Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tvri Berubah. Apa Lagi Yang Kurang ?

Berbagai perbaikan siaran TVRI al waktu siaran iklan musik, warta berita. Siaran iklan menjemukan. Acara kenalan baru bagi calon penyanyi tersendat-sendat. Belum ada jasa produser film seri di luar TVRI. (md)

22 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TV-RI kini sedang berubah. Sejak 22 Desember tahun lalu TV-RI Jakarta muncul dengan pola baru siarannya. Mata acara iklan yang selama ini dipandang penonton sebagai mengganjel di mata, telah dikelompokkan pada jam pertama siaran di sore hari. Selain siaran komersiil itu, acara berita pun berobah polesan: terutama pada pukul 21.30 Dunia Dalam Berita selain dibacakan oleh dua penyiar bergantian, isi beritanya sendiri diberi intro mirip cerita, serta senantiasa disudahi dengan sebuah berita ringan dan kadangkala kocak. Contohnya: beberapa malam lalu disajikan sebuah film tentang lomba kura-kura di Australia. Sementara itu sejumlah mata acara lain kini tengah menunggu giliran untuk diperbaiki juga. Misalnya pertunjukan musik, penyajian gambar yang lebih banyak untuk membedakannya dari radio yang kebetulan nampak wajah si penyiar. Dan sebagainya. Wajah penyiar TV-RI Jakarta aat ini memang sudah muncul dalam tata-warna, karena sejak berlangsungnya pola baru itu TV-RI Jakarta telah menggunakan pemancar warna-warni itu. Menunggu rampungnya studio baru yang menurut Dirjen RTF Sumadi bakal memakan waktu 600 hari, maka sebuah ruangan berukuran 9 x 11 m, yang tadinya merupakan studio rekaman, kini disulap. Dan yang mungkin menarik lagi ialah meja operatornya masih berada dalam mobil yang diparkir di gudang di sebelahnya. Hebat juga. Maklum TV-RI sudah keliwat biasa dengan gaya darurat, menilik alat yang masih terpakai hingga kini pun sisa-sisa tahun 1962. Jadi jangan heran bila suatu ketika sehabis membaca Dunia Dalam Berita nampak penyiar itu menyeka keringat. Itu bukan sekedar gaya, melainkan karena benar-benar cuaca di studio itu panas. Apa lagi setelah menggunakan siaran berwarna, sorotan lampu harus berlipat ganda dibanding siaran hitam putih. Penampilan dua penyiar dalam membawakan siaran berita terakhir itu, bukan merupakan hal baru. Itu telah banyak dilakukan oleh stasion televisi di berbagai negara.Juga barangkali penonton TV-RI masih ingat, sekitar tahun 1969 ada acara "Echo Sepekan" - satu penyajian cuplikan berita yang disampaikan oleh sepasang penyiar: Subrata dan Tatiek Tito. Awal 1973 acara iu terhenti, "karena terbatasnya fasilitas studio", kata Subrata yang kini menjabat Kepala Sub Pemberitaan. Bahan-bahan siaran berita televisi, sebagaimana juga pers dan media massa lainnya, sebagian diperoleh dari sumber berita yang kontinyu maupun insidentil. Untuk materi dalam negeri, di samping mengerahkan awaknya sendiri, TV-RI juga menggunakan jasa kantor berita. Sedangkan yang bersumber dari luar negeri, "sejak akhir tahun lalu telah dibina kerjasama dengan Asian Broadcasting Union (ABU) yang berkedudukan di Kuala Lumpur", kata Subrata. Kerjasama itu berupa tukar-menukar berita. Dari ABU ini diperoleh bahan-bahan yang ditampungnya dari Eropean Broadcasting Union maupun Arab States Broadcasting Union maupun dari pelbagai negara di Asia sendiri. Menurut Subrata, "ABU itu pula yang akan meneruskan berita perkembangan pembangunan di Indonesia ke negara-negara lain tersebut". Dari gambaran itu mungkin boleh diharap, sebentar lagi penonton televisi kita bakal lebih banyak menyimak film kejadian yang disampaikan dan tak lagi jemu menyaksikan jidat penyiarnya. Terutama mata acara. Dunia Dalam Berita, kata Subrata, "masih akan ditingkatkan lagi pada tanggal 11 Maret nanti". Yaitu, bila selama ini ada kebosanan penonton menghadapi penyiar yang hampir tak lepas-lepas membaca kertas itu, sejak tanggal itu nanti diharap bakal lebih bersikap akrab dengan publik. Sebab sebuah alat khas yang bernama teleprompter dipajang di hadapan penyiar itu. Dengan bantuan alat itu si penyiar tidak lagi musti tunduk membaca, tapi bisa bicara langsung menghadap penonton, seolah-olah ia sudah hafal apa yang disampaikannya. Selama ini boleh dikatakan hanya penduduk seantero Jawa saja yang bisa mengikuti siaran televisi. Tapi serentak ada Palapa plus 40 stasion bumi yang bertaburan mulai Banda Aceh hingga Tembagapura, bakal lebih banyak jumlah mata yang akan menangkap iklan di tengah-tengah acara. Keluhan penonton ialah: iklan mengganggu. Dan inilah yang merupakan satu alasan mengapa iklan-iklan itu buru-buru dikerangkeng. Duduknya iklan memang rada serba salah. Sebab bila semula publik yang Inemberengut gara-gara iklan, kini gilirannya biro iklan yang mengkerut. TVRI sendiri memang mengakui betapa peranan iklan bukan terbilang kecil bagi menjaga kelangsungan hidupnya. Hampir separoh biaya rutinnya masuk dari hasil iklan (lihat wawancara dengan Sumadi). Tapi pengelompokannya menjadi siaran niaga itu, "dari segi promosi tidak menguntungkan", ulas Usamah. Dirut Prima Advera itu mengungkapkan, "sekarang langganan kami merosot 50% dibanding ketika TV-RI belum mengadakan perubahan". Di Jakarta dewasa ini ada 50 biro iklan yang mempekerjakan rata-rata 20 tenaga. Memang tidak semua merupakan langganan televisi: Sebab pemasangan iklan bisa dilakukan di media apa saja. Soalnya tergantung dari kalangan mana yang hendak dituju. Seperti digambarkan seorang pejabat Lintas - biro iklan yang mempromosikan barang-barang Unilever, Rinso misalnya -- maka sasaran utama yang diharapkan ialah kalangan ibu rumah tangga. Dari hasil penelitian mereka, orang banyak menonton televisi setelah jam 19. Sedangkan sekitar jam 17.30 smpai magrib kaum ibu banyak yang masih repot urusan dapurnya, atau sedang sibuk mengurus anak-anak. Tapi bocah tanggung mungkin sudah mengerumuni pesawat teve. "Tapi mereka toh bukan sasaran yang dimaksud", kata orang Lintas itu, seraya mengajukan harapan kalau bisa penumpukan iklan itu ditinjau lagi. Rata-rata pengusaha biro iklan sendiri mengakui bahwa bila torlalu banyak iklan TV-RI juga jadi tak menarik. "Itu sebabnya, sebaiknya iklan itu jangan dikelompokkan seperti sekarang. Karena cara begitu malah menimbulkan kesan iklan itu banyak", kata seorang dari pengusaha iklan yang tak bersedia disebut namanya. Ia mungkin tak keliru, bila diikuti acara siaran manasuka TV-RI beberapa waktu lalu. Remaco misalnya, karena sering muncul dalam waktu yang berdekatan, cukup mengundang gerutuan penonton juga. Ada yang sengaja tidak menyetel pesawatnya sore hari itu, karena ia kenyang dengan itu lagu "Sya . . . la . . .la", suara Ade Manuhutu. Perkara perusahaan kaset ini nyaris mendominir siaran niaga televisi, menurut Dirjen RTF Sumadi, "hanya satu kebetulan saja". Sebab ruangan iklan itu terbuka untuk siapa saja. Asal cocok tarifnya: 7 dolar/detik untuk produksi dalam negeri, 9 dolar/detik untuk eks luar negeri. Silakan. Tapi Remaco memang terbilang langganan yang punya porsi gede. Selasa malam, dengan volume iklan tetap, perusahaan ini mensponsori film untuk anakanak. Setiap pertengahan bulan dapat jatah Aneka Ria, dan hampir saban hari ada saja Remaco di televisi. Mereka mengerjakan filmnya bekerja sama dengan awak TV-RI. Misalnya untuk iklan Eddy Silitonga diambil di Taman Mini. Dari fihak Remaco sendiri, semua itu nampaknya wajar. "Karena kompetisi kaset makin hari kian sengit", kata Ferry Iroth, Wakil Direktur Remaco. Ia kini melihat tambah banyaknya perusahaan rekaman. Betapapun kecilnya mereka, "ibarat api, biar kecil jangan diremehkan". Sebab semua adalah saingan, ujarnya. Meski kalangan TV-RI menyatakan bahwa ruangan iklan di televisi itu terbuka buat siapa saja, "kalau kita datang ke sana tanpa ada seorang pun yang kita kenal, boleh jadi bisa puyeng", komentar seorang pengusaha iklan yang lain. "Perlu sistim koneksi juga", tambahnya. Di samping itu, ini pula kejengkelan di kalangan pengusaha iklan: kenapa sih sampai hati betul mengkambing-hitamkan iklan? "Yang membosankan itu bukan adanya iklan, tapi acara televisi itu sendiri yang kurang menarik", kata seorang pemimpin biro iklan. "Kalau mau, hapuskan saja iklan. Di New Delhi atau di Arab, teve minus iklan, toh pengusaha jalan terus". Tapi mungkinkah TV-RI meniadakan siaran komersiilnya? "Konsekwensinya jadi amat berat", jawab Supomo, direktur TV-RI. Sebab cara mengatasinya antara lain perlu mengusahakan dana dari pemerintah/APBN. "Ini berarti sumbernya dari pajak terhadap masyarakat", katanya pula, "yang berarti orang yang tak punya televisi ikut menanggung beban anggaran televisi". Tentu saja keadaan ini sangat tidak adil. Tambah Supomo, "Orang sudah tak punya televisi, diberatl lagi untuk kesenangan orang yang mampu membeli televisi". Betul juga. Siaran komersiil memang sudah ditumpuk. Dan setiap kali ada buntut, yang antaranya berbunyi: "Banyak yang ditawarlian, hati-hati dengan pengeluaran". Dari jatah siarannya setiap hari memang jadwal iklan itu nampak sedikit. Ada race Simon menyanyi. Ada Ade Manuhutu, Eddy Silitonga atau Chicha Kuswoyo, atau Titiek Sandora seisi rumahnya. Mereka ini memang dijelaskan sebagai penyanyi Remaco di televisi. Tapi biarpun singgahnya cuma sebentar, tapi hampir saban hari. Dan dengan lagu yang itu-itu juga. Akibatnya: siaran iklan itu nyaris tak terbedakan - dan mungkin mendesak - siaran musik produksi TV-RI sendiri. Apa lagi nanti bila sampai lebih dari dua atau tiga pabrik kaset yang muncul. Televisi sendiri sebenarnya mempunyai mata acara untuk menampilkan muka-muka baru. Namanya: Kenalan Baru, yang ditampilkan dua kali sebulan. Barangkali volume acara ini yang boleh diperbanyak. Tapi soalnya memang tak mudah. Sebab jalan menuju Kenalan Baru bagi seorang calon penyanyi atau kelompok band ternyata cukup panjang. Para peminat yang ingin mengisi Kenalan Baru itu satu-persatu harus menunjukkan kebolehan di mata sebuah team. Team Audisi TV-RI namanya. Di sebuah ruangan sederhana di Senayan, sekitar 10 calon tiap hari Sabtu diuji. Team itu terdiri dari pemain musik, komponis, serta pengamat musik: Iskandar, Isbandi, Suwanto Suwandi, Syafei Embut, Ny. Fin Tumimomor, Yosef Pikanusa dan diketuai Johnny Herman. Apa kesulitan memperoleh bakat baru itu? "Materi suara mereka kebanyakan jelek", kata Johnny, "tapi sering juga mereka anti kritik". Tentu pasal ini lebih mempersulit upaya pembinaan, di samping rata-rata mereka kabarnya tak kenal not angka -- apa lagi huruf toge. Ini mengakibatkan mereka sukar membaca aransemen. Sehingga tak jarang yang mencoba menafsirkan lagu itu sendiri-sendiri. "Katanya, melakukan improvisasi", Johnny mengutip sembari jengkel. Tak heran bila seleksi yang memerlukan ketekunan itu akhirnya cuma menghasilkan 1 sampai 3 calon saja. Mereka yang lulus inipun belum begitu saja bisa nyemplung di depan kamera, karena mesti tunggu waktu untuk dipanggil lagi. Sebegitu jauh, baru satu penyanyi yang sempat masuk orbit dan beken setelah melalui jalan panjang ini. Namanya: Atik Pramono. Selebihnya, masih tunggu hari baik. Bibit baru sebenarnya banyak. Materi lagu pun bukan sedikit di Indonesia ini. Seperti dikemukakan Titiek Puspa: "Yang muncul dalam acara Kenalan Baru itu banyak bibit bagus. Mestinya TV-RI lebih intensif memberikan bimbingan sebelum mereka ditampilkan". Mengapa Papiko tak ambil bagian? Selain memang belum pernah diminta, Titiek hampir tak berkutik dengan minusnya tempat dan biaya. Sampai ia sering merisaukan: "Setelah generasi saya ini, pengganti yang punya fondasi kuat siapa?". Suara Titiek itu paling tidak mengandung keinginan bahwa TV-RI hendaknya lebih sering menampilkan mukamuka baru, memberi kesempatan yang lebih luas bagi penyanyi yang baru lulus itu. Artinya: TV-RI perlu lebih mengalakkan produksinya sendiri untuk mata acara musik ini. Misalnya memperbanyak film musical show. "Tahun 75 - 76 pernah kita memproduksi 5 musical show, semacam Harry Rusli yang diambil di Tangkuban Perahu itu", kata Alex Leo, Kepala Studio TV-RI Jakarta. Pertunjukan produksi sendiri ini diakuinya belum begitu menonjol, "karena orang menonton sampai jam sehari, hingga kita hampir seperti setitik air di tengah laut", ujarnya. Tapi ia membayangkan setelah kini peralatan televisi mulai bertambah, volume acara seperti itu akan meningkat. Berbarengan dengan itu ditunjuknya perbandingan keadaan antara yang dihadapi TVRI dengan apa yang bisa diperoleh oleh stasiun televisi di luar negeri. Bila satu stasiun televisi ingin memesan 13 episode lagu-lagu, atau film seri, misalnya, "itu sudah tinggal ambil dari lemari saja", katanya. Sebab ada tersedia jasa yang memproduksinya di luaran. Sedang di sini, "itu seluruhnya menjadi beban TV-RI", katanya. Nah, untuk mengharapkan munculnya jasa yang diperlukan itu, di negeri kita nampaknya tak mudah. Sebab di samping menyangkut biaya besar, rencana yang matang, tenaga pun harus ahli. Dan nampaknya jasa yang amat produktif (dan banyak uang) saat ini baru berupa pabrik kaset. Memang repot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus