya diinjak pemerintah."
Tapi calon investor lain yang tak punya kaki untuk diinjak kabur berpaling ke tawaran Nusantara. Itu sebabnya, penjualan saham Indosat milik pemerintah jeblok berat.
Upaya gerilya ini dibantah petinggi Nusantara, yang tak mau disebut namanya. Dengan santai ia menyangkal adanya gerakan bawah tanah yang menawarkan saham "di bawah harga". Menurut sumber ini, semula Nusantara ingin ikut ambil bagian dalam menawarkan saham milik pemerintah itu. Tapi, karena komisinya tidak jelas, ia memilih mundur. "Kami ini cuma kambing hitam," katanya, "Mereka lupa, yang berkuasa menentukan harga adalah pasar."
Penelusuran TEMPO menemukan adanya blanko pemesanan saham baru Indosat yang dikirim Nusantara kepada calon investor pada 15 Mei, sehari sebelum pemerintah menawarkan asetnya. Formulir ini merupakan salah satu tahapan pembentukan harga (biasa disebut book building) sehingga tak mencantumkan harga jual. Pertanyaannya, jika benar Nusantara tidak menjadi agen penjualan saham milik pemerintah, untuk apa ia mengedarkan formulir pemesanan.
Perselisihan Nusantara dengan Danareksa kabarnya merupakan kisah "klasik". Pentolan Nusantara sebagian besar merupakan jebolan Danareksa yang kecewa kepada Dian Wiryawan, yang kala itu menjadi direktur utama sebelum digantikan Zas Ureawan belum lama ini. Kelompok yang dipimpin Agus Prodjosasmito (bekas Direktur Pelaksana Danareksa) ini dikenal sebagai orang-orang kepercayaan Glenn S. Yusuf (bos Danareksa sebelum Dian), yang "tersingkir" setelah Dian masuk. Semula, rombongan bedol deso itu akan boyongan ke Mandiri, tapi entah mengapa akhirnya berbelok hijrah ke Nusantara. Di antara pemain pasar modal, Agus Prodjo dan kawan-kawan sering disebut sebagai kelompok "Danareksa Perjuangan" yang sedang mengungsi ke pengasingan.
Terlepas dari pertarungan "inter-Danareksa", Kantor Menteri BUMN dan Indosat sama-sama haus duit. Laksamana harus memenuhi target penjualan BUMN sebesar Rp 6,5 triliun yang dibebankan APBN. Celakanya, hingga hari ini pembantu setia Presiden Megawati itu belum menjala satu rupiah pun. Dan Rp 400 miliar jelas bukan jumlah yang sedikit.
Tapi Indosat juga sama kepepetnya seperti Laksamana. Untuk mendongkrak kinerjanya, Indosat berniat menguasai 100 persen saham Satelindo, perusahaan jasa telepon seluler yang jadi sumber uang terbesar bagi Indosat. Untuk itu In-dosat harus membeli 25 persen saham yang dikuasai perusahaan Jerman, DeTe-Mobil. Indosat juga harus menambah modal Satelindo agar perusahaan yang keberatan utang itu bisa bernapas.
Benturan dua kepentingan yang kepepet ditambah kompetisi pentolan bursa, agaknya memaksa pemerintah bertekuk lutut. Situasi kian ruwet karena para pe-main saham berusaha memanfaatkan kerunyaman itu. Korbannya bukan cuma cupetnya perolehan dana pemerintah, ta-pi juga kepercayaan investor.
M. Taufiqurohman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo