TV-RI kini sedang berubah. Sejak 22 Desember tahun lalu TV-RI
Jakarta muncul dengan pola baru siarannya. Mata acara iklan yang
selama ini dipandang penonton sebagai mengganjel di mata, telah
dikelompokkan pada jam pertama siaran di sore hari.
Selain siaran komersiil itu, acara berita pun berobah polesan:
terutama pada pukul 21.30 Dunia Dalam Berita selain dibacakan
oleh dua penyiar bergantian, isi beritanya sendiri diberi intro
mirip cerita, serta senantiasa disudahi dengan sebuah berita
ringan dan kadangkala kocak. Contohnya: beberapa malam lalu
disajikan sebuah film tentang lomba kura-kura di Australia.
Sementara itu sejumlah mata acara lain kini tengah menunggu
giliran untuk diperbaiki juga. Misalnya pertunjukan musik,
penyajian gambar yang lebih banyak untuk membedakannya dari
radio yang kebetulan nampak wajah si penyiar. Dan sebagainya.
Wajah penyiar TV-RI Jakarta aat ini memang sudah muncul dalam
tata-warna, karena sejak berlangsungnya pola baru itu TV-RI
Jakarta telah menggunakan pemancar warna-warni itu. Menunggu
rampungnya studio baru yang menurut Dirjen RTF Sumadi bakal
memakan waktu 600 hari, maka sebuah ruangan berukuran 9 x 11 m,
yang tadinya merupakan studio rekaman, kini disulap.
Dan yang mungkin menarik lagi ialah meja operatornya masih
berada dalam mobil yang diparkir di gudang di sebelahnya. Hebat
juga. Maklum TV-RI sudah keliwat biasa dengan gaya darurat,
menilik alat yang masih terpakai hingga kini pun sisa-sisa tahun
1962.
Jadi jangan heran bila suatu ketika sehabis membaca Dunia Dalam
Berita nampak penyiar itu menyeka keringat. Itu bukan sekedar
gaya, melainkan karena benar-benar cuaca di studio itu panas.
Apa lagi setelah menggunakan siaran berwarna, sorotan lampu
harus berlipat ganda dibanding siaran hitam putih.
Penampilan dua penyiar dalam membawakan siaran berita terakhir
itu, bukan merupakan hal baru. Itu telah banyak dilakukan oleh
stasion televisi di berbagai negara.Juga barangkali penonton
TV-RI masih ingat, sekitar tahun 1969 ada acara "Echo Sepekan" -
satu penyajian cuplikan berita yang disampaikan oleh sepasang
penyiar: Subrata dan Tatiek Tito. Awal 1973 acara iu terhenti,
"karena terbatasnya fasilitas studio", kata Subrata yang kini
menjabat Kepala Sub Pemberitaan.
Bahan-bahan siaran berita televisi, sebagaimana juga pers dan
media massa lainnya, sebagian diperoleh dari sumber berita yang
kontinyu maupun insidentil. Untuk materi dalam negeri, di
samping mengerahkan awaknya sendiri, TV-RI juga menggunakan jasa
kantor berita. Sedangkan yang bersumber dari luar negeri, "sejak
akhir tahun lalu telah dibina kerjasama dengan Asian
Broadcasting Union (ABU) yang berkedudukan di Kuala Lumpur",
kata Subrata.
Kerjasama itu berupa tukar-menukar berita. Dari ABU ini
diperoleh bahan-bahan yang ditampungnya dari Eropean
Broadcasting Union maupun Arab States Broadcasting Union maupun
dari pelbagai negara di Asia sendiri. Menurut Subrata, "ABU itu
pula yang akan meneruskan berita perkembangan pembangunan di
Indonesia ke negara-negara lain tersebut".
Dari gambaran itu mungkin boleh diharap, sebentar lagi penonton
televisi kita bakal lebih banyak menyimak film kejadian yang
disampaikan dan tak lagi jemu menyaksikan jidat penyiarnya.
Terutama mata acara. Dunia Dalam Berita, kata Subrata, "masih
akan ditingkatkan lagi pada tanggal 11 Maret nanti". Yaitu, bila
selama ini ada kebosanan penonton menghadapi penyiar yang hampir
tak lepas-lepas membaca kertas itu, sejak tanggal itu nanti
diharap bakal lebih bersikap akrab dengan publik. Sebab sebuah
alat khas yang bernama teleprompter dipajang di hadapan penyiar
itu. Dengan bantuan alat itu si penyiar tidak lagi musti tunduk
membaca, tapi bisa bicara langsung menghadap penonton,
seolah-olah ia sudah hafal apa yang disampaikannya.
Selama ini boleh dikatakan hanya penduduk seantero Jawa saja
yang bisa mengikuti siaran televisi. Tapi serentak ada Palapa
plus 40 stasion bumi yang bertaburan mulai Banda Aceh hingga
Tembagapura, bakal lebih banyak jumlah mata yang akan menangkap
iklan di tengah-tengah acara. Keluhan penonton ialah: iklan
mengganggu. Dan inilah yang merupakan satu alasan mengapa
iklan-iklan itu buru-buru dikerangkeng.
Duduknya iklan memang rada serba salah. Sebab bila semula publik
yang Inemberengut gara-gara iklan, kini gilirannya biro iklan
yang mengkerut. TVRI sendiri memang mengakui betapa peranan
iklan bukan terbilang kecil bagi menjaga kelangsungan hidupnya.
Hampir separoh biaya rutinnya masuk dari hasil iklan (lihat
wawancara dengan Sumadi). Tapi pengelompokannya menjadi siaran
niaga itu, "dari segi promosi tidak menguntungkan", ulas Usamah.
Dirut Prima Advera itu mengungkapkan, "sekarang langganan kami
merosot 50% dibanding ketika TV-RI belum mengadakan
perubahan".
Di Jakarta dewasa ini ada 50 biro iklan yang mempekerjakan
rata-rata 20 tenaga. Memang tidak semua merupakan langganan
televisi: Sebab pemasangan iklan bisa dilakukan di media apa
saja. Soalnya tergantung dari kalangan mana yang hendak dituju.
Seperti digambarkan seorang pejabat Lintas - biro iklan yang
mempromosikan barang-barang Unilever, Rinso misalnya -- maka
sasaran utama yang diharapkan ialah kalangan ibu rumah tangga.
Dari hasil penelitian mereka, orang banyak menonton televisi
setelah jam 19. Sedangkan sekitar jam 17.30 smpai magrib kaum
ibu banyak yang masih repot urusan dapurnya, atau sedang sibuk
mengurus anak-anak. Tapi bocah tanggung mungkin sudah
mengerumuni pesawat teve. "Tapi mereka toh bukan sasaran yang
dimaksud", kata orang Lintas itu, seraya mengajukan harapan
kalau bisa penumpukan iklan itu ditinjau lagi.
Rata-rata pengusaha biro iklan sendiri mengakui bahwa bila
torlalu banyak iklan TV-RI juga jadi tak menarik. "Itu sebabnya,
sebaiknya iklan itu jangan dikelompokkan seperti sekarang.
Karena cara begitu malah menimbulkan kesan iklan itu banyak",
kata seorang dari pengusaha iklan yang tak bersedia disebut
namanya.
Ia mungkin tak keliru, bila diikuti acara siaran manasuka TV-RI
beberapa waktu lalu. Remaco misalnya, karena sering muncul dalam
waktu yang berdekatan, cukup mengundang gerutuan penonton juga.
Ada yang sengaja tidak menyetel pesawatnya sore hari itu, karena
ia kenyang dengan itu lagu "Sya . . . la . . .la", suara Ade
Manuhutu.
Perkara perusahaan kaset ini nyaris mendominir siaran niaga
televisi, menurut Dirjen RTF Sumadi, "hanya satu kebetulan
saja". Sebab ruangan iklan itu terbuka untuk siapa saja. Asal
cocok tarifnya: 7 dolar/detik untuk produksi dalam negeri, 9
dolar/detik untuk eks luar negeri. Silakan.
Tapi Remaco memang terbilang langganan yang punya porsi gede.
Selasa malam, dengan volume iklan tetap, perusahaan ini
mensponsori film untuk anakanak. Setiap pertengahan bulan dapat
jatah Aneka Ria, dan hampir saban hari ada saja Remaco di
televisi. Mereka mengerjakan filmnya bekerja sama dengan awak
TV-RI. Misalnya untuk iklan Eddy Silitonga diambil di Taman
Mini. Dari fihak Remaco sendiri, semua itu nampaknya wajar.
"Karena kompetisi kaset makin hari kian sengit", kata Ferry
Iroth, Wakil Direktur Remaco. Ia kini melihat tambah banyaknya
perusahaan rekaman. Betapapun kecilnya mereka, "ibarat api, biar
kecil jangan diremehkan". Sebab semua adalah saingan, ujarnya.
Meski kalangan TV-RI menyatakan bahwa ruangan iklan di televisi
itu terbuka buat siapa saja, "kalau kita datang ke sana tanpa
ada seorang pun yang kita kenal, boleh jadi bisa puyeng",
komentar seorang pengusaha iklan yang lain. "Perlu sistim
koneksi juga", tambahnya. Di samping itu, ini pula kejengkelan
di kalangan pengusaha iklan: kenapa sih sampai hati betul
mengkambing-hitamkan iklan? "Yang membosankan itu bukan adanya
iklan, tapi acara televisi itu sendiri yang kurang menarik",
kata seorang pemimpin biro iklan. "Kalau mau, hapuskan saja
iklan. Di New Delhi atau di Arab, teve minus iklan, toh
pengusaha jalan terus".
Tapi mungkinkah TV-RI meniadakan siaran komersiilnya?
"Konsekwensinya jadi amat berat", jawab Supomo, direktur TV-RI.
Sebab cara mengatasinya antara lain perlu mengusahakan dana dari
pemerintah/APBN. "Ini berarti sumbernya dari pajak terhadap
masyarakat", katanya pula, "yang berarti orang yang tak punya
televisi ikut menanggung beban anggaran televisi". Tentu saja
keadaan ini sangat tidak adil. Tambah Supomo, "Orang sudah tak
punya televisi, diberatl lagi untuk kesenangan orang yang mampu
membeli televisi". Betul juga.
Siaran komersiil memang sudah ditumpuk. Dan setiap kali ada
buntut, yang antaranya berbunyi: "Banyak yang ditawarlian,
hati-hati dengan pengeluaran".
Dari jatah siarannya setiap hari memang jadwal iklan itu nampak
sedikit. Ada race Simon menyanyi. Ada Ade Manuhutu, Eddy
Silitonga atau Chicha Kuswoyo, atau Titiek Sandora seisi
rumahnya. Mereka ini memang dijelaskan sebagai penyanyi Remaco
di televisi. Tapi biarpun singgahnya cuma sebentar, tapi hampir
saban hari. Dan dengan lagu yang itu-itu juga. Akibatnya: siaran
iklan itu nyaris tak terbedakan - dan mungkin mendesak - siaran
musik produksi TV-RI sendiri. Apa lagi nanti bila sampai lebih
dari dua atau tiga pabrik kaset yang muncul.
Televisi sendiri sebenarnya mempunyai mata acara untuk
menampilkan muka-muka baru. Namanya: Kenalan Baru, yang
ditampilkan dua kali sebulan. Barangkali volume acara ini yang
boleh diperbanyak. Tapi soalnya memang tak mudah. Sebab jalan
menuju Kenalan Baru bagi seorang calon penyanyi atau kelompok
band ternyata cukup panjang.
Para peminat yang ingin mengisi Kenalan Baru itu satu-persatu
harus menunjukkan kebolehan di mata sebuah team. Team Audisi
TV-RI namanya. Di sebuah ruangan sederhana di Senayan, sekitar
10 calon tiap hari Sabtu diuji. Team itu terdiri dari pemain
musik, komponis, serta pengamat musik: Iskandar, Isbandi,
Suwanto Suwandi, Syafei Embut, Ny. Fin Tumimomor, Yosef
Pikanusa dan diketuai Johnny Herman.
Apa kesulitan memperoleh bakat baru itu? "Materi suara mereka
kebanyakan jelek", kata Johnny, "tapi sering juga mereka anti
kritik". Tentu pasal ini lebih mempersulit upaya pembinaan, di
samping rata-rata mereka kabarnya tak kenal not angka -- apa
lagi huruf toge. Ini mengakibatkan mereka sukar membaca
aransemen. Sehingga tak jarang yang mencoba menafsirkan lagu itu
sendiri-sendiri. "Katanya, melakukan improvisasi", Johnny
mengutip sembari jengkel.
Tak heran bila seleksi yang memerlukan ketekunan itu akhirnya
cuma menghasilkan 1 sampai 3 calon saja. Mereka yang lulus
inipun belum begitu saja bisa nyemplung di depan kamera, karena
mesti tunggu waktu untuk dipanggil lagi. Sebegitu jauh, baru
satu penyanyi yang sempat masuk orbit dan beken setelah melalui
jalan panjang ini. Namanya: Atik Pramono. Selebihnya, masih
tunggu hari baik.
Bibit baru sebenarnya banyak. Materi lagu pun bukan sedikit di
Indonesia ini. Seperti dikemukakan Titiek Puspa: "Yang muncul
dalam acara Kenalan Baru itu banyak bibit bagus. Mestinya TV-RI
lebih intensif memberikan bimbingan sebelum mereka ditampilkan".
Mengapa Papiko tak ambil bagian? Selain memang belum pernah
diminta, Titiek hampir tak berkutik dengan minusnya tempat dan
biaya. Sampai ia sering merisaukan: "Setelah generasi saya ini,
pengganti yang punya fondasi kuat siapa?".
Suara Titiek itu paling tidak mengandung keinginan bahwa TV-RI
hendaknya lebih sering menampilkan mukamuka baru, memberi
kesempatan yang lebih luas bagi penyanyi yang baru lulus itu.
Artinya: TV-RI perlu lebih mengalakkan produksinya sendiri
untuk mata acara musik ini.
Misalnya memperbanyak film musical show. "Tahun 75 - 76 pernah
kita memproduksi 5 musical show, semacam Harry Rusli yang
diambil di Tangkuban Perahu itu", kata Alex Leo, Kepala Studio
TV-RI Jakarta. Pertunjukan produksi sendiri ini diakuinya belum
begitu menonjol, "karena orang menonton sampai jam sehari,
hingga kita hampir seperti setitik air di tengah laut", ujarnya.
Tapi ia membayangkan setelah kini peralatan televisi mulai
bertambah, volume acara seperti itu akan meningkat.
Berbarengan dengan itu ditunjuknya perbandingan keadaan antara
yang dihadapi TVRI dengan apa yang bisa diperoleh oleh stasiun
televisi di luar negeri. Bila satu stasiun televisi ingin
memesan 13 episode lagu-lagu, atau film seri, misalnya, "itu
sudah tinggal ambil dari lemari saja", katanya. Sebab ada
tersedia jasa yang memproduksinya di luaran. Sedang di sini,
"itu seluruhnya menjadi beban TV-RI", katanya.
Nah, untuk mengharapkan munculnya jasa yang diperlukan itu, di
negeri kita nampaknya tak mudah. Sebab di samping menyangkut
biaya besar, rencana yang matang, tenaga pun harus ahli. Dan
nampaknya jasa yang amat produktif (dan banyak uang) saat ini
baru berupa pabrik kaset. Memang repot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini