BERPAKIAN teluk belanga serba hitam, mirip pawang laut,
Gubernur Sum-Ut EWP Tambunan mengacungkan sebilah tombak. "Ini
bukti hasil nelayan meningkat setelah pukat harimau dihapuskan."
Pidato Tambunan dari atas pentas, disambut gemuruh tepuk tangan
tiga ribuan nelayan yang memadati lapangan pasir di tepi muara
Sungai Asahan.
Tombak sepanjang lebih dua meter itu terbuat dari tulang ikan
hiu yang terjaring nelayan setempat, seminggu sebelumnya. Hiu
itu beratnya 700 kg. Ketika pukat harimau masih beroperasi,
belum pernah nelayan berperalatan tradisional mendapat ikan
sebesar itu. Maka tulang ikan ini pun jadi simbol kegembiraan
mereka. Dan 10 Maret itu, di Desa Bagan Asahan, Kabupatan
Asahan, dalam sebuah upacara tombak tulang ikan itu dihadiahkan
kepada Gubernur Tambunan.
Sejak Januari nasib pukat harimau di perairan Sumatera tamat.
Itu sesuai Kepres 39. Penghasilan nelayan kecil pun meningkat.
Setidaknya begitu laporan diterima Tambunan hari itu. Bupati
Asahan, dr. Bahmid Mohamad misalnya mengatakan, setiap nelayan
di daerahnya menangkap 14 sampai 20 kg ikan sehari. Sebelum
Keppres, paling 7 kg.
Tapi sejak itu pula ibu-ibu pada menjerit. Harga ikan melangit.
Di Pusat Pasar, pusat perbelanjaan paling ramai di Medan, ikan
bawal sejak awal Februari meningkat jadi Rp 1.200/kg Sebelumnya
Rp 800. Kelas murahan seperti dencis Rp 700, sebelumnya hanya Rp
400/kg. Kenaikan itu merembet ke kota-kota lain. Di Sibolga --
kota penghasil ikan utama di pantai barat Sumatera -- ikan
aso-aso (jenis ikan murah) kini Rp 100/ekor. Tadinya Rp 30.
Di Tebingtinggi, kota terdekat dengan Proyek Asahan, Kuala
Tanjung, harga lebih menggila. Ikan kembung semula Rp 400 sekilo
melompat menjadi Rp 1.200. Kerang, hasil laut paling murah
selama ini Rp 25/kg, sekarang melonjak Rp 200.
Ikan asin, konsumsi terbesar rakyat kecil, juga melompat. Jenis
murah, kepala batu, Desember tahun lalu berharga Rp 600/kg, naik
hampir 300%.
Walau tak setajam Sumatera Utara, harga di Riau, bekas daerah
penghasil ikan utama itu, juga naik. Menurut Ir. Marzuki dari
Dinas Perikanan Provinsi Riau awal Maret ini, kenaikan itu
sekitar 15 sampai 20%. Di Pakanbaru ikan asin Rp 1.500/kg. Harga
sebelum Keppres masih Rp 1.200/kg.
Lauleng Damanik, 48 tahun, pengusaha ikan (nonpri) dari Tanjung
Balai (Sum-Ut) sejak Februari berusaha mengirnpor ikan segar
dari Malaysia. Di Penang, menurut Lauleng, ikan jenis tongkol
dan kembung hanya Rp 250/kg. Tapi pihak bea cukai mengenakan bea
masuk sampai Rp 54 tiap kilo.
Lauleng mengontak kantor gubernur Sum-Ut minta rekomendasi agar
bea masuk dibebaskan. Untuk itu dia bekerjasama dengan Koserna
(Koperasi Serbaguna), bernaung di bawah Kowilhan I. "Demi
memenuhi kebutuhan ikan segar bagi masyarakat," kata Lauleng
kepada TEMPO minggu lalu.
Tapi rencana itu nampaknya tak kesampaian. Kepala Biro Bina
Pengembangan Sarana Perekonomian Daerah Sum-Ut, Panusunan
Hasibuan 11 Maret lalu menolak permohonan itu. "Kalau impor
dibenarkan, nelayan terpukul," katanya.
Alwinur, Humas Ditjen Perikanan membantah produksi ikan turun,
sambil menunjukkan data produksi ikan laut nasional sepanjang
1980 yaitu 1401.000 ton. Meningkat 6,3% dari tahun sebelumnya.
Padahal sejak Oktober 1980, sejumlah 635 trawl (pukat harimau)
di Jawa dibabat Keppres 39.
Dia tidak bisa mengungkapkan produksi Januari 1981, setelah
1.234 pukat harimau di Sumatera dilarang ke laut "Data produksi
belum ada," kata Alwinur. Hanya katanya, baru tiga ratusan eks
kapal trawl yang kembali melaut di Sumatera, setelah mengganti
alat penangkap ikannya dengan nontrawl. Pemerintah sedang
berusaha agar eks kapal trawl itu beroperasi ke laut. Kalau itu
beres, "semua pulih kembali," ramalnya.
Tepung Ikan
Marzuki dari Dinas Perikanan Riau berpendapat produksi bakal
turun, meski semua eks trawl melaut. "Tapi tidak setajam
sekarang," katanya. Produksi daerahnya menurut Marzuki sekarang
anjlok 30%, sejak berlaku Keppres 39.
Pendapat yang sama datang dari Kepala Dinas Perikanan Kabupaten
Tapanuli Tengah/Sibolga. Nelayan tradisional hanya menghasilkan
25% produksi ikan daerah itu yang 24.000 ton per tahun.
Selebihnya trawl. Ketika trawl tertambat hasil merosot 75%.
Tak terelakkan, 25 pabrik tepung ikan (produksinya antara lain
untuk makanan ternak babi, ayam dan itik) di Sum-Ut terancam
tutup. Sampai pertengahan Februari 5 pabrik menghentikan
produksi, karena ketiadaan bahan baku, yaitu jenis ikan kecil
tangkapan trawl. Untuk memenuhi langganan, sejak Januari kelima
pabrik itu kabarnya mengimpor tepung ikan dari Muangthai.
"Kalau pabrik kurang ballan baku, boleh saja impor," kata
Alwinur. Ucapan itu untuk pabrik tepung ikan, juga pabrik
pengawetan udang. Tujuh pabrik itu di Sum-Ut kekurangan bahan
baku. Ekspor udang segar Sum-Ut, sebelum trawl dilarang 1.069
ton sebulan, Januari lalu anjlok menjadi 288,7 ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini