Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Trawl tamat harga meloncat

Sejak dihapusnya pukat harimau penghasilan nelayan kecil meningkat. harga ikan melonjak karena hasil ikan merosot. pengusaha ikan dari tanjung balai berusaha mengimpor ikan segar dari malaysia. (eb)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERPAKIAN teluk belanga serba hitam, mirip pawang laut, Gubernur Sum-Ut EWP Tambunan mengacungkan sebilah tombak. "Ini bukti hasil nelayan meningkat setelah pukat harimau dihapuskan." Pidato Tambunan dari atas pentas, disambut gemuruh tepuk tangan tiga ribuan nelayan yang memadati lapangan pasir di tepi muara Sungai Asahan. Tombak sepanjang lebih dua meter itu terbuat dari tulang ikan hiu yang terjaring nelayan setempat, seminggu sebelumnya. Hiu itu beratnya 700 kg. Ketika pukat harimau masih beroperasi, belum pernah nelayan berperalatan tradisional mendapat ikan sebesar itu. Maka tulang ikan ini pun jadi simbol kegembiraan mereka. Dan 10 Maret itu, di Desa Bagan Asahan, Kabupatan Asahan, dalam sebuah upacara tombak tulang ikan itu dihadiahkan kepada Gubernur Tambunan. Sejak Januari nasib pukat harimau di perairan Sumatera tamat. Itu sesuai Kepres 39. Penghasilan nelayan kecil pun meningkat. Setidaknya begitu laporan diterima Tambunan hari itu. Bupati Asahan, dr. Bahmid Mohamad misalnya mengatakan, setiap nelayan di daerahnya menangkap 14 sampai 20 kg ikan sehari. Sebelum Keppres, paling 7 kg. Tapi sejak itu pula ibu-ibu pada menjerit. Harga ikan melangit. Di Pusat Pasar, pusat perbelanjaan paling ramai di Medan, ikan bawal sejak awal Februari meningkat jadi Rp 1.200/kg Sebelumnya Rp 800. Kelas murahan seperti dencis Rp 700, sebelumnya hanya Rp 400/kg. Kenaikan itu merembet ke kota-kota lain. Di Sibolga -- kota penghasil ikan utama di pantai barat Sumatera -- ikan aso-aso (jenis ikan murah) kini Rp 100/ekor. Tadinya Rp 30. Di Tebingtinggi, kota terdekat dengan Proyek Asahan, Kuala Tanjung, harga lebih menggila. Ikan kembung semula Rp 400 sekilo melompat menjadi Rp 1.200. Kerang, hasil laut paling murah selama ini Rp 25/kg, sekarang melonjak Rp 200. Ikan asin, konsumsi terbesar rakyat kecil, juga melompat. Jenis murah, kepala batu, Desember tahun lalu berharga Rp 600/kg, naik hampir 300%. Walau tak setajam Sumatera Utara, harga di Riau, bekas daerah penghasil ikan utama itu, juga naik. Menurut Ir. Marzuki dari Dinas Perikanan Provinsi Riau awal Maret ini, kenaikan itu sekitar 15 sampai 20%. Di Pakanbaru ikan asin Rp 1.500/kg. Harga sebelum Keppres masih Rp 1.200/kg. Lauleng Damanik, 48 tahun, pengusaha ikan (nonpri) dari Tanjung Balai (Sum-Ut) sejak Februari berusaha mengirnpor ikan segar dari Malaysia. Di Penang, menurut Lauleng, ikan jenis tongkol dan kembung hanya Rp 250/kg. Tapi pihak bea cukai mengenakan bea masuk sampai Rp 54 tiap kilo. Lauleng mengontak kantor gubernur Sum-Ut minta rekomendasi agar bea masuk dibebaskan. Untuk itu dia bekerjasama dengan Koserna (Koperasi Serbaguna), bernaung di bawah Kowilhan I. "Demi memenuhi kebutuhan ikan segar bagi masyarakat," kata Lauleng kepada TEMPO minggu lalu. Tapi rencana itu nampaknya tak kesampaian. Kepala Biro Bina Pengembangan Sarana Perekonomian Daerah Sum-Ut, Panusunan Hasibuan 11 Maret lalu menolak permohonan itu. "Kalau impor dibenarkan, nelayan terpukul," katanya. Alwinur, Humas Ditjen Perikanan membantah produksi ikan turun, sambil menunjukkan data produksi ikan laut nasional sepanjang 1980 yaitu 1401.000 ton. Meningkat 6,3% dari tahun sebelumnya. Padahal sejak Oktober 1980, sejumlah 635 trawl (pukat harimau) di Jawa dibabat Keppres 39. Dia tidak bisa mengungkapkan produksi Januari 1981, setelah 1.234 pukat harimau di Sumatera dilarang ke laut "Data produksi belum ada," kata Alwinur. Hanya katanya, baru tiga ratusan eks kapal trawl yang kembali melaut di Sumatera, setelah mengganti alat penangkap ikannya dengan nontrawl. Pemerintah sedang berusaha agar eks kapal trawl itu beroperasi ke laut. Kalau itu beres, "semua pulih kembali," ramalnya. Tepung Ikan Marzuki dari Dinas Perikanan Riau berpendapat produksi bakal turun, meski semua eks trawl melaut. "Tapi tidak setajam sekarang," katanya. Produksi daerahnya menurut Marzuki sekarang anjlok 30%, sejak berlaku Keppres 39. Pendapat yang sama datang dari Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah/Sibolga. Nelayan tradisional hanya menghasilkan 25% produksi ikan daerah itu yang 24.000 ton per tahun. Selebihnya trawl. Ketika trawl tertambat hasil merosot 75%. Tak terelakkan, 25 pabrik tepung ikan (produksinya antara lain untuk makanan ternak babi, ayam dan itik) di Sum-Ut terancam tutup. Sampai pertengahan Februari 5 pabrik menghentikan produksi, karena ketiadaan bahan baku, yaitu jenis ikan kecil tangkapan trawl. Untuk memenuhi langganan, sejak Januari kelima pabrik itu kabarnya mengimpor tepung ikan dari Muangthai. "Kalau pabrik kurang ballan baku, boleh saja impor," kata Alwinur. Ucapan itu untuk pabrik tepung ikan, juga pabrik pengawetan udang. Tujuh pabrik itu di Sum-Ut kekurangan bahan baku. Ekspor udang segar Sum-Ut, sebelum trawl dilarang 1.069 ton sebulan, Januari lalu anjlok menjadi 288,7 ton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus