IA bersuara bersih dengan pengucapan yang jernih. Ia membawakan
siaran berita di layar TV-RI. Ia adalah Prahastoeti Prayitno
Adhitama, penyiar wanita yang akhir-akhir ini menonjol dalam
menerobos "hegemoni" pria di bidang penyiaran berita.
Toeti masuk televisi sejak Mei tahun lalu sebagai penyiar
bantuan. Tiga kali seminggu ia muncul, sendiri atau berpasangan
dengan penyiar pria pada mata acara Dunia Dalam Berita pukul 21.30.
Beberapa tahun silam, mungkin orang cuma sempat menduga siapa
gerangan yang empunya gaya bicara yang lugas itu, ketika
suaranya terdengar dari Suara Arnerika (VOA) di Washington. Itu
cerita tahun 60-an, tatkala ia duduk sebagai penyiar plus
reporter untuk siaran Indonesia di sana. Ia melakukan
serangkaian wawancara, baik dengan diplomat, pengarang atau
siapa saja, lalu menyusunnya untuk seterusnya mengudarakan
sendiri.
Meski waktu itu ia cukup sibuk pada jam-jam kerja (07 - 16 waktu
setempat) toh waktu senggangnya tak dibiarkan melompong. Ia
menyempatkan diri mengikuti penulisan kreatif di Virginia
University, suatu pengetahuan yang tentu amat bermanfaat buat
mendukung peningkatan mutu kerjanya sehari-hari.
Ia bertolak ke AS, setelah selama dua tahun bekerja di Radio
Australia sekitar tahun 1959. Sebelumnya ia pernah duduk sampai
tingkat V Fakultas Sastra UI jurusan Inggeris. Dengan bekal yang
sudah dimilikinya itu Toeti kemudian melanjutkan studi di George
Washington University dan sampai meraih gelar MA untuk Ilmu
Bahasa pada tahun 1974.
Datang di Jakarta lagi semula ia berkeinginan masuk di bidang
lain. Akan dicobanya masuk bidang akademi sebagai tenaga
pengajar. "Eh, tahunya saya tergiur lagi dengan soal komunikasi
massa", katanya.
Suasana di TVRI tentu beda dengan VOA, misalnya. Namun ia cukup
berbesar hari menghadapinya. "Untuk saya, di sini lebih
merupakan tantangan. Banyak sekali ide-ide yang perlu
dikemukakan. Kalau anda datang di TV-RI, mungkin akan merasa
bangga. Dengan fasilitas yang sederhana, toh mereka cukup
kreatif".
Penampilannya sendiri di layar televisi dinilai banyak penonton
sebagai 'tidak keliwat sibuk dengan diri sendi Ngobrol di
rumahnya di Cempaka Putih, kepada Eddy Herwanto dari TEMPO,
Toeti mengungkapkan : "Saya ingin menjadi alat komunikasi yang
baik. Dengan busana sederhana serta dialek yang netral, saya
ingin penonton mendengarkan apa yang saya sampaikan". Sekaligus
ia mengutarakan keraguan apakah orang cukup menyenangi bila ada
wanita menjadi pembaca warta berita. "Jarang sih yang menulis
surat ke TV-RI atau mass-media", katanya.
Seperti umumnya wartawan, Toeti bisa saja berada di kalangan
atas atau di saat lain berhadapan dengan bakul jamu. Satu hal
yang baginya masih perlu pengendalian adalah faktor emosi.
"Kalau ada peristiwa mendebarkan atau lucu, saya suka
terpengaruh", tuturnya. Cuma sebegitu jauh ia mencoba untuk
tidak menjadi emosionil. Yang jelas, ia menyenangi
pekerjaannya. Katanya: "Kalau itu menyangkut manusia saya
tertarik sekali. Bergerak mewawancarai dari A ke Z, akan saya
lakukan. Tapi jangan saya diminta jadi pembawa acara musik atau
sebuah upacara. Saya kurang sreg".
Lahir di Madiun, wanita yang suka potongan rambut pendek ini
berperawakan cukupan buat ukuran televisi: tinggi 147 Cm,
timbangari 46 Kg. Ia juga mengajar Sejarah Bahasa Inggeris di
Fakultas Sastra UI, sebagai dosen tidak tetap. Usia? "Ah, kalau
saya katakan, mungkin akan mengecewakan penonton televisi",
sahut ibu dari anak yang berusia 15 dan 9 tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini