PENYERTAAN modal pemerintah (PMP) kepada perusahaan negara (BUMN) ternyata tidak hanya untuk investasi. Pesero yang telah mencatat laba, PT Jasa Marga, misalnya, masih dibantu dengan PMP untuk pelunasan utangnya. Direktur Keuangan JM, Srijono, Oktober lalu mengakui bahwa perusahaan pengelola jalan tol itu sudah menerima PMP Rp 32,5 milyar untuk jalan tol Jagorawi dan jembatan Citarum (Rajamandala). Kini JM juga sedang mengusahakan penyertaan pemerintah sebesar Rp 1,5 milyar untuk jalan tol Jakarta-Merak dan jembatan tol Mojokerto. Padahal, semua jalan tol tersebut telah memberikan pendapatan yang menguntungkan bagi JM. Masalahnya, rupanya, JM, yang ditugasi mengelola jalan dan jembatan tol di seluruh Indonesia sejak April 1982, belum mampu memikul beban seluruh utangnya yang terdiri dari pinjaman luar negeri dan dari masyarakat. Sampai Oktober lalu, pinjaman luar negeri yang dipakai untuk membangun sejumlah jalan tol terdiri dari tiga jenis valuta asing: US$ 239,16 juta, DM 14,97 juta, dan 45,65 milyar yen. Sedangkan pinjaman rupiah dari masyarakat dalam bentuk obligasi sudah sekitar Rp 293,7 milyar. Pinjaman luar negeri yang berjangka rata-rata panjang (25 tahun) dengan bunga 2%-3,5% per tahun ternyata tidak ringan. Sementara itu, hasil usaha JM semuanya dalam bentuk rupiah, sedangkan nilai rupiah terhadap valuta asing terus melemah. Untuk satu dolar AS, yang diterima di sekitar 1980-1982, bisa dirupiahkan Rp 630-Rp 670. Kini, untuk membayar utang satu dolar diperlukan Rp 1.125, atau sekitar 70% lebih banyak. Satu DM, yang diterima pada awal 1980-an bisa dirupiahkan sekitar Rp 280, kini untuk membayarnya kembali diperlukan Rp 433 atau 54% lebih mahal. Demikian juga dengan yen, yang tadinya diterima dan bisa ditukar Rp 2,90, kini perlu ditebus Rp 5,57 atau 92% lebih tinggi. Hal itu tentu memberatkan PTJM. Untuk meringankan bebannya, direksi JM sedang memikirkan dua kemungkinan. Jalan pertama, menurut Srijono, yakni meminta pemerintah membayarkan utang valuta asing dengan "imbalan" berupa PMP di PT Jasa Marga. Jalan kedua, JM membayar pinjaman sebagai subloan kepada pemerintah. Beban JM untuk obligasi pun ternyata tak ringan. Sejak 1983, perusahaan itu berhasil menjual surat utang Rp 123,7 milyar kepada masyarakat, dengan bunga 15,5% per tahun untuk lima tahun. Desember tahun silam dan Februari lalu, JM mengeluarkan lagi obligasi Rp 70 milyar, dengan bunga 16,5% per tahun untuk lima tahun. Oktober lalu dikeluarkan lagi obligasi Rp 100 milyar dengan bunga 16,5%. Untuk mengeluarkan obligasi itu, JM sudah harus membayar biaya kepada Bapindo sebagai trusty (lembaga keuangan yang antara lain menganalisa kemampuan pengeluar obligasi) sebesar 0,6%-1% dari nilai total obligasi. Pada waktu melemparkan surat utang itu, JM juga harus membayar komisi 2%-2,5% kepada perusahaan underwriters (penjamin yang akan membeli seluruh obligasi bila tak laku). Kendati dana yang diterima dari obligasi itu baru bisa memberikan penghasilan duatiga tahun setelah penjualan obligasi (emisi) JM sudah harus membayar bunga setiap triwulan setelah emisi. Untuk surat utang yang dijual sampai Februari lalu (Rp 193,7 milyar), dalam tahun 1985 ini JM harus menyisihkan pembayaran bunga Rp 31,96 milyar. Itu belum termasuk komisi kepada para agen pembayar sebesar 0,25% (hampir Rp 80 juta). Obligasi yang dikeluarkan Oktober lalu baru mulai dibayar bunganya pada awal 1986. Bila obligasi itu mulai jatuh tempo, 1988, akan mampukah JM menebusnya? "Pendapatan sampai 1990 sudah digadaikan untuk itu," jawab Srijono, meski hasil mengelola 10 jalan dan jembatan tol semakin meningkat. Pendapatan tahun lalu mencapai Rp 16 milyar dengan laba Rp 5 milyar, sedangkan tahun ini diperkirakan pendapatannya akan mencapai Rp 36 milyar dari tol dan sekitar Rp 12 milyar lagi dari bunga deposito dana yang belum di investasikan. Dewasa ini, JM sedang merampungkan jalan tol yang diperkirakan akan memberikan penghasilan besar, yakni jalur Cawang-Tebet-Grogol di Jakarta, yang diharapkan selesai tahun depan. Selain itu, jalan tol Belawan-Medan-Tg. Morawa (Belmera) dan Surabaya-Malang yang diperkirakan selesai tahun depan, Arteri Semarang (diperkirakan selesai 1987), Jakarta-Cikampek serta Padalarang-Cileunyi (diperkirakan selesai 1988). M.W. Laporan Yulia S.M. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini